Mengkaji Peluang Indonesia Menggugat Kebijakan Kelapa Sawit Uni Eropa

Indra Sanada Sipayung
Suami dan Ayah, Abdi Negara, Good Samaritans & Bedroom Musician.
Konten dari Pengguna
22 Maret 2019 18:59 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indra Sanada Sipayung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kelapa Sawit. Sumber: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kelapa Sawit. Sumber: Pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada 13 Maret 2019, Komisi Uni Eropa mengeluarkan Delegated Act yang berpotensi menghambat ekspor produk minyak kelapa sawit Indonesia ke Uni Eropa. Indonesia dan Malaysia selaku negara produsen kelapa sawit terbesar dunia langsung bereaksi keras atas tindakan Uni Eropa tersebut. Malaysia bahkan berencana melakukan retaliasi perdagangan sementara Indonesia dikabarkan akan menggugat kebijakan Uni Eropa tersebut di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Uni Eropa justru berpandangan bahwa Delegated Act telah konsisten dengan ketentuan WTO sehingga mempersilakan Indonesia untuk menggugat mereka di WTO. Benarkah demikian? Tulisan ini bertujuan untuk membantah pandangan tersebut.
Posisi Uni Eropa terhadap kelapa sawit Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak bulan April 2009, ketika dikeluarkan kebijakan Renewable Energy Directive (RED) yang berupaya mendorong penggunaan energi terbarukan serta mengurangi emisi gas rumah kaca yang dapat meningkatkan pemanasan global. RED berisikan dasar-dasar kebijakan pelarangan impor biofuel, bioliquid dan biomass fuels yang berasal dari kelapa sawit karena diduga dihasilkan dari penghancuran hutan dan perubahan peruntukan lahan (dari lahan pertanian untuk pangan menjadi lahan pertanian untuk biofuel).
Konsep RED ini dikenal dengan direct land use change atau DLUC). Akibat dari kebijakan DLUC tersebut, ekspor kelapa sawit Indonesia ke Uni Eropa langsung menurun drastis. Pemerintah Indonesia kemudian membuat sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang memberikan jaminan bahwa ekspor produk kelapa sawit Indonesia telah ramah lingkungan sesuai dengan standar DLUC Uni Eropa. Belakangan, Indonesia dan Malaysia juga membentuk Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) pada tahun 2015 untuk lebih memperkuat posisi kedua negara dalam isu kelapa sawit. Indonesia juga mengeluarkan kebijakan moratorium pembukaan lahan baru untuk kelapa sawit.
Foto ilustrasi peta Uni Eropa. Sumber: pixabay.com
Akan tetapi, Uni Eropa tidak berhenti menghambat produk sawit Indonesia. Kali ini lewat Parlemen Eropa yang pada tanggal 4 April 2017 mengadopsi EU Palm Oil Resolution. Resolusi ini secara khusus merekomendasikan larangan penggunaan kelapa sawit dalam biodiesel pada tahun 2020 karena dianggap sebagai penyebab deforestasi hutan. Parlemen Uni Eropa juga mendorong dibentuknya Certified Sustainable Palm Oil (CSPO) dengan standar Uni Eropa, bukan standar ISPO atau Malaysia Sustainable Palm Oil (MSPO) yang selama ini sudah sesuai dengan kebijakan RED Uni Eropa.
ADVERTISEMENT
Tidak mengherankan, kebijakan baru yang tidak konsisten ini diprotes keras oleh Indonesia dan Malaysia yang sudah berupaya mengakomodir kepentingan Uni Eropa melalui penerbitan kedua sertifikasi standar tersebut. Namun hal tersebut tidak membuat Uni Eropa bergeming. Pada bulan Desember 2018, Uni Eropa merealisasikan rekomendasi perubahan kebijakan Parlemen Eropa ke dalam Renewable Energy Direction II (RED II).
