Ketika Siapa Saja Bisa Kuliah

Muhamad Ikhwan Abdul Asyir
Manajer Program Al Wasath Institute, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Jayabaya dan Ketua DPD IMM Jawa Tengah bidang Hukum dan HAM
Konten dari Pengguna
26 Juni 2023 11:05 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Ikhwan Abdul Asyir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
mahasiswa sedang melakukan kunjungan ke sanggar budaya, sumber : dokumentasi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
mahasiswa sedang melakukan kunjungan ke sanggar budaya, sumber : dokumentasi pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Merasakan jenjang pendidikan di perguruan tinggi mungkin bagi sebagian orang adalah hal yang biasa, menjalani kehidupan pendidikan dengan status mahasiswa setelah ia menyelesaikan pendidikan dari tingkat dasar sampai menengah adalah hal yang memang sudah terpikirkan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Boleh jadi mereka yang seperti ini adalah mereka yang taraf kehidupannya minimal tingkat menengah dan ke atas. Bisa juga kita katakan mereka ini yaitu adalah golongan yang paling tidak urusan penghidupan dan penghasilannya terlihat secara langsung.
Golongan yang kalau ingin berterus-terang untuk belajar dan menimba ilmu pengetahuan melalui sarana pendidikan tinggi di kampus bukanlah sulit untuk di lakukan.
Seberapa menariknya memang perkuliahan ini? Bangku kuliah dengan romantisme di dalamnya memang menyajikan begitu luas pengalaman dan kesempatan pengembangan baik ilmu pengetahuan, moralitas ataupun jaringan sosial.
pexels-photo-256417
Darinya, pengalaman dan kapasitas yang diraih semasa melangsungkan pendidikan tinggi yaitu kuliah, insan-insan cendekia akan menemui jalan yang menaruh harap besar kehidupan yang jauh lebih baik lagi.
ADVERTISEMENT
Di era sekarang ini, akses pendidikan tinggi bukan hal yang sulit lagi di capai memang, banyak sarana maupun instrumen yang mendukung baik secara struktural maupun kultural yang mengarahkan langsung ke pendidikan tinggi ini.
Tentunya dengan perkembangan zaman dan budaya yang spesifik, paling tidak perubahan paradigma tentang perkuliahan yang demikian mulai berlangsung.
Apalagi di mekanisme yang ada, perkuliahan zaman era kini tidak lagi berkutat pada kegiatan yang konvensional belaka, di era digital, program belajar jarak jauh yang memanfaatkan betul media teknologi informasi memberikan kesempatan luas bahwa perkuliahan kini tidak hanya terikat pada sekat kelas belaka.
Walau di sisi lainnya ada juga anggapan bahwa metode semacam ini tidak kemudian kalah efektif dan maksimal pembelajarannya di banding dengan pembelajaran di kelas secara langsung.
ADVERTISEMENT

