THR, Hak Kaum Buruh

Heru Mulyono
Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Pamulang
Konten dari Pengguna
24 Maret 2024 15:08 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Heru Mulyono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pembagian THR. Doc.Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pembagian THR. Doc.Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Untuk kalangan buruh di Indonesia, istilah THR (Tunjangan Hari Raya) sudah tidak asing lagi bagi mereka. Tunjangan Hari Raya merupakan hak setiap buruh Indonesia yang dibayarkan 1(satu) tahun sekali menjelang hari raya keagamaan dan telah diatur dalam Undang-Undang. Tunjangan Hari Raya diberikan bukan untuk berfoya-foya, melainkan untuk memenuhi kebutuhan menjelang atau selama Hari Raya Keagamaan. Tunjangan Hari Raya diberikan kepada buruh yang telah memiliki masa kerja tertentu dan merupakan kewajiban pengusaha untuk memberikan Tunjangan Hari Raya tersebut. Menteri Ketenagakerjaan menegaskan bahwa pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) harus dibayarkan secara penuh dan tidak boleh dicicil, hal tersebut disampaikan saat Konferensi Pers terkait Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2024 bagi Pekerja/Buruh.
ADVERTISEMENT
Sejarah Tunjangan Hari Raya di Indonesia
Konsep Tunjangan Hari Raya pertama kali diajukan oleh Soekiman Wirjosandjojo (Perdana Menteri sekaligus Menteri Dalam Negeri Indonesia ke-6) yang awalnya memberikan Tunjangan Hari Raya kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan tujuan menyejahterakan mereka. Kemudian ada tuntutan dari kaum buruh perihal pemberian Tunjangan Hari Raya, karena kaum buruh tidak mendapatkan perhatian seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pada tahun 1994 pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 04 tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya bagi kaum buruh. Lalu pada tahun 2016 peraturan tersebut direvisi menjadi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 06 tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi kaum buruh.
Dasar Hukum Pemberian Tunjangan Hari Raya
ADVERTISEMENT
Dasar hokum pemberian Tunjangan Hari Raya ini terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 pasal 9 ayat 1 tentang pengupahan menyatakan bahwa “Tunjangan Hari Raya keagamaan wajib diberikan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh”. Kemudian juga terdapat dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Selanjutnya ada didalam Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/2/HK.04/III/2024 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan 2024 Bagi Pekerja/Buruh Di Perusahaan.
Waktu Pemberian Tunjangan Hari Raya
Didalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 disebutkan bahwa Tunjangan Hari Raya diberikan 1(satu) kali dalam setahun. Disebutkan juga pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 pasal 6 bahwa pemberian Tunjangan Hari Raya harus dalam bentuk uang. Pemberian Tunjangan Hari Raya diberikan kepada pekerja/buruh paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari raya keagamaan, hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 pasal 5 ayat 4, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 pasal 9 ayat 2 dan Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/2/HK.04/III/2024.
Ilustrasi Uang THR. Doc.Pribadi
Manfaat Tunjangan Hari Raya
ADVERTISEMENT
Tunjangan Hari Raya bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan menjelang Hari Raya yang biasanya harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Tunjangan Hari Raya bisa juga untuk ditabung dan digunakan untuk kebutuhan mendesak. Dengan diberikannya Tunjangan Hari Raya, membuktikan bahwa pemerintah mempunyai tujuan untuk mensejahterakan kaum buruh/pekerja. Tanpa disadari bahwa dengan memberikan Tunjangan Hari Raya tersebut juga dapat meningkatkan perekonomian.
Pekerja Yang Berhak mendapatkan Tunjangan Hari Raya
Pertama, yang berhak mendapatkan Tunjangan Hari Raya adalah karyawan atau pekerja yang telah mempunyai masa kerja satu bulan secara terus menerus atau lebih (Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 pasal 2 ayat 1).
