Konten dari Pengguna

Dugaan Blending Pertalite-Pertamax, Uang Ratusan Triliun Mengalir ke Mana?

Hendra J Kede, ST, SH, MH, GRCE, Mediator
Ketua Dewas YLBH Catur Bhakti KBPII / Pemerhati GRC / Profesional Mediator / Penulis / Waka KI Pusat RI 2017-2022
27 Februari 2025 11:32 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hendra J Kede, ST, SH, MH, GRCE, Mediator tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pertamina. Foto: Pertamina
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pertamina. Foto: Pertamina
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kalau ada petir besar mendadak menggelegar siang bolong, rasanya saya tidak akan seterkejut saat membaca pernyataan Kejaksaan Agung yang menjadi headline di hampir semua surat kabar, cetak maupun online (25/2/2025).
Kejaksaan Agung menduga anak usaha salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melakukan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang, sebagaimana disampaikan Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejagung RI.
"Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka melakukan pembelian untuk RON 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya melakukan pembelian RON 90 (Pertalite) atau lebih rendah, kemudian dilakukan blending di storage/depo untuk menjadi RON 92 (Pertamax)," demikian bunyi keterangan Kejagung.
Potensi kerugian negara sekitar Rp 193.700.000.000.000,- (Seratus sembilan puluh tiga triliun tujuh ratus miliar rupiah) selama lima tahun, 2018-2023.
ADVERTISEMENT
Tujuh orang terduga pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan penyidik Kejagung, termasuk RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga.
Kejagung tetapkan dua tersangka baru kasus dugaan korupsi tata kelola minyak dan produk kilang, Rabu (26/2/2025). Foto: Jonathan Devin/kumparan
Hal ini menandakan bahwa Kejagung, berdasarkan hasil gelar perkara telah menemukan setidaknya dua alat bukti cukup dan meyakinkan sehingga memenuhi unsur pidana untuk dinaikkan ke tahap penyidikan dan menetapkan tersangka.
Tak tanggung-tanggung, yang diberi label tersangka dan langsung ditahan tersebut tidak hanya Direktur Utama dan beberapa jajaran top manajemen PT Pertamina Patra Niaga, namun juga beberapa petinggi perusahaan swasta selaku Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Istilah pengoplosan yang sempat viral di media mainstream terkait kasus ini telah dibantah oleh Vice President bidang komunikasi PT Pertamina (Persero) selaku BUMN holding PT Pertamina Patra Niaga dan menjamin kemurnian produk BBM yang dijual kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Semua informasi di atas cukup mampu membuat sesak napas saya ketika membaca kasus ini melalui berita-berita media mainstream, baik cetak maupun online.
Bagaimana tidak? Selama lima tahun, tidak saja kuat dugaan adanya korupsi hampir Rp 200 triliun, namun juga berpotensi merugikan jutaan rakyat Indonesia selaku konsumen karena perilaku petinggi anak perusahaan PT Pertamina (Persero) tersebut.
Jika dugaan ini terbukti dalam persidangan nantinya, negara teramat sangat dirugikan, begitu juga rakyat Indonesia pemakai Pertamax. Mulai dari para pejabat dan pengusaha, sampai tukang jual sayur keliling dengan sepeda motor, buruh pabrik, dan kuli petani pengguna BBM Pertamax karena patut dipertanyakan kualitas Pertamax hasil blending Pertalite tersebut dengan segala dampaknya secara ekonomi kepada pengguna.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan yang muncul juga dalam benak saya adalah, kalau potensi kerugian negara hampir Rp 200 triliun, apakah ada juga potensi kerugian finansial ratusan juta rakyat Indonesia selaku konsumen Pertamax yang bersumber dari hasil blending Pertalite tersebut secara akumulatif selama kurun waktu 2018-2023?
Kalau iya, berarti selama ini rakyat beli Pertamax namun yang dibeli Pertamax hasil blending Pertalite, bahkan hasil blending BBM kualitas di bawah Pertalite dong?. Berapa rupiah selisih keduanya per liter? Selama lima tahun alias lebih dari 1.800 hari, berapa itu akumulasinya?
Pembaca, hitung saja sendiri ya. Emosi saya cukup terpancing saat pencet-pencet kalkulator. Sebagai Sarjana Teknik Kimia yang bergulat dengan ilmu Kalkulus selama tahunan kuliah, sudah terbayang angkanya di benak saya.
ADVERTISEMENT
Sebagai Sarjana Hukum dan Magister Hukum Bisnis saya menduga selisih uang hasil beli RON 90 yang dicatatkan sebagai pembelian RON 92 itu tidak mengalir ke rekening perusahaan BUMN atau rekening perusahaan anak BUMN tersebut.
Lantas kemana uangnya mengalir? Anggap saja jumlahnya Rp 193,7 triliun seperti disampaikan Kejaksaan Agung, berarti rata-rata sekitar Rp 3.000.000.000.000,- (Tiga triliun rupiah) alirannya setiap bulan ke satu atau beberapa rekening penampung kan?
Pertanyaan terusannya adalah apakah sistem tata kelola berbasis manajemen risiko dan kepatuhan (GRC) PT Pertamina (Persero) selaku holding PT Pertamina Patra Niaga tidak mampu untuk mendeteksi potensi kejadian seperti ini pada kurun waktu 2018-2023?
Pertanyaan lainnya, apakah tidak terdeteksi adanya aliran dana mencurigakan terkait ini oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) selama lima tahun operasi para terduga pelaku tersebut? Alat canggih PPATK tak mampu mendeteksi transaksi seperti ini? Atau menurut mekanisme pengawasan dan peralatan yang dimiliki PPATK memang tidak ada aliran dana tersebut?
ADVERTISEMENT
Saya tak bisa meneruskan tulisan ini setelah sampai pada pertanyaan ini. Hanya bergumam alias ngomel-ngomel saja, sebagai bagian dari ratusan juta rakyat Indonesia yang mungkin punya pertanyaan sama dengan saya, sambil menduga-duga bagaimana fakta hukum sebenarnya yang akan terungkap dalam putusan inkrah pengadilan nantinya.
Duh Gustiiii... katanya profesional, kok begini faktanya, selama lima tahun pula?
Paringono eliiiiing....