Kesempatan yang Belum Ada

dokumentasi pribadi tentang kegiatan mahasiswa.
Namun dalam kenyataan yang ada, kesempatan dan merasakan pendidikan tinggi bagi sebagian masyarakat muda kita ini masih saja ditemui. Faktor yang kemudian menjadi latar belakangnya tentu banyak, seperti halnya urusan status sosial, budaya dan ekonomi menjadi salah tiganya. Yang paling menyesakkan kadang kala adalah ketika keinginan ada namun terbatas oleh keterpaksaan keadaan.
Masyarakat muda kita seringkali hanya menamatkan pendidikannya sampai pada menengah atas, setelah itu orientasi beraktifitas melalui pekerjaan yang ideal menjadi banyak pilihan jalan yang ditempuh.
Apakah benar demikian? Jawabannya ada misalnya pada data Badan Pusat Statistik (BPS)yang memperkirakan bahwa pada agustus 2022 ada 65,82 juta pemuda di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, proporsi pemuda yang bekerja mencapai 53,23%.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan latar belakang pendidikannya, pemuda yang bekerja didominasi lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat dengan proporsi 51,11%. Sementara pemuda bekerja yang tamat perguruan tinggi hanya 14,92%. Di samping itu, ada 33,97% pemuda lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) ke bawah.
Ilustrasi mengikuti survei online. Foto: Shutterstock
Namun, BPS memberi catatan bahwa persentase ini dipengaruhi perbedaan jumlah kelulusan antara tiga jenjang pendidikan tersebut. Artinya dengan profil lulusan perguruan tinggi yang masih lebih rendah dibandingkan dengan lulusan sekolah, kesempatan perkuliahan bagi generasi muda kita bisa dikatakan masih saja belum begitu maksimal.
Bahwa perlu adanya langkah perbaikan dalam hal memberikan akses pendidikan dan reorientasi pada pentingnya melanjutkan pendidikan tinggi ini sudah selayaknya dilakukan.
Sebab kenyataannya adalah, dengan belum adanya atau belum optimalnya segala kerja-kerja para pemangku kebijakan dalam menjawab tatanan kebutuhan akses pendidikan tinggi ini artinya sama saja membiarkan mereka yang ingin kuliah.
ADVERTISEMENT
Namun belum memiliki kesempatan dan kemampuan ini terus dilanggengkan, yang kemudian juga, bisa jadi malah hal ini juga bakal berakibat pada proses panjang berbangsa dan bernegara kita semua.

Saatnya Semua Bisa Kuliah

Ilustrasi mahasiswa ujian. Foto: exam student/Shutterstock
Menjawab yang demikian, pengadaan program yang berfokus pada peningkatan minat dan orientasi perkuliahan menjadi sangat penting dilakukan. Tentu segala upaya ini juga harus kemudian menjawab akar persoalan yang ada.
Sebab, sejatinya angka tingkat partisipasi perguruan tinggi dalam memecah persoalan sosial yang konkret di masyarakat, pendidikan yang murah dan berkualitas, pembangunan budaya yang kontruktif dalam bangku perkuliahan adalah hal yang harus dijawab sekalian, bukan hanya menjadikan masyarakat muda kita banyak yang kuliah.
Ulasan sederhananya adalah ketika mereka yang berkuliah karena keterbatasan ekonomi yang menjadikan mereka lebih memilih melangsungkan kerja saja untuk memperbaiki ekonomi keluarganya ya harus dijawab dengan menghadirkan biaya kuliah yang terjangkau.
ADVERTISEMENT
Tak berhenti di situ, pengadaan beasiswa yang semakin banyak dan menjangkau tepat sasaran bagi mereka adalah metodologi yang bisa ditempuh. Apakah program semacam itu sudah ada? Ya, program merdeka belajar seperti yang diluncurkan oleh kementerian kita itu bisa kita katakan berusaha menjawab problematika yang demikian ini.
Merdeka belajar yang dalam beberapa episodenya membawa misi semacam transformasi dana perguruan tinggi, perluasan beasiswa serta program kartu Indonesia Pintar Kuliah misalnya menjadi rekam jejak yang sampai hari ini terus berlangsung.
Artinya dalam hal ini upaya yang dilakukan untuk menutup segala kemungkinan alasan mendasar bahwa kuliah itu sulit dan mahal boleh jadi mulai secara serius diuraikan.
Kita perlu lalu mencoba membuka diri bahwa itu semua adalah terobosan yang patut diaminkan keberadaanya. Tapi belum cukup begitu saja, kita juga perlu mengakui lalu ke depan harus ada rentetan evaluasi dan pengawalan yang semaksimal mungkin demi mengurai segala masalah mendasar ini.
ADVERTISEMENT
Tak boleh juga merasa cukup dengan adanya program, tak sedikit juga perbendaharaan program-program nasional kita ini yang malah mandek serta jauh dari tujuan awalnya.
Akhirnya ya hanya menyisakan sesak yang mendalam dan portofolio kosong yang menghabiskan banyak sekali muatan anggaran nasional kita? Ini salah siapa? Ya perlu bahasan sendiri tentunya kalau mau menjawab soal sederhana itu.
Paling tidak semua yang dilakukan harus nyata dan mewujudkan bersama, bahwa saatnya semuanya dan siapa saja bisa kuliah.