Bali, Ormas, dan Tahun Politik 2024

I Gusti Ngurah Krisna Dana
Dosen Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Warmadewa
Konten dari Pengguna
4 Juli 2023 9:53 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari I Gusti Ngurah Krisna Dana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tempat wisata di Bali. Foto: Guitar photographer/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tempat wisata di Bali. Foto: Guitar photographer/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Provinsi Bali dengan kearifan budaya serta destinasi pariwisata yang indah memang menarik siapapun untuk mengunjungi Pulau Dewata. Beragam pilihan destinasi pariwisata tersaji seperti pantai, gunung hingga danau, termasuk tata kelola untuk mengatur agar kenyamanan dan keamanan pariwisata Bali terjaga dengan baik.
ADVERTISEMENT
Berkaitan dengan hal tersebut, Bali dengan beragam destinasi pariwisata, kerap menghadapi masalah. Permasalahan perilaku wisatawan, alih fungsi ruang lahan hijau dan laut untuk kebutuhan pariwisata, hingga peran serta organisasi kemasyarakatan (ormas) yang berkecimpung di dalam dunia pariwisata, terlebih menghadapi tahun politik 2024 semakin menarik untuk dilihat.
Bali dengan mayoritas penduduk memeluk agama Hindu, memang memiliki beberapa ormas yang besar, eksis, dan loyal di masyarakat. Simbol-simbol ormas yang ada di Bali, mencirikan rasa menyama braya (gotong-royong) antar-golongan masyarakat demi untuk menciptakan rasa kebersamaan dalam kehidupan.
Tanpa menyebut spesifik nama-nama ormas di dalam tulisan ini, saya menyampaikan opini mengenai fenomena keberadaan ormas di tengah tahun-tahun politik 2024. Lebih spesifik adalah elite ormas yang mendapat posisi strategis di Pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Kemudian, relevansi berikutnya adalah bagaimana mereka yang menempati posisi strategis menghadapi tahun politik 2024 yang kental dengan kepentingan. Terlebih, track record ormas di Bali pernah mengalami masa-masa suram dengan kericuhan kamtibmas yang dibuatnya.

Ormas Ricuh, Masyarakat Gusar

Ilustrasi wisatawan di Bali Foto: Dok. Kemenparekraf
Pada medio tahun 2015-2016, Bali, lebih spesifiknya di Kota Denpasar di-riweuh-kan dengan aksi reaksi dari ormas yang ricuh. Oknum-oknum ormas yang memiliki masa besar turun ke jalan untuk melakukan tindakan mengganggu Kamtibmas. Muara dari permasalahan oknum ormas dilatarbelakangi persaingan antar Ormas yang merembet kepada gotok-gotokan antar anggota.
Jika melihat kembali pada tahun-tahun tersebut, kala itu kondisi Bali yang diwarnai ricuh ormas, tak ubahnya seperti game GTA San Andreas yang kental dengan kericuhan sana sini. Kemudian, pasca kejadian ricuh ormas-ormas di medio tahun 2015-2016 tersebut.
ADVERTISEMENT
Bali mampu bangkit untuk berbenah, melalui ketegasan aparat penegak hukum. Masyarakat yang awalnya gusar akibat ulah ricuh oknum ormas, perlahan mendapat angin segar akibat ketegasan dari aparat penegak hukum, dalam hal ini Kepolisian di bawah kepemimpinan Kapolda Bali, Bapak Petrus Golose.
Langkah tegas aparat dalam memberantas ormas di Bali, diikuti dengan surat peringatan dari Gubernur Bali, Wayan Koster. Pada tahun 2019, Gubernur memberikan warning keras kepada ormas-ormas yang tercatat pernah dan berpotensi untuk membuat huru-hara di tengah masyarakat.
Warning dari Gubernur mengikuti rekomendasi dari Kapolda Bali kala itu, Bapak Petrus Golose untuk melakukan pembekuan ormas pasca kericuhan yang mereka perbuat. Hingga kini, dampak dari warning Gubernur dan ketegasan aparat kala itu mampu untuk setidaknya memberi efek deterrence kepada ormas agar tak mengulangi sikap ricuh nya.
ADVERTISEMENT

