Mudik Lebaran: Momen Bahagia atau Tantangan Psikologis?

Unisa Yogyakarta
Universitas Aisyiyah Yogyakarta (UNISA) sebagai sebuah institusi pendidikan tinggi berdiri sejak 6 Juni 1991. Dengan pengalaman lebih dari 30 tahun UNISA Yogyakarta bertransformasi menjadi sebuah universitas berwawasan kesehatan.
Konten dari Pengguna
9 April 2024 10:50 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Unisa Yogyakarta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mudik atau pulang kampung merupakan momen yang seharusnya ditunggu-tunggu datang. Seharusnya, momen pulang kampung saat lebaran akan menjadi momen yang membahagiakan, bukan menegangkan.
mudik menjadi momen yang paling ditunggu

Mudik Lebaran

ADVERTISEMENT
Tapi realitanya terkadang tidak demikian. Kebahagiaan yang menurut Seligman (tokoh psikologi positif) adalah hasil dari kontribusi lingkungan dan faktor internal ini, menjadi ukuran bahwa konsep Bahagia saat lebaran menjadi nisbi manakala pertanyaan stigmatif lebaran mulai bermunculan dari lingkungan.
Mereka yang akan pulang ke kampung halaman, pasti merasakan hal ini. Mulai dari ditanya “Kapan lulus?”, “Kapan nikah?”, “Kapan punya momongan?”, “Kapan kerja?”, maupun kapan kapan yang lainnya. Ya begitulah, kebiasaan peduli kebablasan menjadi curiosity. Bagaimana dengan kalian sendiri, apakah kalian juga pernah mengalaminya?..
Berdasarkan survey terbatas yang dilakukan oleh Ratna Yunita Setiyani Subardjo, S.Psi., M.Psi., Psikolog yang merupakan dosen prodi Psikologi UNISA Yogyakarta, didapatkan data bahwa pertanyaan paling dihindari saat lebaran bagi mahasiswa adalah “Kapan lulus?”, sedangkan bagi mereka yang sudah lulus, tetap saja akan muncul pertanyaan lainnya dengan “Kapan kerja”. Tidak berhenti disitu saja, pertanyaan lainnya setelah lulus adalah “Kapan nikah?”, dan malangnya, bagi yang sudah menikahpun tetap akan dicecar pertanyaan dengan “Kapan punya momongan?”. Ini sering ditanyakan ketika berkumpul dengan keluarga saat lebaran. Walau terdengar sepele, pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi “momok” bagi sebagian orang sehingga mereka merasa tertekan. Dampak pertanyaan tersebut bahkan dapat memunculkan gangguan psikologis. Lantas, kenapa orang Indonesia senang menanyakan pertanyaan-pertanyaan stigmatif tersebut saat lebaran? Lalu, bagaimana cara menjawabnya?
ADVERTISEMENT
Ditanya dengan pertanyaan-pertanyaan stigmatif tersebut saat kumpul bersama keluarga ketika lebaran memang membuat kurang nyaman, terlebih jika belum memiliki progress dalam studi/lambat progress, belum memiliki pacar atau pasangan, atau belum memiliki pekerjaan mapan, atau belum memiliki momongan. Bagi Anda yang berencana mudik saat lebaran namun belum siap dengan pertanyaan-pertanyaan stigmatif yang besar jadi akan dilontarkan keluarga dan handai taulan ini, berikut beberapa tips menghadapinya:
1. Bangun Topik Pembicaraan yang Umum
Hindari topik obrolan yang menjurus ke ranah pribadi supaya tidak memancing pertanyaan dari orang lain.
2. Alihkan Topik Pembicaraan
Cobalah untuk mengalihkan topik obrolan dengan lawan bicara ke hal-hal yang umum. Pertanyaan sensitif yang kurang etis ditanyakan, terutama kepada mereka yang memiliki keterbatasan atau permasalahan pribadi.
ADVERTISEMENT
3. Hadapi Dengan Senyuman
Hadapi pertanyaan stigmatif ini dengan senyuman. Terkadang orang bertanya tanpa berpikir, dan senyuman dapat membawa dampak positif bagi diri kita dan orang lain.
4. Balas Dengan Lelucon
Balas pertanyaan ini dengan lelucon atau candaan untuk menurunkan tegangan dan menghindari “bad mood”.
5. Menjauh
Jika merasa risih atau tidak betah karena ditanya dengan pertanyaan stigmatif ini, ada baiknya menjauh dari lokasi. Lakukan relaksasi untuk mengurangi dampak negatifnya.
Semoga tips sederhana ini dapat membantu menghadapi pertanyaan-pertanyaan stigmatif tersebut dengan lebih tenang dan bahagia saat berkumpul dengan keluarga pada momen lebaran.