Pembocor RPH Perkara 90 MK, Pahlawan atau Penjahat?

Hendra J Kede
Ketua Dewan Pengawas YLBH Catur Bhakti / Partner pada Kantor Hukum E.S.H.A and Partners / Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI 2017-2022 / Ketua Pengurus Nasional Mapilu-PWI 2003-2013 / Wakil Ketua Dept. Kerjasama dan Komunikasi Umat ICMI Pusat
Konten dari Pengguna
8 November 2023 10:11 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hendra J Kede tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tentu saja penulis termasuk salah seorang warga negara yang terhenyak, kaget, seolah tak percaya mendengar pembacaan Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Selasa sore (6/11/2023) terkait apa yang dikenal dengan Perkara 90 tentang syarat usia minimal Capres-Cawapres yang dipimpin Prof. Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua MK.
ADVERTISEMENT
Bagaimana tidak terhenyak, kaget, dan seolah tak percaya, seluruh Hakim Konstitusi sebagai 9 (sembilan) pilar penjaga Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran etik, bahkan sang Ketua terbukti melakukan pelanggaran etik berat.
Bukankah kesembilan Hakim Konstitusi itu adalah para negarawan semua sesuai syarat menjadi Hakim Konstitusi yang disyaratkan UU MK?
Penulis pun tambah prihatin mengingat beberapa tahun ke depan sidang-sidang Mahkamah Konstitusi akan dijalankan oleh para Hakim Konstitusi pelanggar etik.
Kita 'terpaksa' dalam persidangan perselisihan hasil Pilpres, Pemilu DPR, DPD, DPRD, sampai Pilkada tahun depan memanggil Hakim Konstitusi Pelanggar etik tersebut dengan sebutan Yang Mulia. Betapa menyedihkannya.
Walaupun 7 (tujuh) Hakim Konstitusi 'hanya' melakukan pelanggaran etik ringan dan mendapat sanksi teguran lisan dan satu orang Hakim Konstitusi mendapat teguran tertulis karena pernah sebelumnya mendapat teguran lisan.
ADVERTISEMENT
Namun, bagi sekelas negarawan pelanggaran etik itu seharusnya tidak ada ringan, sedang, dan berat. Pelanggaran etik ya pelanggaran etik karena, menurut penulis, etik itu adalah mahkota putusan. Dan bukankah putusan itu adalah mahkota Hakim Konstitusi?
Apalah lagi sang Ketua Mahkamah Konstitusi, Ketua Guardian of Constitusion of Republik of Indonesia, Ketua para wakil Tuhan yang fiberi wewenang menerima, memeriksa, dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir.
Di mana putusannya bersifat final and binding terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan begitu banyak Kode Etik Hakim Konstitusi, sehingga ditetapkan sebagai pelaku pelanggaran etik berat dan diberi ganjaran pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Tidak berhenti di situ, sang Ketua juga dilarang mencalonkan maupun dicalonkan sebagai Ketua MK selama sisa masa jabatannya. Dilarang terlibat dalam memeriksa dan memutus sengketa hasil Pilpres, sengketa hasil Pileg, dan sengketa hasil Pilkada sepanjang sisa masa jabatannya.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, tentu saja, jika Sang Ketua tetap bertahan sebagai Hakim Konstitusi, dan masih tenang menerima panggilan Yang Mulia, persidangan terkait materi tersebut hanya akan dijalankan oleh 8 (delapan) Hakim Konstitusi.
Bukankah ini berbahaya sekali? Bagaimana, misalnya, jika dalam sengketa Pilpres tidak tercapai musyawarah mufakat di antara Hakim MK dan hasil voting 4 vs 4, bagaimana solusi hukumnya?
Duh Gustiiiiii...... kenapa begitu berat rasanya cobaan yang diderita bangsa Indonesia karena perilaku negarawan yang ternyata tidak lagi negarawan ini?

Pembocor Pahlawan atau Penjahat

Ilustrasi Mahkamah Konstitusi Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Rakyat Indonesia sebagai pemilik sah kedaulatan negeri ini tidak akan pernah tahu adanya pelanggaran etik yang dilaksanakan secara berjemaah di Mahkamah Konstitusi dalam menangani perkara 90 ini, bahkan Ketua MK melakukan pelanggaran berat, jika tidak ada yang membocorkan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) Hakim Konstitusi terkait Perkara 90 kepada publik.
ADVERTISEMENT
Rakyat Indonesia akan menganggap biasa-biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa jika sang pembocor tidak membocorkan RPH Perkara 90 tersebut. Hakim Pelanggar etik, bahkan Ketua MK pelanggar etik berat, akan dengan tenang menikmati panggilan Yang Mulia.
Perselisihan hasil Pilpres, Pileg, dab Pilkada akan tetap dipimpin oleh sang Ketua MK yang ternyata pelanggar etik berat. Betapa mengerikannya itu?
Benarkah pembocor itu hanya sekadar pembocor pelanggar hukum ataukah pembocor itu pembocor yang merujuk dan bertindak dengan merujuk pada azas hukum "Sokus populi suprema lex esto", keselamatan bangsa, negara, dan rakyat di atas segala-galanya?
Apakah mungkin demi keselamatan bangsa, negara, dan rakyat Indonesia dari perilaku Ketua dan Hakim Konstitusi dalam menangani perkara 90, nurani pembocor berontak dan tak tahan lalu mengambil tindakan melaporkan perilaku Hakim Konstitusi, khususnya Ketua MK, tersebut kepada pemilik sah kedaulatan negeri ini yaitu rakyat Indonesia melalui pilar ke empat demokrasi yaitu pers?
ADVERTISEMENT
Beberapa pihak menyerukan agar polisi mengusut pembocor ini seolah pembocor adalah seorang penjahat besar dan hanya melihat dari sisi itu. Namun apakah benar sang pembocor adalah seorang penjahat sehingga harus diusut polisi jika memperhatikan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) atas kasus tersebut?
Secara teori dan hukum positif penulis mengetahui bahwa pembocor RPH MK adalah melanggar UU, namun jauh pada bagian terdalam hati nurani penulis, pembocor itu adalah pahlawan.
Dia telah membuka mata rakyat Indonesia tentang pelanggaran etik bahkan pelanggaran etik berat dalam perkara 90 tersebut. Sang pembocor sudah dengan gagah berani menempuh risiko untuk membongkar perilaku Hakim MK yang terbukti oleh MKMK melakukan pelanggaran etik, khususnya Ketua MK melakukan pelanggaran etik berat.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan para pembaca yang budiman, pahlawan atau penjahatkah sematan yang patut diberikan kepada pembocor RPH Perkara 90 MK tersebut?