Harga Teman yang Salah Alamat

Inung Widjaja
Pria ganteng otodidak yang suka bisnis, management, metafisika, budaya, dan dunia kreatif.
Konten dari Pengguna
22 November 2018 11:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Inung Widjaja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pertemanan (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pertemanan (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seorang teman yang tinggal di luar Jawa menghubungiku. Dia minta tolong dicarikan tukang untuk merenovasi rumah budenya. Rumah itu mau ditinggalinya. Kebetulan dia dapat tugas dari kantor untuk 'pegang' area regional Jateng DIY, sekalian mau pindah domisili ke Jogja untuk beberapa tahun.
ADVERTISEMENT
Dia juga minta tolong untuk menghitungkan ongkos produksi, baik itu bahan baku dan jasa. Karena dia belum di Jogja, dia memasrahkan semuanya kepadaku. Di akhir pembicaraan, dia lalu bilang, “Budget-ku enggak banyak ya, bro. Tahu sendiri ya carinya yang bagaimana.”
Aku agak berpikir, budget enggak banyak tuh berapa ya?
Budget-mu berapa? Pekerjaannya apa aja?” pertanyaan ini perlu kutanya untuk berjaga kalau-kalau nanti ada yang tanya. Paling tidak aku juga tahu sedikit cara penghitungannya.
“Biasanya berapa?” jawabnya.
“Ya semua dihitung berdasarkan kebutuhan. Kalau tukangnya dihitung harian, per harinya sekian. Kalau bahan bakunya, ya menyesuaikan dengan kebutuhan. Biasanya akan ditambah biaya jasa manajemen beberapa persen dari total.”
Wuih!” jawabnya singkat.
ADVERTISEMENT
“Aku juga belum lihat lokasinya seperti apa, jadi juga belum bisa memperkirakan asumsi biayanya. Besok kalau temanku ada yang bisa, kuajak ke sana biar disurvei dan dihitungkan biayanya. Budemu ada di rumah terus, kan?”
“Ada kok. Sekarang dia buka warung. Hehe... jangan mahal-mahal ya, bro.”
Persepsi jasa hemat langsung kupakai sebagai dasar. Kupilih orang yang menurutku ongkos jasanya paling hemat, tapi kualitasnya juga masih oke. Kukasih pekerjaan ini ke kenalanku yang berprofesi sebagai tukang. Kebetulan dia memang sedang enggak ada kerjaan.
Dia kuajak datang dan menghitung. Aku juga iseng ikut menghitungnya. Hasil hitunganku dan hitungannya enggak jauh beda, hanya selisih seratus ribuan.
Kulaporkan hasil hitungannya.
Wuih, mahal banget. Kenapa tukangnya empat, enggak bisa satu atau dua aja?”
ADVERTISEMENT
“Kasihan dong. Mereka harus turunin asbes, kayu, terus ganti kayu sama genting. Kalau cuma berdua, enggak kuat. Kayunya aja gede-gede gitu. Kalau satu ya jelas enggak bisa dong.”
“Itu kenapa gentingnya pakai *sekian*, tadinya kan asbesnya cuma *sekian* jumlahnya?”
Bro, kamu sudah tahu kan asbes tuh seperti apa dan genting seperti apa?”
Hehe, tahu sih.”
Zzzzz.
Bro, enggak ada harga teman, po?”
Ndes, aku tuh cuma bantu mencarikan dan menghubungkan lho, enggak ambil keuntungan sama sekali dari sini. Aku bantu kamu sebagai teman. Itu pun udah ta pilihkan yang paling hemat.”
“Ya dikurangi, lah. Biaya tukangnya jadi *sekian* (dia nawar setengah harga) terus genting sama kayunya sekian aja.”
Aku sudah mulai agak jengkel. Pikiranku lalu berpersepsi jelek kepadanya.
ADVERTISEMENT
Bro, aku kan cuma menghubungkan. Pun tukangnya ini beli material dari toko bahan bangunan. Ini pun enggak ambil untung. Mereka hanya ambil keuntungan dari jasa tukangnya saja, itu pun kok masih kamu tawar.”
“Ya siapa tahu aja bisa dikasih harga teman.”
Bro, kalau caramu mikir kayak gitu, mending kamu minta tolong sama temanmu yang lain saja. Atau kalau kamu mau, ta kasih nomornya tukang sama jasa agensi tukang di sini.”
Wah, boleh tuh. Makasih ya, bro.”
Aku kirim beberapa nomor. Sepertinya dia benar-benar sudah menghubungi mereka. Dua hari kemudian dia menghubungiku.
Wah bro, ternyata yang lain jauh lebih mahal. Masa totalnya hampir 2 kali lipat dari tempatmu kemarin. Ya sudah bro, aku pakai temanmu yang kemarin saja hehe”.
ADVERTISEMENT
Hanya kubalas chat-nya dengan emoticon senyum.
“Tapi kalau masih ada diskon, aku juga mau kok.”
Rasa jengkel sudah sulit kukendalikan. Aku agak malah membalas chat-nya, tapi ada rasa ingin ngomong pedas kepadanya. Hhhhmm, akhirnya aku tak tahan lagi. Keluarlah omongan itu di chat. Omongan itu kutulis dengan huruf kapital dan bold.
“PEDAS!”