Kami Tidak Takut? Ganti Tagar, ah!

Inung Widjaja
Pria ganteng otodidak yang suka bisnis, management, metafisika, budaya, dan dunia kreatif.
Konten dari Pengguna
14 Mei 2018 12:15 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Inung Widjaja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kami Tidak Takut? Ganti Tagar, ah!
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ini hari kelima setelah kerusuhan di Mako Brimob Kelapa Dua. Dua hari lalu gunung Merapi baru selesai erupsi freaktik. Kemarin pagi ada lagi peristiwa pengeboman di Surabaya. Malam harinya ada lagi berita pengeboman di Sidoarjo. Merapi dan terorisme bagi saya ngga ada hubungannya, tapi bagi beberapa netizen, ada yang menghubung-hubungkan. Auk ah, gelap.
ADVERTISEMENT
Seperti biasa, aktivitasku diawali dengan membuka facebook setelah bangun tidur. Saking banyaknya orang yang ingin bersuara, media sosial dan beberapa aplikasi chatting digital yang kupunya serasa banyak sampah berupa umpatan, cacian, dan kutukan karena beberapa kejadian yang dipicu teroris.
Ada pula konten yang bukan sampah, seperti tips menghadapi teror, motivasi, opini, dan doa-doa. Konten ini bisa jadi adalah reaksi spontan kepedulian untuk bisa membantu mengatasi masalah. Orang yang sebelumnya jarang update status pun tumben-tumbenan bikin status dan bereaksi atas peristiwa tersebut.
Saat saya menulis sampai di sini, ada lagi berita dari media sebelah bahwa Polrestabes Surabaya di Jalan Sikatan Nomor 1 juga mendapatkan jatah dibom. Duh, seperti apa nanti linimasa FB saya. Sepertinya dalam seharian ini akan banyak topik terkait ini.
ADVERTISEMENT
Tulisan di atas hanya bingkai saja. Saya juga jengkel dan marah atas kejadian-kejadian tersebut. Namun, ini sudah masuk ke ranah hukum. Kalaupun diperluas, bisa saja masuk ke ranah politik. Saya tidak berkompeten masuk ke sana. Sebenarnya saya hanya gelisah saja pada reaksi netizen yang ingin memotivasi, yaitu tagar #KamiTidakTakut , #JanganMauDiaduDomba dan ungkapan Jangan Takut.
Saya akan bahas itu dari sudut pandang bahasa dan psikologi terapan. Rujukan yang saya pakai untuk menjelaskan adalah NLP (Neuro-Linguistic Programming). Itu pun ngga terlalu mendalam.
Dalam konteks ini, tagar dan pernyataan tersebut justru mengkonfirmasi kalau si pengucap itu sedang takut. Misal: Anda tidak gemuk, mengapa ngga pakai kata kurus? Biasanya pola yang terjadi adalah si pengucap masih terasosiasi dengan kegemukan meski faktanya badannya sudah kurus atau lebih kurus dari sebelumnya. Atau lebih tepatnya dia masih kurang pede.
ADVERTISEMENT
Apakah kata-kata negasi seperti tidak dan jangan tidak boleh digunakan? Tentu saja boleh. Pikiran bawah sadar kita juga ngga polos-polos amat. Tapi kita juga perlu mengerti konteks pemakaiannya. Setiap kata tentu memiliki fungsi. Pun setiap kata mempunyai rasa dan efek yang berbeda pula.
Menurut guru (virtual) NLP saya, Teddy Prasetya Yuliawan, dalam artikel yang ditulisnya, kata negasi memiliki fungsi seperti rem dalam kendaraan. Apa jadinya kendaraan tanpa rem? Tentulah akan membawa pengemudinya pada kecelakaan. Rem sama pentingnya dengan gas. Kita tidak bisa sampai tujuan hanya dengan menginjak rem. Kita bisa sampai tujuan sebab kendaraan kita di-gas dan diarahkan ke tujuan. Tapi hanya menginjak pedal gas melulu tanpa pernah mengerem pun hanya akan menyampaikan kita ke rumah sakit terdekat.
ADVERTISEMENT
Sebaiknya tagar #KamiTidakTakut gantilah dengan #KamiBerani atau #KitaBerani. Saya yakin, efek yang diharapkan dari penggagas tagar ini adalah tambahan semangat dan suplemen keberanian untuk menghadapi dan mengatasi peristiwa itu. Semakin banyak kita menuliskan dan mengucapkan tidak takut, justru pikiran bawah sadar kita terasosiasi dengan ketakutan atau bisa jadi hanya tidak pede mau bilang berani karena peristiwanya dirasa cukup mengancam. Terlebih sempat ada berita bahwa teroris sekarang lebih terlatih karena bisa menghindari deteksi intelejen.
Mari rasakan energi dan getarannya, mana yang lebih nyaman #KamiTidakTakut ataukah #KamiBerani?
Pun dengan pernyataan Jangan Takut, ungkapan itu justru mengarahkan pikiran bawah sadar manusia ke kata "takut". Sepanjang pemahaman saya, kata jangan dipakai untuk melarang. Jika pemahaman saya benar, apa tujuan kita melarang seseorang untuk takut? Takut kok dilarang. Dalam banyak konteks, rasa takut tetap saja diperlukan. Apa dengan melarang takut, seseorang lalu otomatis jadi berani?
ADVERTISEMENT
Jika tujuannya adalah untuk memunculkan keberanian, gantilah dengan Beranilah. Bagaimana rasanya? Lebih nyaman didengarkan, kan? Dalam Neuro-Semantics, kata bisa mempengaruhi rasa, rasa bisa mempengaruhi makna. Pemaknaan orang terhadap sebuah objek akan mempengaruhi nasib. Oleh karenanya, kita perlu meminimalkan rasa-rasa yang tak bermanfaat melalui pemilihan kata-kata.
Seperti yang saya jelaskan di atas, fungsi kata jangan adalah larangan, namun bagaimana jika saya bilang "Jangan Bayangkan Monyet Berenang", pikiran kita akan menghapus larangan jangan. Yang tersisa hanya perintah bayangkan monyet berenang. Bukankah justru pikiran kita lalu membayangkan monyet berenang? Pakailah kalimat efektif. Kalau ingin pikirannya dikosongkan ya tinggal kasih perintah kosongkan pikiran. Kalau ingin menenangkan pikiran, apakah mau pakai "Jangan Panik"?
Asumsi saya tagar-tagar itu dimaksudkan untuk memberikan motivasi perlawanan dan energi keberanian kepada para warga. Oleh karenanya, agar tujuan tagar-tagar tersebut berfungsi dengan benar dan maksimal, saya ajak Anda mengganti tagar. Mari gunakan #KamiBerani #KitaBerani dan untuk memberi semangat, kita bisa pakai ungkapan Beranilah, Caiyooooo, Tetep Gasss, atau apa pun.
ADVERTISEMENT