Pertambangan dan Ilusi Kesejahteraan di Sulawesi Tenggara

Muhammad Irvan Mahmud Asia
Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Agraria dan Sumber Daya Alam (PPASDA)
Konten dari Pengguna
25 Februari 2024 0:23 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Irvan Mahmud Asia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pertambangan. Foto : Shutterstock.com/MuchMania
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pertambangan. Foto : Shutterstock.com/MuchMania
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sumber Daya Alam (SDA) merupakan material yang ada di perut bumi, permukaan tanah, atau diatasnya yang bernilai ekonomi. SDA merupakan bahan dasar yang diekstraksi melalui kegiatan sektor primer seperti pertambangan mineral (yang lain bisa pangan, energi dan sebagainya).
ADVERTISEMENT
Nilai dan kegunaan pertambangan bisa meningkat dan berubah akibat perubahan dan kemajuan teknologi. Perubahan tersebut bisa disebapkan demand yang semakin bertambah, atau sebaliknya semakin berkurang. SDA yang dulu sangat penting, sekarang digantikan oleh bahan lain dan dengan sendirinya nilai ekonominya merosot.
Sulawesi Tenggara (Sultra) terkenal dengan aneka tambangnya. Sempat buming dengan pertambangan emas, tahun 2008. Akan tetapi jauh sebelumnya, wilayah Buton telah di kenal sebagai penghasil aspal alam terbesar di dunia yang beroperasi sejak tahun 1924. Adapun pabrik feronikel I yang berlokasi di Pomalaa, Kolaka mulai di garap oleh Antam sejak tahun 1976.
Dalam 1 dasawarsa terkahir, pertambangan nikel sangat popular dikarenakan permintaan pasar global sangat tinggi. Data per Desember 2023, ada 203 IUP mineral logam dan batubara yang diterbitkan Ditjen Minerba Kementerian ESDM. Dengan rincian 172 IUP nikel, 25 IUP aspal, 2 IUP emas, 2 IUP kromit, dan 2 IUP mangan dan tersebar di 8 kabupaten: Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, Konawe Kepulauan, Kolaka, Kolaka Utara, Bombana dan Buton Tengah.
ADVERTISEMENT
Sementara IUP mineral bukan logam dan batuan yang izinnya ada di pemerintah provinsi data per September 2023 berjumlah 160. Dengan sebaran di 12 kabupaten/kota: Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, Kolaka, Kolaka Utara, Kolaka timur, Bombana, Buton Selatan, Buton Tengah, Baubau, Muna, Wakatobi, dan Buton.
IUP nikel menjadi yang terbanyak. Laporan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Sultra tahun 2018 sampai 2020 (ton) produksi nikel Sultra secara berturut-turut 16 926 763, 22 576 054, 22 531 686 dan ini belum termasuk feronikel.
Total ada 363 IUP di bumi anoa, akan tetapi tidak linier dengan Dana Bagi Hasil (DBH) yang didapatkan pemeirntah daerah. Berdasarkan realisasi Penerimanaan Negara Bukan Pajak (PNBP) per November tahun 2023 ada Rp 4,6 triliun dari keseulurhan IUP di Sultra yang masuk ke kas negara. Sultra hanya mendapatkan Rp 100 miliar lebih, angka yang sangat kecil. Idealnya, pendapatan Sultra harus seimbang dengan jumlah sumber daya yang keluar. Kedepan mesti ada transparansi, apakah para pemiliki IUP terutama nikel dan aspal itu sudah membayar semua PNBP atau tidak. Mengingat yang dahulu banyak pemilik IUP yang tidak taat pada kewajibannya. Dan ini semakin diperkuat temuan Satgas SDA KPK bahwa ada 13 IUP nikel yang tidak membayar kewajibannya serta 7 perusahaan pemegang IUP tidak memiliki NPWP.
ADVERTISEMENT
Belum lagi pajak air permukaan 2 perusahaan masih menunggak dengan nilai puluhan miliar. Selain itu, Satgas SDA KPK mendapati pembangunan gedung yang tidak dilaporkan kepada pemerintah. Belum lagi masalah dari kawasan industri dan smelter. Jelas hal ini berdampak pada kehilangan pajak dan PNBP serta kerusakan lingkungan. Potensi korupsi sangat besar akibat ketidakpatuhan ini dan Pemprov Sultra sudah mengakui bahwa kepatuhan pemegang IUP masih minim.
