Permasalahan Hilirisasi Tangkapan Ikan

Muhammad Irvan Mahmud Asia
Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Agraria dan Sumber Daya Alam (PPASDA)
Konten dari Pengguna
28 April 2024 14:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Irvan Mahmud Asia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kapal nelayan lokal. Foto: Dok: KKP
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kapal nelayan lokal. Foto: Dok: KKP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemerintah Indonesia dihadapkan pada tuntutan kebijakan yang tepat sasaran untuk melakukan industrialisasi hilir Sumber Daya Alam (SDA) di sektor kelautan dan perikanan.
ADVERTISEMENT
Sepanjang tahun 2023, produksi perikanan Indonesia tercatat sebesar 24,74 juta ton, meliputi perikanan tangkap, budidaya, dan rumput laut. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang 2023 terdapat 963,12 ton yang dijual di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dengan nilai total Rp 5,63 triliun.
Jenis ikan dengan volume produksi terbesar yang dijual di TPI ialah ikan cakalang 141,19 ribu ton dengan nilai ditaksir mencapai Rp 2,38 triliun. Di disusul ikan layang dengan volume 105,1 ribu ton (Rp 1,87 triliun). Kemudian cumi-cumi dengan volume 52,15 ribu ton-menjadi komoditas laut dengan nilai penjualan terbesar Rp 2,53 triliun. Ikan madidihang 48.156,93 ton, ikan tongkol kromo 37.290,11 ton, serta ikan lemuru 36.178,72 ton. Sebagai catatan, angka-angka ini belum mencakup seluruh produksi ikan nasional. BPS menyebut, masih banyak ikan atau hasil tangkapan laut yang tidak dijual melalui TPI, sehingga belum terhimpun dalam laporan.
ADVERTISEMENT
Menurut BPS, volume ikan yang dijual di TPI hanya berkisar antara 22-29% dari total produksi perikanan tangkap nasional. Untuk diketahui, saat ini terdapat 413 unit TPI aktif di Indonesia, 51,82% di antaranya berada di wilayah Jawa, dan 48,18% di luar Jawa.
Adapun rasio ekspor ikan dari hasil perikanan yang diterima negara tujuan ekspor sebesar 99,84% hingga triwulan III 2023. Sedangkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) kelautan dan perikanan 2023 mencapai Rp 1,69 triliun dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) perikanan mencapai 6,78%. Lebih lanjut, nilai tukar nelayan tercatat sebesar 105,40 dan nilai tukar pembudidaya ikan mencapai 104,92. Investasi kelautan dan perikanan juga tercatat Rp 9,56 triliun.
Dengan melimpahnya bahan baku hasil perikanan tersebut, menjadi peluang besar untuk industrialisasi hilir pengolahan ikan agar tercipta nilai tambah dan berkontribusi lebih besar dalam perekonomian nasional terutama dalam penciptaan lapangan kerja dan perbaikan kesejahteraan nelayan.
ADVERTISEMENT

