Pelecehan Seksual di Komisi Penyiaran Indonesia

Hayumuti
Dosen Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya
Konten dari Pengguna
13 September 2021 12:22 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hayumuti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Pentingnya Implementasi Pendidikan Karakter di Setiap Instansi Pendidikan dan Pekerjaan untuk Hindari Pelecehan Seksual

https://unsplash.com/photos/-M_f3f8DGRg
zoom-in-whitePerbesar
https://unsplash.com/photos/-M_f3f8DGRg
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Belakangan ini kita sangat dikagetkan dengan beredarnya berita pelecehan seksual yang terjadi di instansi pemerintahan yang sebelumnya juga menuai berbagai kritik tentang beberapa kebijakan terhadap tayangan di stasiun TV. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat beberapa kali disemprot warganet lantaran dianggap melakukan pembiaran terhadap tayangan-tayangan televisi yang tidak bermanfaat serta abai terhadap sensor yang tidak tepat sasaran. Pada Rabu, 1 September 2021, seorang pegawai KPI Pusat menceritakan pengalaman buruknya dalam sebuah surat terbuka dan viral di media sosial Twitter. Twit tersebut diunggah pertama kali oleh akun @mediteraniaq dan sampai-sampai ditujukan kepada Presiden Joko Widodo. “Tolong Pak Joko Widodo, saya tak kuat dirundung dan dilecehkan oleh KPI, saya trauma buah zakar saya dicoret spidol oleh mereka”, tulis MS yang mengaku sebagai korban.
ADVERTISEMENT
MS menjadi pegawai KPI Pusat sejak 2011. Sejak saat itu pula, ia telah menjadi korban perundungan hingga pelecehan seksual yang dilakukan oleh delapan senior di kantornya. Akibat perbuatan keji itu, MS merasakan stres yang amat berat hingga ia terpaksa harus mengadu ke atasan. Namun, ia tidak mendapatkan kabar baik, setelah itu ia hanya dipindahkan ke ruangan lain dan pelaku pelecehan tidak mendapatkan sanksi apa pun. Ketika melapor ke polisi, ia hanya diminta untuk menyelesaikan masalah tersebut secara internal. Ia merasa sangat kebingungan, lebih-lebih merasa martabatnya sebagai laki-laki dan seorang suami sudah hancur.
Beberapa pekan ini, KPI Pusat sedang dalam sorotan hebat. Lembaga negara yang selama ini sangat lantang menertibkan konten-konten yang berkaitan dengan kesusilaan, tercoreng namanya dengan tindakan ‘orang dalam’ yang justru melakukan tindakan asusila. Mengapa perbuatan biadab semacam ini bisa sampai terulang dan dibiarkan begitu saja selama bertahun-tahun tanpa penindakan? Artinya, ada yang salah di KPI Pusat. Sederet kasus di atas, belum lagi yang lain, sudah cukup memberikan fakta bahwa lembaga ini patut dipertanyakan integritas dan moralitasnya. Peristiwa pelecehan seksual yang terjadi di KPI Pusat dapat memperkirakan gambaran bahwa misi KPI Pusat dalam mengusung norma-norma kesusilaan itu hanya sampai pada tatanan konsep, ide, dan belum benar-benar membumi. Mereka yang dielu-elukan sebagai penjaga moral seksual, bagaikan serigala berbulu domba, mereka adalah predator seksual yang tampak di depan mata kita.
ADVERTISEMENT
Kekerasan atau pelecehan seksual yang dilakukan oleh pegawai KPI Pusat ini tentu sangat menyayat hati kita. Alih-alih menjadi panutan, KPI Pusat malah ujung-ujungnya menjadi "beban". KPI Pusat dinilai tidak mampu melakukan tugas dan fungsinya dengan baik, sehingga perannya justru bias atau tidak terlihat sama sekali di masyarakat. Ia terlalu heboh pada hal-hal artifisial, namun menurutnya dianggap sangat penting. Kisah-kisah kelam yang telah terjadi dan mungkin akan terus terjadi, seakan menumbuhkan mendung gelap bahwa lembaga ini sudah tidak dapat diandalkan lagi, tidak dipercaya publik, serta menutup nurani mengenai norma kesusilaan.
Kesadaran berperilaku arif dan berbudi pekerti luhur tentu jamak dibutuhkan oleh personel yang ada di dalam setiap organisasi, tak terkecuali KPI Pusat. Kesadaran ini tidak pernah lepas dari hadirnya pendidikan karakter yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter memegang peranan penting di sini. Karakter erat kaitannya dengan moralitas. Selain di instansi pendidikan, pendidikan karakter harus terus berulang-ulang digelorakan di berbagai instansi, baik pemerintahan maupun swasta. Tujuannya jelas, agar kejadian yang terjadi di KPI Pusat tidak terulang kembali.
ADVERTISEMENT
Jika kita runut ke wilayah pendidikan, mengembangkan karakter dan kecerdasan setiap peserta didik harus dilakukan sekaligus. Metode yang dikembangkan antara lain dapat melakukan kegiatan pembelajaran yang menyenangkan, menggunakan proses belajar yang terintegrasi, konkret, sesuai umur peserta didik, hingga akhirnya seluruh kompetensi peserta didik khususnya karakter dapat berkembang. Selain itu, seluruh pihak sekolah maupun kampus berupaya untuk memberikan adab, teladan, serta kebiasaan yang sesuai dengan norma dan kehidupan beragama yang dipeluknya.
Penyebarluasan arah pendidikan karakter ini sudah selayaknya menjadi tujuan utama dari sebuah proses pendidikan bagi setiap manusia sejak usia dini, mengingat perilaku kebaikan (akhlakul karimah) sifatnya universal dan sebisa mungkin dikenalkan kepada setiap anak secara dini. Ibarat di KPI Pusat, pimpinan harus mampu memberikan teladan yang baik serta tindakan yang proporsional agar tercipta ruang-ruang yang adil dan nyaman, sehingga setiap pegawai mendapatkan hak dan kesempatan yang sama, termasuk hak untuk bekerja secara aman dan tidak terintimidasi.
ADVERTISEMENT
Memang, kasus pelecehan seksual di Indonesia selalu mengalami tren peningkatan dari tahun ke tahun. Motifnya pun semakin beragam. Lantas, bagaimana cara memutus ‘lingkaran setan’, mata rantai pelecehan seksual ini?
Salah satu caranya adalah meluruskan kembali orientasi lingkungan pendidikan yang luhur, dengan menguatkan pendidikan karakter kepada seluruh elemen di setiap bagiannya. Lagi-lagi penguatan pendidikan karakter di lingkungan instansi pendidikan harus menjadi komitmen bersama. Lebih jauh lagi, dalam ranah pekerjaan, hal ini harus mampu menjadi pijakan setiap individu dalam melaksanakan aktivitas di lingkungan kerja. Pendidik tak luput harus mampu menjadi rule model, bagi peserta didiknya. Tak lupa, korban pelecehan seksual harus berani speak up agar sebuah kasus dapat segera diketahui, ditindaklanjuti, ditanggapi oleh pihak-pihak yang berwenang dan dibawa ke ranah hukum. Media sosial benar-benar menjadi kekuatan hebat di era disrupsi ini, ia mampu menjaring ribuan bahkan jutaan manusia untuk tergerak menyuarakan dan membantu penyelesaian kasus seperti di KPI Pusat. Kekuatan netizen selalu berhasil memecah kebuntuan, bahkan ketika kebuntuan itu tidak bisa dipecahkan oleh aparat penegak hukum.
ADVERTISEMENT