RED II tidak lagi menggunakan konsep DLUC melainkan memperhitungkan perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung atau yang dikenal dengan Indirect Land Use Change (ILUC). Berbeda dengan konsep DLUC yang mekanisme perhitungannya lebih sederhana, yakni ketika Uni Eropa menolak biofuels yang berasal dari ekspansi lahan pertanian yang menggunakan hutan atau lahan baru, ILUC justru memperhitungkan perubahan tidak langsung penggunaan lahan kelapa sawit untuk biofuels. Sehingga, meskipun industri sawit biofuels tidak menggunakan lahan baru atau membuka hutan, keberadaan lahan pertanian sawit tersebut menyebabkan lahan pertanian pangan (feedstock) menjadi berkurang, sehingga harus melakukan ekspansi pada lahan baru atau hutan produksi.
ADVERTISEMENT
Dalam kaitan ini, EU tetap dapat memperhitungkan ekspansi penambahan lahan pertanian pangan (feedstock) lain seperti kedelai, padi, jagung yang berdampak terhadap deforestasi hutan. Kebijakan RED II ini kemudian diperkuat dalam Directive Parlemen dan Dewan Uni Eropa Nomor 2018/2001 tanggal 11 Desember 2018 yang meminta Komisi Uni Eropa untuk membuat Delegated Act yang memuat kriteria untuk membedakan antara produk biofuel yang ILUC-nya berisiko tinggi (high risk) atau rendah (low risk).
Annex dari Delegated Act Uni Eropa yang menampilkan perhitungan mereka bahwa produk biofuel dari kelapa sawit memiliki ILUC yang tinggi dibandingkan produk lain. Sumber: ec.europea.eu
Oleh karena itu, Delegated Act pada dasarnya tidak secara langsung melarang Uni Eropa untuk mengimpor kelapa sawit Indonesia. Namun, dampak peraturan RED II dan Delegated Act secara berkala dapat menurunkan demand terhadap minyak sawit untuk biofuel di pasar Uni Eropa, karena dianggap memiliki risiko ILUC yang tinggi. Pemakaian minyak sawit untuk biofuels juga tidak lagi mendapat insentif ataupun dihitung dalam kalkulasi capaian penggunaan energi terbarukan Uni Eropa.
ADVERTISEMENT
Tentu saja kajian Uni Eropa terhadap minyak sawit sangat diskriminatif dan cenderung tidak objektif dengan menyebutkan bahwa produk kelapa sawit memiliki risiko ILUC yang paling tinggi dibandingkan produk-produk minyak lainnya seperti rapeseed, bunga matahari maupun kedelai. Indonesia selalu berpandangan bahwa minyak sawit bukan penyebab utama deforestasi karena hanya berkontribusi sebesar 2,5% terhadap deforestasi global. Angka tersebut jauh lebih kecil apabila dibandingkan dengan deforestasi hutan yang disebabkan oleh sektor perternakan (24%), kedelai (5,43) dan jagung (3,35%).
Indonesia juga membeberkan data lain bahwa minyak sawit justru membantu upaya pengurangan gas emisi rumah kaca karena paling produktif dan efisien dalam penggunaan lahan yakni sebesar 4,27 juta ton/ha/tahun. Angka produktivitas tersebut jauh lebih besar dibandingkan produksi minyak nabati di Uni Eropa seperti rapeseed (0,6 juta ton/ha/tahun), bunga matahari (0,52 juta ton/ha/tahun) atau kedelai (0,45 juta ton/ha/tahun). Artinya, untuk dapat memproduksi minyak nabati yang sama dengan kelapa sawit, rapeseed membutuhkan lahan pertanian 7 kali lebih besar sehingga emisi yang dihasilkan juga tentu akan lebih besar.