Fokus Hilirisasi

Dalam road map Kementerian Investasi RI, perikanan menjadi satu dari dua puluh satu komoditas yang masuk dalam agenda hilirisasi pemerintah. Untuk ikan jenis Tuna-Tongkol-Cakalang (TTC) serta diversifikasi produk sudah dimulai sejak sejak 2022.
Data tahun 2022, total industri pengolahan TTC sebanyak 1.019 Unit Pengolahan Ikan (UPI) dengan volume produk olahan mencapai 318.167 ton dengan nilai ekspor 690,34 juta dolar AS. Produk tersebut, diekspor dalam bentuk 67% beku, 26% kaleng, 4% segar dingin, 1% asap dan 2% olahan lainnya. Adapun diversifikasi produk TTC yang dihasilkan UPI dalam bentuk beku berupa loin hingga tulang/rusuk tuna. Sedangkan dalam bentuk segar berupa ikan utuh untuk sashimi atau utuh, tuna kaleng, serta olahan lain seperti bakso, nugget, hingga ikan asap. Sementara untuk produk non pangan antara lain berupa tepung ikan, minyak ikan tuna, dan ekstrak tuna.
ADVERTISEMENT
Capaian tersebut perlu diapresiasi, namun maksimalisasi hilir dan ekstensifikasi produk turunan belum optimal karena masalah di hulu belum selesai seperti inkonsistensi kebijakan dari internal KKP, lemahnya kelembagaan dan kapasitas nelayan, minimnya sosialisasi dan bimbingan teknis dan penyuluhan, bantuan premi asuransi yang rendah, alat tangkap nelayan masih tradisional dan kapasitas kapal rendah, sulitnya mendapat BBM subsidi dan mungkin ke depan perlu memberikan asuransi terhadap nelayan seperti kebijakan di Thailand bahkan di China ada asuransi kapal nelayan, maraknya praktik ilegal unreported unregulated fishing (IUU Fishing), dan mata rantai pasar dalam negeri yang rumit dan panjang, dan sebagainya.
Adapun tantangan hilirisasi ikan adalah ketersediaan pendingin tidak memadai baik saat di laut dan terlebih saat tiba di darat. Penggunaan cold storage freezer room untuk mempertahankan kualitas ikan tetap segar dan bisa bertahan berbulan-bulan menjadi keharusan. Selanjutnya adalah teknologi pengolahan ikan disesuaikan dengan produk akhir yang diinginkan, sortasi produk secara higinies sesuai prosedur standar sanitasi atau Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) belum terpenuhi, percepatan layanan penerbitan Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP), pengemasan dan logistik pengangkutan.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya yang menjadi faktor krusial untuk menciptakan nilai tambah ialah inovasi (termasuk manajemennya). Dengan fokus pada UPI berskala usaha mikro dan kecil (UMK) inovasi diharapkan terjadi perluasan produk turunan ikan yang tidak saja meningkatkan nilai tambah, tetapi sebagai strategi membuka ruang pasar yang lebih luas -- pasar global. Inovasi jelas sangat membutuhkan aksesibilitas terhadap teknologi pengolahan. Selanjutnya kebijakan insentif bisa memantik geliat UMK di sektor ini. Mengutip Didit Herdiawan bahwa kebijakan pemberian insentif untuk UMK pengelola produk perikanan dapat ditempuh dengan keringanan pajak dan retribusi, kemudahan perizinan, pendampingan pemanfaatan teknologi dan proses produksi dengan standar internasional (2016:130).
Prinsipnya adalah kebijakan hilirisasi perikanan harus menjadikan nelayan sebagai subjek dengan tetap memperhatikan pengolahan yang bisa zero waste, mengedepankan partisipasi, bernilai tambah, dan membuka lapangan kerja dengan prioritas warga sekitar.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya politik ekonomi suatu pemerintahan akan sangat menentukan berhasil atau tidaknya hilirisasi perikanan. Diperlukan Presiden dengan kabinet yang membangun smart government di sektor perikanan dan indikator sederhananya bisa dilihat sejauh mana aspek tata kelola pelayanan di sektor ini lebih mudah dan singkat. Kemudian smart economy di mana para pelaku di dalam hilirisasi diharapkan membangun model bisnis partisipatif seperti membangun platform dan jaringan industri ikan. Dengan menerapkan smart government dan smart economy, diharapkan akan tumbuh masyarakat perikanan terutama nelayan dan UMK yang melek teknologi dengan meningkatkan kapasitas, kapabilitas, dan kualitas produksi. Di sini peran perguruan tinggi dengan berbagai riset aplikatif yang relevan dapat menjadi katalisator tumbuhnya hilirisasi.
Dengan seperti itu, harapan berdikari secara ekonomi berbasis perikanan melalui industrialisasi perikanan khususnya ikan akan sangat mempercepat akselerasi peningkatan ekonomi Indonesia sebagaimana yang sudah terbukti di Thailand misalnya, hilirisasi perikanannya sangat berkembang, 30-40% pelaku perikanannya berada di hilir dan ini menjadi motor penggerak ekonomi karena memberikan nilai tambah terhadap pendapatan ekspornya.
ADVERTISEMENT