Kalau MK Boleh 'Semau Gue' Memutus Batas Usia Capres, MKMK Boleh Juga Dong?

Hendra J Kede
Ketua Dewan Pengawas YLBH Catur Bhakti / Partner pada Kantor Hukum E.S.H.A and Partners / Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI 2017-2022 / Ketua Pengurus Nasional Mapilu-PWI 2003-2013 / Wakil Ketua Dept. Kerjasama dan Komunikasi Umat ICMI Pusat
Konten dari Pengguna
5 November 2023 11:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hendra J Kede tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi palu sidang diketuk tanda putusan hakim dijatuhkan. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi palu sidang diketuk tanda putusan hakim dijatuhkan. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebuah pertanyaan sedang ramai berseliweran di ruang-ruang publik terkait Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), apakah MKMK boleh "masuk" dan menilai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahkan membatalkannya jika terbukti Hakim Konstitusi terbukti melanggar kode etik saat memutus sebuah perkara?
ADVERTISEMENT
Seperti biasa, tentu saja publik terbelah. Ahli hukum juga terbelah. Bahkan, ahli hukum tata negara sekali pun terbelah. Sebagian berpendapat boleh "masuk" dan sebagian lagi berpendapat tidak boleh "masuk".
Namun dari sekian argumen yang diberikan yang berpendapat boleh "masuk", justru pendapat rakyat biasa di warung angkringan alias warung hik ini justru yang paling menarik bagi penulis.
Apalagi pendapatnya tersebut logis, jujur, tanpa embel-embel kepentingan dan keberpihakan dalam pilpres 2024. Plus tanpa embel-embel teori macam-macan, bahkan tanpa teori apa-apa malah, murni hati nurani.
Lah, bagaimana mau berteori, sekolah saja "cuma" tamatan SMP dan sehari-hari kerja bajak sawah. Hanya suka baca berita saja katanya, kan gratis, melalui Hp, tidak perlu beli koran katanya.
ADVERTISEMENT
***
Sidang MKMK terkait dugaan pelanggaran etik Ketua MK Anwar Usman dkk, dengan agenda pemeriksaan pelapor di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (31/10/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Begini pendapatnya.
Kan MKMK itu hakim yang mengadili Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang dilaporin rakyat melanggar kode etik, terutama saat memutus perkara yang dikenal perkara 90, yaitu tentang batas usia capres-cawapres.
MK memutuskan orang yang berumur di bawah 40 tahun asal sudah pernah jadi gubernur atau bupati atau wali kota boleh nyapres atau nyawapres. Padahal membuat ketentuan syarat umur itu kan wewenang presiden dan DPR sebagai pembuat UU, bukan wewenang MK yang hanya berwenang membatalkan UU jika bertentangan dengan UUD 1945.
Tapi toh MK tetap saja nekat "masuk" dan membuat aturan batasan usia capres-cawapres tersebut yang bikin heboh dunia persilatan per-pilpres-an Indonesia. Lebih-lebih lagi setelah Putusan tersebut langsung ada yang eksekusi. Makin hebohlah jagat raya Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tapi, okelah, kita terima saja putusan Hakim MK itu sah dan boleh dijadikan landasan hukum pencapresan, walau itu terkesan MK "semau gue". Tapi kenapa ada dan bahkan terkesan banyak yang teriak-teriak MKMK ndak boleh melakukan hal serupa, nekat "masuk" seperti MK dan "semau gue" juga?
Kenapa MKMK tidak boleh nekat "masuk" untuk membatalkan Putusan MK, jika misalnya terbukti terjadi pelanggaran etik berat yang dilakukan Hakim MK saat memutus perkara 90 tersebut?
Kan itu bisa saja dikonstruksikan oleh tiga profesor Hukum Tata Negara yang menjadi MKMK sebagai terobosan hukum yang punya nilai manfaat tinggi bahkan sangat tinggi?
Misalnya nilai manfaat untuk menghindarkan pilpres Indonesia dilaksanakan berdasarkan aturan yang dibuat melalui proses yang melanggar etik berat sehingga siapa pun yang terpilih akan memikul beban sebagai presiden dan wakil presiden yang dipilih di bawah naungan hukum yang prosesnya pembuatannya melanggar etik berat?
ADVERTISEMENT
***
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Sambil menyimak agak lebih serius, penulis mulai berpikir. Iya juga ya.
Itulah alasannya setelah mendengar pendapat pengunjung warung angkringan alias warung hik tersebut, nurani penulis agak terguncang, terus merenung. Dan pagi ini memutuskan menuliskannya.
Bukankah ini terkait keselamatan bangsa, negara, dan rakyat Indonesia?
Bukankah azas hukum "Solus Populi Suprema Lex Esto", keselamatan rakyat, bangsa, dan negara adalah hukum tertinggi bahkan di atas konstitusi sekalipun, bisa saja digunakan Hakim MKMK untuk membatalkan Putusan MK Perkara 90 jika memang terjadi pelanggaran etik berat saat MK memutusnya?
Bagaimana menurut sobat pembaca yang budiman jika Hakim MKMK nekat "masuk" dan membatalkan Putusan Perkara 90 dengan dalil keselamatan bangsa, negara, dan rakyat di bawah naungan azas hukum Solus Populi Supremalex Esto yang dikatakan filsuf Cicero dalam karyanya De Legibus?
ADVERTISEMENT