Dengan demikian, impactnya pada kesejahteraan masyarakat terutama sekitar tambang tidak ada dan kerusakan lingkungan, mengingat tambang-tambang tersebut lebih banyak yang tidak patuh pada perlindungan lingkungan tak terbantahkan.
Kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan ekonomi di Sultra masih tinggi. Dari Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 penduduk miskin di Sultra sebesar 309,79 ribu jiwa dan di tahun 2023 naik menjadi 321,53 ribu jiwa. Sedangkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menunjukan penurunan tetapi tidak signifikan dari 3,36% tahun 2022 menjadi 3,15% pada 2023. TPT adalah persentase jumlah pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja. Indikator ini dihasilkan dari pengolahan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional.
ADVERTISEMENT
Adapun ketimpangan ekonomi, berdasarkan data BPS 2023 Sultra ada di urutan ke 9 dengan rasio Gini 0,371 dari 10 provinsi tertinggi. Kondisi tersebut, tidak jauh berbeda dengan fakta di tahun 2022, Sultra diurutan ke 6 dengan rasio Gini 0,39. Ketimpangan diukur dengan skala 0-1 poin.
Mengutip Bappenas, rasio Gini bernilai 0 poin menunjukkan kesetaraan sempurna, dimana seluruh penduduk memiliki pengeluaran per kapita yang sama. Sementara koefisien Gini bernilai 1 poin menunjukkan ketimpangan sempurna yang menjelaskan bajwa hanya satu penduduk saja yang memiliki pengeluaran per kapita dan yang lainnya tidak sama sekali. Jadi semakin tinggi koefisien Gini, semakin tinggi tingkat ketimpangan suatu daerah.
Dampaknya
Ditengah arus trend perubahan—etika lingkungan dalam pembangunan, Indonesia justru sebaliknya masih dan terus mengeksploitasi alam. Hal ini, menunjukan lemahnya kesadaran yang berimplikasi pada kebijakan yang tidak adil pada lingkungan dan disisi lain penegakan hukum bagi perusahaan yang tidak patuh pada ketentuan perundang-undangan sangat rendah. Orientasinya masih sebatas mengejar pertumbuhan ekonomi, itupun masih diselimuti dengan praktik korupsi.
ADVERTISEMENT
Eksploitasi SDA di Sultra sangat masif hanya menguntungkan pemilik IUP dan segelintir oknum pemerintahan yang korup. Disisi lain aspek lingkungan dan sosial terabaikan. Alhasil penurunan mutu lingkungan disertai dampak destruktifnya seperti lahan pertanian beralih fungsi, longsor, pencemaran air sungai, air laut, banjir bandang, penyakit kulit, termasuk perubahan perilaku masyarakat.
Temuan Ombudsman RI misalnya di Desa Tapumea dimana sebelum kegiatan pertambangan, sebagian besar masyarakatnya adalah petani dan nelayan. Sekarang masyarakat sudah tidak bisa melaut dan bertani karena perairan di sekitar Blok Mandiodo telah tercemar. Serupa dengan lahan pertanian dialihfungsikan menjadi lahan pertambangan. Selanjutnya terjadi pendangkalan pantai.
Temuan Ombudsman ini semakin memperkuat asusmis selama ini bahwa keberadaan tambang tidak memberikan manfaat. Bahkan Ombudsman RI menemukan fakta lain bahwa sejak kegiatan eksplorasi tahun 2007 program CSR dari perusahaan-perusahan tidak ada, warga hanya dapat uang kompensasi yang nilainya tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan.
ADVERTISEMENT
Begitupula warga di 5 desa di Pulau Wawonii yang kesulitan mendapatkan air bersih akibat sumber mata air tercemar lumpur dari penambangan nikel. Warga harus ke desa lain dengan jarak yang cukup jauh untuk mendapat air bersih. Terkini warga Roko-Roko raya mendatangi Kantor DPRD Konawe Kepulauan untuk menyampaikan masalah itu. Naas mereka tak ditemui oleh satupun anggota dewan.
