Kapan Indonesia Punya Menkominfo yang Hobinya Bukan Blokar-blokir?

Haris Firmansyah
Penulis buku 'Petualangan Seperempat Abad'.
Konten dari Pengguna
9 Januari 2020 16:26 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Haris Firmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Netflix. Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Netflix. Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kita pernah punya Pak Tifatul Sembiring sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia yang bertanya kepada warganet di Twitter, “Tweeps Budiman, memangnya kalau internetnya cepat mau dipakai buat apa?” Lengkap dengan emoticon ketawa.
ADVERTISEMENT
Jawaban netizen pun beragam. Ada yang bilang untuk download video pengajian, nyari jodoh, bahkan nonton film biru. Yang terakhir, jujur sekali, Nder.
Periode berikutnya, pertanyaan itu dijawab oleh Pak Rudiantara sebagai sang penerus: Internet cepat diklaim mendorong pertumbuhan ekonomi. Ketika akses internet ngebut, transaksi jual-beli secara online pun bisa berjalan lancar. Para pelajar yang pengen cari ilmu dengan nonton video tutorial di YouTube sudah tidak harus merasakan buffering lagi. Itulah sisi positif dari internet positif.
Sebagai pengganti Pak Tiffy, Pak Rudiantara tidak kalah kontroversial. Nggak cuma main blokar-blokir media sosial dan aplikasi pesan instan kayak mantan ngambekan, beliau juga pernah blunder ketika bertanya kepada salah satu anak buahnya, “Yang gaji kamu siapa?”
ADVERTISEMENT
“yAnG gAji kAmU SiApA???"
Mungkin Pak Rudiantara keceplosan bertanya seperti itu karena kelewat kesal. Wajar saja, saat si anak buah diajak ngobrol apa, malah disambung-sambungin ke copras-capres.
Padahal waktu itu Pak Rudiantara adalah pemegang kendali internet di negeri ini, kutipan “Yang gaji kamu siapa?” itu bisa dijadikan peringatan di komputer-komputer ASN. Misalnya, ada PNS yang Facebook-an pakai fasilitas kantor di jam kerja, mendadak hilang sinyal, terus muncul running text di layar PC, “Yang gaji kamu siapa? Pemerintah atau Mark Zuckerberg?”
Manuver begitu mudah saja dilakukan bagi menteri yang pernah membatasi akses media sosial seperti FB, IG, dan WA ketika kerusuhan 22 Mei 2019 berlangsung. Dengan catatan, aksi tersebut di bawah komando Pak Wiranto sang alumni Kerusuhan Mei 1998.
ADVERTISEMENT
Dari sekian banyak solusi, entah mengapa pemblokiran yang selalu dipilih oleh sang menteri. Kapan Indonesia punya Menkominfo yang hobinya bukan blokar-blokir? Menteri berganti, ternyata cara kerjanya masih sama saja. Blokir, blokir, blokir. Mungkin ada kredo di Kominfo: Enggak blokir, enggak kerja.
Pada akhir tahun 2019, Menkominfo terbaru, Johnny G. Plate, menggemparkan jagat internet dengan rencana pemblokiran massal situs web streaming ilegal atau bajakan. IndoXXI pun diminta tutup oleh pemerintah karena memuat konten bajakan.
Akhirnya, admin IndoXXI langsung impersonate Ria Ricis: “Saya pamit.”
Namun, bisa saja nanti ada website kloningan untuk menyapa pecinta drama Korea dan film Hollywood ilegal: “Saya kembali.”
Padahal, selama ini, IndoXXI sudah jadi penyelamat kantong mahasiswa dan anak kos, selain Indomie. Memang berapa uang saku putra-putri bangsa sampai dituntut nonton film harus di bioskop atau wajib langganan aplikasi streaming legal seperti Netflix?
ADVERTISEMENT
Namun, ketika website streaming film ilegal diblokir, aplikasi streaming film yang legal seperti Netflix pun turut diblokir oleh Telkomsel yang notabene BUMN. Bukannya bantu cari solusi untuk ketegangan Netflix dan Telkom ini, Menkominfo Johnny Plate justru mengeluarkan komentar yang tidak kita harapkan, “Kita minta Netflix original jangan dulu lah di Indonesia. Gunakan dulu hasil kreativitas anak Indonesia sendiri dulu.”
Padahal Netflix juga pernah mengajak sineas Indonesia berkreasi melalui film laga ‘The Night Comes For Us’ yang dibintangi oleh Iko Uwais dan para alumni The Raid. Bahkan, di film dokumenter Street Food, jajan pasar Yogyakarta diperkenalkan ke kancah dunia.
Daripada alergi dengan produk luar negeri, baiknya industri hiburan Tanah Air justru belajar dari Netflix yang telah berhasil menciptakan ekosistem penontonnya sendiri. Dengan film dan serial orisinalnya, Netflix bisa menggaet pelanggan militan. Tak hanya mengubah dunia dengan memberikan alternatif bagi orang-orang dalam cara menonton, tapi Netflix membuat 'dunia baru', lengkap dengan aturan sendiri.
ADVERTISEMENT
Penonton Netflix punya cara eksklusif dalam mengurus rumah dan merapikan perabotan lenong: KonMari Method. Tidying Up with Marie Kondo di negara maju sudah seperti Bedah Rumah bagi penonton di negara berkembang, minus adegan sujud syukur dibimbing host. Marie Kondo lebih menyarankan kliennya berterima kasih kepada benda mati.
Sampai saat ini Indonesia masih tabu ketika membicarakan pendidikan seks, Netflix sudah bisa membuat Sex Education seperti halnya sinteron remaja yang santuy. Dari sini, penonton sudah diarahkan Netflix dalam menentukan standar, mulai dari cara merapikan celana di lemari sampai merapikan isi celana itu sendiri.
Nah, IndoXXI juga sudah punya ekosistem penontonnya sendiri, terutama dari kalangan rakyat kecil. Sayang sekali jika basis massa itu harus dibubarkan. Daripada digusur dari dunia siber, bukankah lebih bijak jika pemerintah melalui Kemkominfo menggandeng IndoXXI menjadi salah satu cicit BUMN? Dari nama domain saja, IndoXXI sudah mencerminkan kecintaan dan kebanggaan kepada Indonesia. Kalau enggak nasionalis, mungkin nama domain yang dipakai adalah AsingXXI.
ADVERTISEMENT
Seharusnya, pemerintah membeli hak siar film-film yang ditayangkan di website IndoXXI. Lalu warga bisa menonton film legal dengan subtitle karya Pein Akatsuki dan Lebah Ganteng. Syaratnya, menjadi anggota dan bayar iuran atau sewa bulanan yang sudah disubsidi oleh pemerintah.
Jangan lupa, invasi Netflix ke generasi milenial ini sempat menarik perhatian Presiden Jokowi. Oleh karena itu, Jokowi ingin Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bisa memanfaatkan arus Netflix untuk menyebarkan ideologi Pancasila secara masif ke anak muda. Daripada mengharapkan produk impor semacam Netflix untuk kepentingan bangsa, mending memanfaatkan IndoXXI.