TAN, Novel Sejarah yang Asyik

Konten dari Pengguna
19 Februari 2017 1:51 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari hendra kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bab 3 Novel TAN (Foto: Pribadi)
Perkenalan saya dengan TAN karangan Hendri Teja ini terjadi waktu membaca Majalah Tempo di awal Januari lalu. Rupanya TAN bersama Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi karangan Yusi Avianto Pareanom, serta Kiat Sukses Hancur Lebur karangan Martin Suryajaya menjadi tiga novel yang direkomendasikan majalah tempo.
ADVERTISEMENT
Well, penasaran saya terbit. Tumben Majalah Tempo mau merekomendasikan novel sejarah yang biasanya kaku dan menjemukan.
Pekan depannya, waktu ke toko buku, saya membeli TAN. Habis itu, gegara kerjaan lagi padat-padatnya, TAN terpaksa nangkring saja di rak buku saya. Mau bagaimana lagi?
Saya bukan tergolong orang yang bisa membaca di mana saja; semisal di KRL atau saat menunggu taxi online. Bagi saya membaca itu privat. Saya enggan tergaduh. Saya butuh waktu berkualitas.
Quality time saya dapat pas Pilkada Jakarta tempo hari. Habis mencoblos paslon idola yang syukurnya masuk putaran kedua, saya langsung pulang. Ditemani kopi Aceh, saya mulai membaca. Seharian penuh. Kesimpulan saya, TAN benar-benar novel sejarah, tapi mengasyikan.
ADVERTISEMENT
Latar TAN membentang dari Belanda, Sumatera, dan Jawa pada awal abad ke-20. Diadaptasi dari riwayat hidup Ibrahim Tan Malaka, seorang pemuda Minangkabau yang mendapat pencerahan akan nasib penindasan bangsanya sewaktu berkesempatan sekolah guru di Nederland. Kesadaran ini berbuah jadi perjuangan via tulisan dan organisasi.
Sesudah kegagalan di Nederland, Tan lalu terjun ke dalam pergerakan Hindia Belanda. Alur heroik akan menjemukan jika tidak diimbangi kemahiran berkisah. Syukurlah, di antara kelebut pergerakan, juga terselip kisah cinta segitiga, pengkhianatan, sampai kebajikan universal.
Ok, bagi saya, TAN sudah lolos ujian kutukan novel sejarah.
TAN kaya akan riset. Bukan hanya tentang kejadian-kejadian penting di masa itu, tetapi juga kiprah tokoh dan organisasi pergerakan, sistem pendidikan era kolonial, jumlah kekayaan yang dikeruk dari perut bumi Indonesia disajikan dengan apik.
ADVERTISEMENT
Btw, ini novel pertama yang saya temukan menyematkan tabel. Lucu sekaligus tragis. Karena itu adalah data kematian penduduk Semarang akibat wabah 1917. Lebih dari 100 ribu jiwa korbannya. Tabel ini muncul dalam percakapan antara Semaun dan Tan Malaka sewaktu mau mendirikan sekolah rakyat Sarekat Islam.
Riset TAN juga meliputi arsitektur gedung, nama jalan dan bangunan, disajikan manis, dengan penjelasan bagaimana nasib gedung dan jalan itu di masa sekarang. Akibatnya, membaca TAN ibarat membaca eksiklopedia bangunan-bangunan bersejarah dengan narasi yang asyik. Biar saya tukilkan salah satunya.
ADVERTISEMENT
Pada catatan kaki, diterakan informasi Nederlandsche Handel Maatschappij dan stadhuis Batavia sekarang dijadikan Museum Bank Mandiri dan Museum Sejarah Jakarta. Kelak, kalau tamasya ke kota Tua saya bisa menghayalkan perjalanan Tan Malaka di sini. Masih banyak yang macam ini, seperti di Bandung, Semarang, Surabaya, Solo, Bukitingi sampai ke Harlem Belanda.
Penceritaan TAN juga tergolong lancar, tidak patah. Semua tokoh dinarasikan apik, proporsional, dan lurus habis. Tidak ada sosok yang sekonyong-konyong muncul hingga alis kita berkernyit. Bahasanya juga bersih. Bertaburan kosa kata Belanda, Arab dan Minangkabau yang membuat narasi budaya Belanda-Indonesia dan Minangkabau-Melayu semakin hidup.
Kelemahannya, ada beberapa kata yang membuat saya terpaksa membuka kamus online --but it’s ok. Hitung-hitung belajar lagi :D Akhir kata, karena lagi ramai-ramainya isu SARA di Pilkada, ada quote TAN yang cocok buat hal ini.
ADVERTISEMENT
Siapapun kita, apapun keadaan kita, kaya miskin, putih cokelat, Islam Kristen, kita dilahirkan Merdeka. Itulah martabat yang sesungguhnya, kemerdekaan sebagai manusia.