Keadaan Darurat Dan Konflik Kepentingan

Ibnu Syamsu Hidayat
Advokat di Firma Hukum Themis Indonesia
Konten dari Pengguna
27 November 2021 6:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ibnu Syamsu Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Akhir-akhir ini publik riuh dengan pemberitaan media massa yang memberitakan bahwa sejumlah pejabat negara, setingkat menteri diduga sedang berbisnis alat polymerase chain reaction (PCR). Bahkan Mereka disebut-sebut memiliki perusahaan dan memiliki lab untuk tes PCR.
ADVERTISEMENT
Tentu hal tersebut menjadi kontroversi di tengah masyarakat, satu sisi mengatakan ini adalah perusahaan sosial yang laba atau keuntungannya akan digunakan kembali untuk kegiatan sosial dalam hal ini untuk penanganan COVID-19, sebaliknya satu sisi memiliki pendapat bahwa seorang pejabat negara seharusnya tidak melakukan bisnis yang berkaitan dengan penanganan COVID-19, lebih lagi mereka yang berbisnis merupakan leading sector dari penangan COVID-19 sehingga rawan konflik kepentingan. Apalagi asumsi konflik kepentingan tersebut seakan terlihat dengan jelas, walaupun perlu untuk dibuktikan, saat pengelolaan pandemi COVID-19 dilakukan dengan ganti-ganti kebijakan yang sumir arah.
Berawal State Of Emergency Yang Salah Arah
Penulis mulai dari Bulan Maret 2020, momen awal COVID-19 masuk di Indonesia. Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Coronavirus Disease. Selang beberapa bulan, terbit Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Disease 2019 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
ADVERTISEMENT
Bukan berarti keadaan darurat kemudian penyelenggara negara bebas dari ancaman hukum, seharusnya salah atau tidaknya kesalahan merupakan hak mutlak lembaga peradilan. Alih-alih demikian, Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang kemudian sah menjadi UU tersebut berpotensi melegalkan tindak pidana korupsi, Pasal 27 menyebutkan bahwa biaya yang keluar dalam hal melaksanakan kebijakan bidang keuangan daerah, perpajakan, program pemulihan ekonomi nasional, kebijakan keuangan negara dan lainnya, merupakan bagian dari upaya penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian keuangan negara.
Tidak cukup dengan frasa bukan merupakan kerugian negara sejak telah terjadi agenda setting agar penyelenggara negara dapat bebas dari jeratan hukum, khususnya tindak pidana korupsi dalam hal penanganan COVID-19, Pasal 27 juga mengatur secara tegas ketentuan pejabat negara yang menjalankan tugasnya dengan itikad baik tidak dapat dituntut secara hukum, baik segi hukum perdata maupun pidana.
ADVERTISEMENT
Selain Perppu Nomor 1 Tahun 2020, diskresi yang dibuat oleh pemerintah dalam penanganan COVID19 adalah Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2020 tentang Refocusing Anggaran serta Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19, Peraturan Menteri Keuangan RI No. 210/PMK.02/2019 tentang Tata Cara Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2020 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 20 Tahun 2020 tentang Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 Di Lingkungan Pemerintah Daerah,
Dalam situasi yang serba sulit seperti ini, diskresi merupakan pilihan yang ideal dan diatur di dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 1 angka 9. Namun dalam prosesnya, pemerintah juga harus tetap memastikan dan menjaga agar penyelenggara negara tidak bertindak sewenang-wenang, tidak melaksanakan penanganan COVID-19 tetapi dibungkus juga dengan konflik kepentingan yang pada ujungnya berpotensi menguntungkan pribadi maupun kelompok.
ADVERTISEMENT
Tentu, alasan tidak adanya tuntutan hukum atau tidak dapat dituntut secara hukum baik perdata maupun pidana ini ada legal reasoningnya. Mengutip pandangan dari Indriyanto Seno Adji menyatakan bahwa dalam hukum pidana terdapat konsep dasar penghapusan pidana, yaitu tiada hukuman tanpa adanya upaya melawan hukum secara materiil/melawan hukum materiil negatif, artinya walaupun suatu perbuatan telah memenuhi unsur pidana, tidak selalu dapat dihukum apabila benar adanya suatu pengecualian berdasarkan aturan-aturan hukum tidak tertulis. Misalkan putusan Mahkamah Agung Nomor 81/K/Kr/1973, walaupun telah terbukti pelaku berbuat tindak pidana yang menimbulkan kerugian atas tindakannya, akan tetapi kerugian tersebut tidak untuk menguntungkan dirinya secara pribadi, kepentingan umum terus terlayani, mempunyai tujuan yang bermanfaat untuk kepentingan masyarakat dan negara tidak dirugikan.
