Orang Jawa: Titisan "Dewa Mata Angin"

Innocentius Kredo Ananta Anindito
Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Konten dari Pengguna
5 Mei 2024 8:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Innocentius Kredo Ananta Anindito tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber: pexels.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tulisan ini berangkat dari pengalaman pribadi dan sharing dari teman-teman. Saya memiliki beberapa teman yang berasal dari luar kota Jogja yang kuliah atau bekerja di Jogja dan kebanyakan dari mereka tidak berasal dari suku Jawa. Sebenarnya ada yang memiliki keturunan Jawa, tetapi mereka dibesarkan bukan di daerah Jogja dan sekitarnya yang masih cukup kental dalam iklim budaya Jawa.
ADVERTISEMENT
Salah satu culture shock yang kerap mereka rasakan adalah penggunaan arah mata angin untuk menunjukkan arah. Mereka sempat bingung ketika bertanya arah kepada orang-orang Jogja. Pasalnya, orang-orang Jawa tidak menggunakan istilah “kiri-kanan” untuk menunjuk arah. Mereka kerap menggunakan “wetan-kulon-lor-kidul” atau empat arah mata angin. Dalam komunikasi sehari-hari, arah mata angin memang biasa digunakan oleh masyarakat Jawa sebagai penunjuk arah. Beberapa tempat di Jogja juga dinamakan dengan arah mata angin seperti Gunung Kidul (berarti Gunung yang berada di Selatan) atau Kulon Progo (Barat sungai Progo). Tidak hanya nama tempat, hal ini juga dipakai pada nama tokoh. Salah satu legenda yang terkenal adalah Nyi Roro Kidul yang juga mengandung makna dari salah satu arah mata angin (kidul berarti selatan).
ADVERTISEMENT
Penggunaan istilah mata angin juga digunakan sebagai metonimia untuk menunjuk nama tempat. Sebagai contoh, orang yang tinggal di Sleman menyebut ‘ke kota Jogja’ dengan istilah Ngidul. Ngidul dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai menuju ke selatan. Hal ini terjadi karena menurut arah mata angin, kota Jogja berlokasi di selatan Sleman. Ketika berada di suatu tempat baru, orang Jawa pun cenderung berpikir tentang arah mata angin. Mereka tidak merasa nyaman jika mereka tidak bisa menemukan arah mata angin. Tak heran jika teman-teman saya kerap menjuluki orang-orang Jawa sebagai ‘dewa mata angin.’
Penghayatan masyarakat Jawa ini, pasti berasal dari pemikirian atau konsep tertentu. Masyarakat Jawa sendiri terkenal dengan kekayaan nilai dan falsafah hidupnya. Kekayaan nilai ini diperoleh berkat ketekunan dalam olah diri dan spiritual yang mereka wujudkan dalam berbagai simbol atau perlambangan. Simbol atau perlambangan ini bisa berupa gambar, nasehat, atau dinarasikan dalam sebuah kisah mitos dan legenda. Berbagai simbol dan perlambangaan ini kemudian digunakan dalam kehidupan sehari-hari dengan harapan dapat mengingatkan manusia untuk senantiasa waspada dan mengendalikan diri.
ADVERTISEMENT
Berkaitan dengan penggunaan arah mata angin, masyarakat Jawa memiliki falsafah tentang kilblat papat lima pancer. Falsafah ini menunjukkan bahwa manusia merupakan bagian tidak terpisah dari kosmos yang digolongkan dalam empat dimensi ruang yang berpola empat penjuru mata angin dengan satu sebagai pusat. Faslafah ini merupakan salah satu perwujudan dari konsep mandala bagi orang Jawa. Konsep mandala berkaitan dengan keseimbangan dan keteraturan dalam harmoni alam semesta. Sebagai bagian dari semesta, manusia harus mengupayakan keseimbangan dalam semesta karena dirinya memiliki hubungan tak terpisah dengan semesta.
Harmoni kehidupan akan tercapai bila manusia dalam dirinya dan semesta dapat menjalin keselarasan. Dalam diri manusia, nafsu-nafsu lahiriah adalah ancaman bagi keselarasan. Oleh sebab itu, manusia diharapkan mampu mengendalikan emosi dan nafsu dengan memurnikan aspek batiniah. Pengendaliaan diperoleh dengan mencapai kesatuan dengan pencipta dan keselarasan dengan alam semesta. Tak heran jika menurut konsep ini, budaya masyarakat Jawa menjadi kental dengan unsur hubungan dengan semesta.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, penggunaan arah mata angin menjadi simbol kesadaran manusia akan keberadaannya dalam alam semesta. Ia selalu berada dan menjalin hubungan dengan alam semesta. Untuk mencapai hubungan yang harmonis, manusia harus mengendalikan diri terlebih dahulu. Sebab, kegagalan dalam pengendalian diri tidak hanya berpengaruh bagi dirinya tetapi juga alam semesta.