Collaborative Governance untuk Percepatan Transisi Energi

hafidz arfandi
Penulis merupakan founder dan peneliti di Sustainability Learning Center (SLC) yang berfokus pada bisnis berkelanjutan. Memiliki minat dalam hal politik, ekonomi, sastra, dan budaya. Hobby-nya pada koleksi buku, jalan-jalan dan kulineran
Konten dari Pengguna
4 April 2024 11:03 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari hafidz arfandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Transisi energi terbarukan PLN. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Transisi energi terbarukan PLN. Foto: Dok. Istimewa

Tuntutan untuk Transisi dari Aspek Pasar

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Transisi energi menjadi tantangan serius yang harus segera dilakukan oleh banyak negara di dunia, bukan sekadar alasan moral untuk mengurangi emisi tetapi juga ada tekanan serius dari kanal investasi dan perdagangan global yang menekankan pentingnya komitmen untuk mencapai net zero emission.
ADVERTISEMENT
Hal ini seperti penerapan regulasi carbon tax pada import komoditas ke wilayah Uni Eropa, melalui mekanisme Carbon Border Adjusment Mechanism (CBAM) yang akan diberlakukan 2026 nanti. Penerapan CBAM sendiri sebagai realisasi komitmen Uni Eropa mengakselerasi pencapaian net zero emission yang ditargetkan pada 2050 nanti.
Dengan skema penerapan mekanisme pasar yang berbasis carbon tax, sejatinya Uni Eropa menjalankan mekanisme proteksionisme berbasis iklim untuk mendorong para mitra dagangnya juga melakukan penyesuaian untuk menurunkan emisi.
Mekanisme pasar ini diharapkan memberikan keadilan di mana biaya energi pada penggunaan energi terbarukan memang jauh lebih mahal dibanding energi konvensional seperti gas, bbm dan batubara, maka perlu penyesuaian agar tidak terjadi persaingan yang tak sehat antara industri hijau dengan industri kotor.
ADVERTISEMENT
Konsekuensinya, negara-negara seperti Indonesia yang bauran energi nasionalnya masih sangat tinggi batubara, akan terkena dampak dengan penambahan tarif yang diperhitungkan berdasarkan nilai emisinya. Industri-industri yang ingin mengurangi beban tersebut dituntut untuk melakukan penyesuaian dengan menggunakan internal power plant yang berbasis EBT.
Maka, sekali lagi pasar akan menjadi faktor penentu bagi percepatan transisi. Tentu industri yang export oriented khususnya yang berfokus pada destinasi Uni Eropa akan bergegas melakukan penyesuaian. Atau jika tidak terpaksa mereka harus merelokasi industrinya ke negara dengan bauran EBT tinggi yang masih cukup kompetitif dari sisi tenaga kerja dan memiliki daya kompetitif dari sisi infrastruktur dan akses bahan baku.
Bagi Indonesia, Uni Eropa menyumbang 8% dari total ekspor Indonesia, meski demikian Uni Eropa memiliki aspek penting sebagai penyumbang surplus perdagangan hingga 16 Miliar USD pada 2022. Hal ini merupakan aspek positif yang dapat memberikan kelonggaran pada ruang devisa dan memberikan ketahanan moneter nasional.
ADVERTISEMENT
Belum lagi Uni Eropa memberikan sumbangsih investasi ke Indonesia hingga 21 Miliar USD hingga 2021. Ekspor terbesar Indonesia adalah hasil-hasil industri seperti petrokimia, minyak nabati (sawit, dkk), serta produk mineral. Ketiganya menyumbangkan hingga 37% total ekspor Indonesia.
Sedangkan impor dari Uni Eropa kebanyakan adalah produk-produk penunjang barang modal seperti mesin dan bahan baku. Dengan demikian indonesia memiliki keuntungan signifikan dengan kerja sama perdagangan bersama Uni Eropa.
Maka pasca 2026, untuk dapat mempertahankan kerja sama yang menguntungkan ini, perlu dipikirkan strategi transisi yang efektif. Meskipun, Uni Eropa bukan satu-satunya pasar, mengingat mitra dagang utama Indonesia masih didominasi oleh mitra Asia, seperti China, India dan negara-negara ASEAN.
Hanya saja, ke depan transparansi dan audit supply chains yang diterapkan di Uni Eropa dan Negara Maju lainya, akan membuat perdagangan dengan mitra-mitra utama yang berorientasi reekspor juga akan terganggu.
ADVERTISEMENT

Mengenal Collaborative Governance untuk Transisi

Sebagai langkah konkret pemerintah dan PLN telah merumuskan RUPTL 2021-2030 yang menempatkan proyeksi ambisius dengan EBT mencapai 24,8%. Belum lagi upaya menyambut JETP yang digadang-gadang akan mendorong agresifitas penyesuaian target bauran energi yang lebih progresif pada sistem ketenagalistrikan nasional.
Tuntutan transisi energi mengharuskan beberapa langkah, di antaranya; Pertama, perumusan kebijakan yang memberikan kepastian hukum terhadap semua pihak, beserta roadmap penyesuaian yang dapat afirmatif pada proyek investasi EBT.
Kedua, adanya proses transisi yang adil bagi pelaku usaha di sektor energi dan ketenagalistrikan, utamanya pada pemilik pembangkit baik PLN dan IPP yang memiliki postur PLTU terbesar, maka perlu dilakukan langkah selektif dengan upaya pensiun dini pada PLTU yang tidak lagi kompetitif. Sebaliknya untuk PLTU yang kompetitif perlu didorong konversi ke luar sistem tenga listrik dengan misalnya menjadi hydrogen plant.
ADVERTISEMENT
Ketiga, perlunya proses transisi yang adil dan demokratis, dengan memberikan kesempatan pada konsumen listrik untuk turut terlibat menjadi produsen skala mikro dan menengah untuk melakukan proses perdagangan (export-import) tenaga listrik untuk mengurangi beban penggunaan power storage.
Nantinya dengan mekanisme ini akan lahir captive market berbasis kawasan bisnis ataupun perumahan yang mendayagunakan energi terbarukan, meski pun mereka akan tetap membayar kompensasi ke PLN untuk menyiagakan tenaga cadangan yang dapat menambal kebutuhan saat terjadi intermitensi daya.
Ketiganya butuh kesepahaman dan empati untuk bersama-sama dapat mewujudkan langkah transisi yang akseleratif. Maka di sinilah peran Collaborative Governance diterapkan. Secara mudah collaborative governance menunjukkan aspek pentingnya proses untuk menyepakati kerja sama antara stakeholder untuk menyinergikan resourse bersama untuk dapat mencapai target output yang menjadi tujuan bersama. Sehingga di dalamnya nanti akan ada risk sharing dan juga benefit sharing yang adil antar stakeholder.
ADVERTISEMENT