Kita tentu masih ingat bagaimana keberadaan tambang emas di Bombana yang hanya memiskinkan warga terutama warga sekitar kawasan tambang. Awal mula mereka petani kemudian tergiur dan atau dipaksa untuk meninggalkan pertanian, beralih menjadi penambang tradisional.
Lahan yang tidak dikelola, beralih fungsi karena dijual oleh pemilkinya menyebabkan Bombana yang sebelumnya adalah produsen dan memasok beras untuk wilayah Kabupaten Buton dan Kota Baubau, menjadi terhenti dan petan-warga sekitar juga menjadi kesulitan pangan. Akibatnya harga kebutuhan pokok naik berkali-kali lipat dan memicu inflasi yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Jika fenomena semacam ini terus berlangsung—berbagai kabupaten di Sultra maka lahan pertanian akan semakin banyak beralih fungsi, petani akan semakin berkurang. Efeknya ketahanan pangan Sultra akan semakin rawan.
Diperlukan Keberlanjutan
Praktik pertambangan di Indonesia belum menerapkan prinsip-prinsip praktik penambangan yang baik. Kerugian yang ditimbulkan membentang dari sosial, ekonomi, hingga lingkungan. Pola semacam ini akan terus berlanjut sepanjang tidak ada perubahan politik hukum. Padahal hukum harus melakukan penyesuian akan tujuan-tujuan yang hendak dicapai masyarakat—hukum yang seharusnya berlaku. Harapannya tercipta keadilan--pemerataan yang bisa menciutkan angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan.
Dahulu pendekatan keberlanjutan dalam pengelolaan SDA lebih dominan cara konservatif, kemudian berkembang lagi dengan pendekatan ekologi politik yakni menempatkan hubungan antara lingkungan, kesejahteraan dan keadilan sosial; disini peran ilmu politik menjadi relevan, ingat bukan politik tetapi ilmu politik. Sebab dominan politisi kita mensimplifikasi politik sekedar mendapatkan apa dengan cara apapun, mengabaikan moral, etika, dan hukum. Mereka lebih mementingkan diri sendiri dan kroni dibanding kemakmuran bersama. Terakhir pendekatan diluar kelangkaan yang melihat bahwa kelangkaan bukan soal jumlah tapi soal akses—soal politik yaitu suatu gagasan keberlanjutan yang adil. Disini politik transformasi menjadi pusat gerakan bersama antara peran pemerintah, masyarakat sipil, pasar, dan teknologi.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, mengutip Hariadi Kartodihardjo (guru besar IPB University) agar pengelolaan SDA semakin baik maka pendekatan trans-disiplin harus dilakukan dengan arah: kelestarian hasil (barang dan jasa) yakni bagaimana SDA secara fisik ditata sehingga jumlah yang dimanfaatkan tidak menyebabkan kapasitas pulih berkurang; insentif sistem kebijakan yang melihat pengelola (operator) SDA bersedia melakukan pelestarian berdasarkan apa yang diterima dan apa yang dikorbankan; lingkungan sosial ekonomi--bagaimana lingkungan sosial, ekonomi, dan ekologi menerima dampak negatif dan positif secara adil; keempat, ukuran kinerja pembangunan yakni bagaimana kelestarian SDA menjadi ukuran kinerja pengelola (operator) dan pemerintah/pemda (regulator) dan bukan hanya kinerja administrasi; dan terakhir ialah tata kelola yang baik--bagaimana norma, standar, kebijakan dan inovasi berjalan tanpa ada manipulasi dan korupsi kepentingan publik untuk keuntungan pribadi.
ADVERTISEMENT
Penyempurnaan hukum (revisi) menyangkut SDA, komitmen penyelenggara, dan penegakan hukum bagi yang melanggar adalah keniscayaan. Tetapi menuntut semua ini untuk diselesaikan oleh pemerintah daerah menjadi tidak relevan mengingat sebagian besar aturan main menjadi domain pemerintah pusat.
Agar ruang perbaikan yang dimulai dari kebijakan publik bisa terlaksana maka cara pikir--diskursus akan berpengaruh terhadap penetapan ide, konsep, dan pengkategorian terhadap sesuatu. Disini kepentingan—politik dari jaringan--aktor akan saling berkontestasi. Apapun itu masyarakat Sultra hanya ingin bahwa kontestasi tersebut membawa perbaikan atas hidup mereka.