ADVERTISEMENT
Selain itu, mekanisme kriteria ILUC yang digunakan sebagai salah satu penetapan standar tidak memiliki acuan baku yang diakui secara internasional. Emisi gas rumah kaca ILUC memiliki metodologi penghitungan yang berbeda-beda dengan hasil penghitungan yang berbeda-beda pula. Dengan demikian, kriteria ILUC menjadi sangat tidak objektif karena cenderung menyalahkan kelapa sawit akibat adanya konversi hutan produksi menjadi areal pangan. Padahal bisa saja suatu negara mengkonversi hutannya karena alasan lain meskipun negara tersebut tidak melakukan ekspansi lahan kelapa sawit.
Selain itu, mekanisme ILUC juga tidak memperhitungkan mekanisme pasar global. Sebagai contoh, apabila kebijakan Uni Eropa yang menghambat ekspor kelapa sawit mengakibatkan negara-negara produsen beralih menanam rapeseed dan bunga matahari, sehingga terjadi konversi hutan menjadi kebun rapeseed atau kedelai dan mengakibatkan tambahan emisi global yang lebih parah. Apakah tambahan emisi tersebut menjadi tanggung jawab ILUC kelapa sawit, rapeseed atau kedelai?
Ilustrasi lembaga WTO. Sumber: MetalMiner

Langkah dan Peluang Pemerintah Indonesia Menggugat Uni Eropa di WTO

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Pemerintah Indonesia pada dasarnya dapat menggugat kebijakan Uni Eropa yang bersifat diskriminatif dan menghambat perdagangan. Uni Eropa dapat dikenakan pelanggaran Pasal III GATT 1994 tentang National Treatment yang melarang anggota WTO untuk mendiskriminasi produk impor dengan produk domestik. Hal tersebut dikarenakan Uni Eropa hanya melarang impor produk dari tanah yang memiliki kandungan karbon yang tinggi yang semuanya hanya terdapat diluar wilayah Uni Eropa. Selain itu, Uni Eropa dapat dikenakan pelanggaran Pasal I GATT 1994 tentang Most-Favoured Nation (MFN) yang mewajibkan negara untuk tidak saling mendiskriminasi satu produk dengan produk dari negara lain.
ADVERTISEMENT
Penggunaan mekanisme ILUC akan secara tidak langsung mendiskriminasi produk kelapa sawit Indonesia yang dianggap high-risk dengan produk kelapa sawit low-risk negara lain. Perlu diketahui bahwa Delegated Act ini masih dalam tahap pengkajian dan implementasinya juga baru dimulai pada bulan Januari 2024 melalui pengurangan bertahap. Apabila sudah dilaksanakan, Indonesia juga dapat menggunakan Pasal XI GATT 1994 General Elimination of Quantitative Restrictions yang intinya melarang negara anggota untuk melakukan pembatasan impor.
Diperkirakan EU akan menggunakan argumen General Exceptions dalam Pasal XX GATT 1994 untuk memberikan justifikasi atas kebijakan diskriminatif dan menghambat ekspor sawit Indonesia. Dalam Pasal tersebut terdapat hak negara untuk membuat kebijakan yang melindungi kesehatan dan lingkungan hidup. Namun demikian, Pemri dapat membantah argumen tersebut mengingat dalam praktiknya, pelaksanaan Pasal tersebut harus memenuhi tiga syarat utama. Pertama, harus dibuktikan adanya hubungan yang nyata (genuine relationship) antara kebijakan yang diambil dengan keinginan untuk melestarikan lingkungan. Kedua, tindakan tersebut tidak menyebabkan diskriminasi yang tidak berdasar (arbitrary or unjustifiable discrimination). Ketiga, kebijakan bukan merupakan suatu hambatan perdagangan yang terselubung (disguised restriction on international trade).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penjelasan di atas, tampaknya kebijakan Uni Eropa atas kelapa sawit Indonesia kurang memenuhi ketiga persyaratan tersebut. Artinya, Indonesia berpeluang besar untuk memenangkan gugatan sengketa kelapa sawit ini di WTO.