Mulai dari mana dan bagaimana?

Untuk memulai proses Collaborative Governance pihak yang paling mungkin mengawalinya dalam konteks transisi energi, adalah unsur pemerintah. Pemerintah melalui Kementerian ESDM dapat menggandeng berbagai pihak terutama pelaku usaha di bidang ketenagalistrikan, PLN, dan IPP serta industri energi pendukungnya untuk menyelesaikan rumusan tata kelola bisnis yang adil dan saling menguntungkan. Terutama untuk mengurangi ketergantungan dengan PLTU dan mencari solusi alternatif yang dapat menjadi backbond system dalam grid-grid utama; Jawa-Bali-Madura dan Sumatera.
Untuk grid di luar keduanya, selain kebutuhan untuk transisi juga masih perlu dipikirkan proses pembiayaan untuk membangun integrasi seperti di kalimantan dan sulawesi yang sangat potensial untuk disinergikan. Sedangkan untuk kawasan-kawasan kepulauan maka EBT dapat dijadikan sumber utama yang menguntungkan dan dapat menstabilkan defisit energi yang dari sumber lokal yang biaya distribusinya cukup tinggi.
ADVERTISEMENT
Grid-grid kepulauan mayoritas ditopang oleh sistem berbasis PLTD yang dari sisi biaya masih tinggi dan kehandalanya rendah. PR utamanya adalah menghadirkan tidak hanya pembangkit terbarukannya, tetapi juga membangun sistem maintenance yang berkelanjutan dan melibatkan tenaga kerja lokal untuk dapat melatih mereka, serta mendorong adanya pemahaman baru tentang budaya konsumen dari pengguna listrik berbasis EBT.
Untuk industri pendukung, seperti Batubara, tentunya pengurangan konsumsi PLTU akan membuat mereka tidak lagi dikenai kuota DMO yang mencapai 30%, maka nantinya sebagai gantinya mereka didorong untuk terlibat dalam reinvestasi terutama dalam proses pengembangan advance technology yang mengurangi emisi, seperti penerapan CCU/CCUS ataupun mengkonversi batubara menjadi DME.
Proses gasifikasi batubara akan sangat mengurangi emisi terutama dalam aspek pengangkutan yang melahirkan tumpahan yang merusak ekologi bawah laut. Konsentrasi sistem penambangan batubara yang terkendali dan menerapkan smart mining dapat didorong agar mengurangi risiko kerusakan ekologis, sekaligus memberikan tanggung jawab lebih pada proses reklamasi lahan bekas tambang dan melakukan reforestrasi.
ADVERTISEMENT
Bagi konsumen, di kawasan Jawa-Bali-Madura dan Sumatera, kenaikan bauran energi tentu menambah biaya produksi listrik yang akan menimbulkan penyesuaian harga. Oleh karenanya, perlu juga dibarengi dengan mekanisme subsidi langsung ke konsumen serta dibangunnya skema carbon tax dan carbon trading yang dapat memberikan insentif tambahan bagi pelaku usaha sektor EBT agar tetap dapat mendapatkan revenue yang optimal.
Sedangkan bagi konsumen di kepulauan, selama ini beban memang ditanggung negara karena biaya produksinya jauh di atas potensi pendapatan lokal, maka keberadaan sistem EBT sebenarnya cukup kompetitif untuk mengurangi beban subsidi pembangkitan dan distribusi.
Ke depan, dukungan dan insentif untuk pengembangan pembangkit skala komunitas perlu terus didorong agar peran dapat menciptakan kemandirian energi lokal. Adapun peluang bisnis lainnya, adalah untuk integrasi di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi dengan negara-negara tetangga.
ADVERTISEMENT
Collaborative Governance, akan mampu mengubah suasana transisi energi yang lebih banyak diisi monolog dari para stakeholder yang berusaha mempertahankan framework masing-masing, menjadi proses dialog yang mampu membawa empati dan sinergi untuk perubahan jangka panjang.
Tanpa memulai proses tersebut nantinya tekanan pasar terhadap ekonomi nasional baik dari sisi perdagangan dan investasi akan semakin besar, dan menyeret kita menjadi bangsa paria yang menjadi penerima investasi kotor.
Sebaliknya, upaya transisi yang efektif berbasis kolaborasi lintas sektor akan memberikan keunggulan komparatif ke depan, di mana Indonesia dapat unggul untuk mempromosikan green industry, trade and investment. Terlebih Indonesia juga memiliki nilai tambah nature-based solution yang berbasis konservasi hutan dan bawah laut yang perlu menjadi perhatian utama dari para pelaku usaha untuk mendayagunakannya sebagai upaya decarbonisasi dan mencapai NZE lebih cepat.
ADVERTISEMENT