ADVERTISEMENT
Penulis berpandangan bahwa negara seharusnya menerapkan upaya preventif agar tidak terjadi korupsi dalam penanganan COVID-19 dilarang melakukan tindak pidana korupsi dengan tetap ada ancaman pidana korupsi. Apakah benar jika pejabat negara ini tidak ada niat untuk menguntungkan diri sendiri, tetap dapat melayani kepentingan umum dan negara tidak dirugikan? Negara harus belajar dari pengalaman korupsi dana bencana alam di Palu, korupsi e-KTP yang merupakan hak dasar warga negara.
Prasangka baik Pemerintah dipatahkan oleh pembantu presiden, hal tersebut dibuktikan dengan perilaku jahat Juliari Batubara dan kelompoknya yang melakukan korupsi bantuan sosial COVID-19 untuk masyarakat miskin dalam penanganan COVID-19.
Konflik Kepentingan
Menyadur dalam buku yang disusun oleh KPK yang mengutip pandangan Ducan Willianson, Konflik kepentingan adalah suatu kondisi di mana dalam seseorang, seperti petugas public, seorang pegawai, atau seorang professional, memiliki kepentingan privat atau pribadi dengan mempengaruhi tujuan dan pelaksanaan tugas-tugas kantornya atau organisasinya.
ADVERTISEMENT
Adapun sebab-sebab yang menimbulkan konflik kepentingan ini terjadi dalam pemerintahan dipengaruhi oleh beberapa hal, misalkan tujuan tidak dirumuskan dengan jelas, adanya perangkapan jabatan, seorang pejabat menduduki dua atau bahkan lebih jabatan sehingga dapat diduga tidak bias menjalankan jabatan secara independen dan akuntabel dan hubungan afiliasi, misalkan hubungan darah, hubungan perkawinan, atau hubungan pertemanan yang itu dapat diduga mempengaruhi keputusannya.
Dalam penanganan COVID-19 ini, sepertinya sebab-sebab terjadinya konflik kepentingan yang disebutkan di atas sudah terjadi, misalkan dengan adanya penunjukan-penunjukan langsung di pemerintah-pemerintah daerah dalam hal yang berkaitan dengan pandemi di daerah, adanya rangkap jabatan juga terjadi dalam situasi penanganan pandemi COVID-19, pejabat negara yang melakukan bisnis dengan rekan bisnisnya. Dalam situasi pandemi ini jangan sampai terjadi Actual conflict of interest, yaitu konflik kepentingan yang ada di antara tugas/ tanggung jawab resmi dan kepentingan pribadi (where a conflict exists between your official duties or responsibilities and your private interests).
ADVERTISEMENT
Konflik kepentingan berpotensi mendorong penyelenggara negara mengalami kondisi di mana pertimbangan pribadi, pertimbangan kelompok terdekat, kerabat mempengaruhi, mendominasi atau bahkan dapat mengesampingkan profesionalitas dalam menjalankan tugas. Dengan kondisi inilah yang kemudian menyebabkan pertautan antara korupsi dengan konflik kepentingan.
Peraturan yang spesifik mengatur konflik kepentingan belum diatur secara jelas, baik dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Presiden, dan Instruksi Presiden. Pengaturan mengenai konflik kepentingan terdapat di Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pasal 12 huruf I, namun hanya mengatur sektor pengadaan barang dan jasa.
Sejatinya, Indonesia telah melakukan ratifikasi UNCAC yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi) telah menganjurkan kepada pemerintah untuk membuat pengaturan terkait konflik kepentingan. Hal tersebut dijelaskan pada Pasal 7 ayat 4 dan Pasal 8 ayat 5 United Nations Convention Against Corruption. Namun, anjuran tersebut sampai saat ini belum dilaksanakan oleh legislatif maupun eksekutif yang lebih memilih melakukan revisi Undang-undang KPK.
ADVERTISEMENT
Ibnu Syamsu Hidayat, Advokat di Themis Indonesia