Petinggi Ormas Menempati Posisi Strategis Pasca Kericuhan

Ilustrasi desa wisata di Bali. Foto: SantiPhotoSS/Shutterstock
Pasca kejadian ricuh oknum ormas di Bali pada medio tahun 2015-2016, yang diikuti dengan langkah tegas aparat untuk memberantas dan mencegah kejadian terulang kembali, maka terdapat fenomena menarik untuk dilihat. Fenomena tersebut yakni adanya posisi strategis oleh elite ormas untuk mengisi jabatan strategis di pemerintahan, baik provinsi maupun kabupaten di Bali.
Jabatan dan posisi strategis tersebut ditempati oleh elite ormas yang sebelumnya telah sepakat untuk berdamai melalui surat warning dari Gubernur Koster pada tahun 2019.
Lalu, dalam benak saya muncul perspektif mengenai fenomena ini. Apakah boleh petinggi ormas memegang jabatan dan posisi strategis di dalam pemerintahan? Apakah nanti tidak berdampak pada eskalasi ormas pada level pemerintahan yang berdampak pada kebijakan yang timpang sebelah?
ADVERTISEMENT
Nampaknya, kegusaran saya terhadap fenomena di atas terjawab oleh statement dari Menteri Dalam Negeri kala itu, Bapak Alm Tjahjo Kumolo. Dilansir dari Merdeka.com (Rabu, 18 Januari 2017) , Mendagri menyebut bahwa tidak ada yang salah dalam melihat pejabat publik menjadi petinggi atau pembina sebuah ormas.
Menurut hemat saya, posisi strategis yang ditempati oleh petinggi ormas di Bali memang tidak ada yang salah, mereka mempunyai modal masa dan pendukung untuk menempati posisi tersebut.
Nampaknya, keterampilan manajerial terutama dalam mengatur birokrasi di Pemerintahan perlu untuk menjadi bahan acuan petinggi-petinggi ormas agar amanah dalam menjalankan tugas demi untuk masyarakat, bukan untuk kepentingan golongan masing-masing.
Selanjutnya, berkaitan dengan posisi strategis oleh elite ormas di Bali. Keberadaan Pulau Bali sebagai destinasi pariwisata yang di dalamnya turut terdapat masalah seperti, perilaku wisatawan yang kurang beradab hingga eskalasi lahan terhadap kebutuhan pariwisata, sejatinya patut menjadi titik point bagi elite ormas yang duduk di posisi strategis untuk bersama-sama mencari jalan keluar.
ADVERTISEMENT
Modal pendukung dari anggota ormas setidaknya dikerahkan untuk mencari titik temu permasalahan yang ada di Bali. Kericuhan yang pernah terjadi di antara ormas kala itu juga sebaiknya menjadi pembelajaran agar ke depan antar-ormas bersaing secara sehat.
Momentum tahun politik 2024 sejatinya turut menjadi panggung bagi para elite ormas yang memegang posisi strategis untuk turun menyerap aspirasi masyarakat. Kepentingan masyarakat luas tetap diutamakan, tak terbatas hanya di anggota atau loyalis ormas mereka.
Beragam permasalahan di Bali seharusnya menjadi acuan mereka untuk menghasilkan sebuah kebijakan yang dapat dirasakan semua entitas masyarakat luas.
Pada akhirnya, memang label sebagai elite ormas pun tetap akan ada di dalam sosok-sosok politisi yang lahir dari rahim perjuangan Ormas yang juga mendapat amanah di dalam kursi pemerintahan. Semua itu akan bermakna baik, jika kebijakan yang dihasilkan menghasilkan kepentingan bersama, bukan golongan tertentu.
ADVERTISEMENT