Kekerasan Pada Perawat

idham choliq
Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya dan Peneliti di PUSAD UMSurabaya dan
Konten dari Pengguna
28 April 2021 21:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari idham choliq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://www.wisconsinnurses.org/
zoom-in-whitePerbesar
https://www.wisconsinnurses.org/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mendengar berita kekerasan terhadap tenaga kesehatan khususnya perawat bukanlah sebuah peristiwa baru di Indonesia. Jika anda tidak males, dan punya waktu luang untuk gugling akan muncul deretan peristiwa kekerasan yang menimpa perawat di Tanah Air. Meski bukan hal baru, peristiwa tersebut acap kali mengundang emosi yang tak terbendung. Sedih, mangkel, dan marah bercampur aduk. Seperti berita dan video yang tersebar kemarin lalu, seorang perawat perempuan di Rumah Sakit Siloam, Palembang mengalami tindakan kekerasan oleh keluarga pasien. Perawat tersebut ditampar, dijambak dan ditendang.
ADVERTISEMENT
“Oh, ya, kan memang ada itu perawat di Rumah Sakit kerjanya tidak sesuai SOP. Apalagi kalau pasien BPJS pasti dilama-lamain, tidak segera diberikan tindakan”
“Mas atau Mbak, jika ada perawat yang demikian bukan berarti dijadikan sebagai dalih untuk melakukan tindakan kekerasan”
“Lha, gimana, anaknya tidak diperlakukan sesuai SOP kan jadi emosi dan diluapkan oleh bapaknya”
“Tetap itu tidak bisa dijadikan alasan. Kalau tidak sesuai SOP, keluarga bisa menuntut melalui jalur hukum. Kan sudah jelas pasien itu punya hak dan kewajiban. Apalabila haknya tidak terpenuhi bisa menuntut. Perawat pun nanti dapat sanksi etik jika terbukti melanggar atau merugikan pasien”
ADVERTISEMENT
“Lalu, bagaimana dengan pasien BPJS pasti dilama-lamain, tidak segera diberikan tindakan?”
“Oh, tenang, saya paham maksudmu. Pasien BPJS itu adalah urusan manajemen Rumah Sakit. Sedangkan perawat hanya memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien”
“Kan ada itu pasien BPJS dicuekin oleh perawat. Jarang senyum dan dibeda-bedain”
“Tidak benar juga, Bu dan Pak. Mungkin saat itu anda menemukan kasus seperti itu. Tetapi tidak bisa mengenaralisir bahwa perawat itu tidak pro pasien BPJS. Banyak sekali perawat yang care pada pasien meskipun sudah sembuh, dan pulang ke rumah. Mengingatkan agar tetap menjaga kesehatan, mengatur pola istirahat dan tidur”
***
Tentu tidak semua orang memandang perawat sejelek itu. Di awal ramai-ramainya dunia dihantam oleh COVID-19 terlalu banyak simpati yang diterima oleh perawat, bahkan di masa pandemi ini kita sering mendengar mereka (baca=perawat) di sebut sebagai pahlawan terdepan (the heroes of front line) dalam menangani COVID-19. Rasa-rasanya ungkapan Florence Nigtingale hidup kembali bahwa menjadi perawat itu adalah “panggilan tuhan”. Memang betul bahwa profesi perawat itu mengedepankan nilai altruism. Di mana kepentingan orang lain yang harus didahulukan dari pada kepentingan perawat itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Tetapi jangan senang dulu, wahai perawat. Rasa simpati itu biasanya tak tahan lama. Orang-orang, bahkan pemerintah sekalipun juga bakal lupa dalam waktu singkat bahwa perawat itu adalah pahlawan.
Saya memang belum pernah bekerja sebagai perawat di Klinis maupun di Komunitas, tetapi saya bisa merasakan dan melihat langsung bagaimana pekerjaan berat yang diemban seorang perawat. Pengalaman itu saya dapatkan ketika Pratik klinik/komunitas baik saat kuliah D3 maupun S1 Keperawatan dulu.
Mereka akan lupa bahwa perawat itu berada di rumah sakit selama 24 jam memenami dan memenuhi kebutuhan seorang pasien. bahkan perawat juga dilimpahkan tugas yang seharusnya bukan tugas seorang perawat. Makanya mereka lebih dekat kepada pasien daripada dokter.
Maka, rasa simpati pada perawat saja tidak cukup sebagai imblan dari profesi mulai ini.
ADVERTISEMENT
Jangan dikira perawat yang memilih menjadi relawan COVID-19 itu semata-mata ingin menjadi bagian dari pahlawan COVID-19, bahkan sebagian dari mereka tidak butuh label pahlawan itu. Yang ada di pikiran mereka adalah adanya sejumput harapan agar dapur mereka tetap mengepul. Karena Insentif yang dibayarkan kepada mereka sangat besar dibandingkan bekerja sebagai perawat honorer di puskesmas yang hanya digaji ratusan ribu.
Tetapi kenyataannya, insentif mereka pun mengalami keterlambatan berbulan-bulan. Saya tidak tahu persis bagaimana beban mental, sosial, dan finansial yang mereka alami. Yang jelas ini sangat memprihatikannyan.
Apalagi dalam situasi seperti itu mereka juga sangat rentan mengalami tindakan kekerasan baik verbal maupun fisik.
Pada sebuah acara di statisun televisi, Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Harif Fadhillah, diberikan pertanyaan oleh Rosi tentang tanggapannya mengenai perlindungan perawat dari tindakan kekerasan. Apakah ada ganti rugi, bantuan pemulihan, hukum dst. Harif Fadhillah menjawa itu tergantung kepada pribadi setiap perawat. DPP PPNI tentu akan memberikan bantuan hukum kepada perawat, dan selebihnya pihak Rumah Sakit juga membuat aturan-aturan yang melindungi pekerjanya termasuk perawat.
ADVERTISEMENT
Jawaban tersebut tentu belum memuaskan. Selama pandemi ini ada puluhan bahkan ratusan tindakan kekerasan yang dialami tenaga kesehatan di Dunia. Saya tidak tahu persis berapa angka kekerasan pada nakes di Indonesia. Berdasarkan keterangan dari Ketua DPP PPNI ada sekitar sepuluh kasus hukum yang masih berjalan. Semoga perawat dimanapun kalian bekerja diberikan kekuatan menjalani profesi mulai ini.