Kedua, yang berhak memperoleh Tunjangan Hari Raya adalah karyawan atau pekerja dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) atau karyawan tetap maupun pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau karyawan kontrak (Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 pasal 2 ayat 2).
ADVERTISEMENT
Ketiga, yang berhak mendapatkan Tunjangan Hari Raya adalah karyawan atau pekerja yang hubungan kerjanya berdasarkan PKWTT dan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) terhitung sejak 30 (tiga puluh) hari sebelum hari raya keagamaan (Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 pasal 7 ayat 1). Namun hal ini tidak berlaku bagi karyawan atau pekerja dengan PKWT yang berakhir sebelum hari raya keagamaan (Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 pasal 7 ayat 3).
Keempat, yang berhak mendapatkan Tunjangan Hari Raya adalah karyawan atau pekerja yang dipindahkan ke perusahaan lain dengan masa kerja berlanjut, dan jika perusahaan lamanya belum memberikan Tunjangan Hari Raya (Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 pasal 8).
Besaran Tunjangan Hari Raya
ADVERTISEMENT
Didalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 pasal 3 ayat 1 dijelaskan bahwa pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan secara terus menerus atau lebih diberikan sebesar 1(satu) bulan upah, adapun bagi pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 1(satu) bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12(dua belas) bulan maka diberikan secara proporsional sesuai dengan masa kerjanya, yaitu masa kerja/12 x 1 (satu) bulan upah. Satu bulan upah yang dimaksud tersebut adalah upah tanpa tunjangan yang merupakan upah bersih (clean wages) atau upah pokok termasuk tunjangan tetap (Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 pasal 3 ayat 2).
Kemudian didalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 pasal 3 ayat 3 dijelaskan bahwa bagi pekerja/buruh yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja harian lepas, upah 1 (satu) bulan dihitung dengan ketentuan jika pekerja/buruh bersangkutan telah mempunyai masa kerja selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut, maka 1 (satu) bulan upah dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan terakhir sebelum hari raya keagamaan. Sedangkan jika pekerja/buruh mempunyai masa kerja kurang dari 12 (dua belas) bulan, maka upah 1 (satu) bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima setiap bulannya selama bekerja.
ADVERTISEMENT
Apabila pemberian Tunjangan Hari Raya berdasarkan dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau kebiasaan yang telah dilakukan lebih besar dari nilai Tunjangan Hari Raya yang diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016, maka Tunjangan Hari Raya dibayarkan sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau kebiasaan yang telah dilakukan (Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 pasal 4).
Sanksi Bagi Pengusaha
Pengusaha yang terlambat membayar Tunjangan Hari Raya kepada pekerj/buruh dikenakan denda sebesar 5% (lima persen) dari total Tunjangan Hari Raya yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu, dan pengenaan denda tersebut tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk tetap mebayarkan Tunjangan Hari Raya kepada pekerja/buruh (Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 pasal 62 ayat 1 dan 2, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 pasal 10 ayat 1 dan 2)
ADVERTISEMENT
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 pasal 79 ayat 1 jo pasal 9 ayat 1 dan 2, pengusaha yang tidak membayarkan Tunjangan Hari Raya kepada pekerja/buruh juga dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagaian atau seluruh alat produksi, dan bahkan sampai pembekuan kegiatan usaha.
Penyelesaian Perselisihan
Perselisihan biasanya terjadi karena hak yang tidak terpenuhi. Apabila hal tersebut terjadi dapat diselesaikan melalui mediasi antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha (Bipartet). Apabila mediasi tersebut gagal, dapat dilanjutkan dengan mediasi antara pekerja/serikat pekerja, pengusaha, dan pihak netral/perwakilan Disnaker (Tripartet). Apabila masih gagal juga, pekerja/serikat pekerja bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Hal ini sudah diatur didalam Undang-Undang PPHI Nomor 02 tahun 2004 pasal 1 dan 2 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
ADVERTISEMENT