Panduan untuk Hidup yang Lebih 'Santuy'

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
3 September 2019 17:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi 'santuy'. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi 'santuy'. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Meskipun Indonesia dinobatkan sebagai negara paling santuy (baca: Santai) di dunia, kenyataannya masih ada 15,6 juta penduduk yang terkena gangguan depresi. Kalau kita lihat secara global, pengidap depresi itu jumlahnya sebanyak 300 juta orang. World Health Organization (WHO) memperkirakan, setiap 40 detik terjadi kasus bunuh diri akibat depresi. Ini kan mengerikan sekali.
ADVERTISEMENT
Tanpa bermaksud untuk menyederhanakan masalah, saya lihat sebetulnya depresi ini muncul karena kurang fleksibelnya seseorang ketika menghadapi perubahan di dalam kehidupan. Di dalam proses perubahan itu, sering kali diikuti dengan berbagai ketegangan-ketegangan. Bahasa sederhananya, kurang santuy lah dalam menghadapi sesuatu yang berubah.
Misalnya, seseorang yang pada mulanya kaya raya, tiba-tiba harus kehilangan harta sehingga jatuh miskin. Atau seorang ayah yang bahagia tiba-tiba kehilangan anak dan istrinya akibat bencana alam. Saat ketegangan yang muncul melampaui batas toleransi, di sanalah depresi bisa muncul.
Belakangan ini, saya lihat fleksibilitas kebanyakan orang dalam menghadapi perubahan di era serba modern ini justru semakin rendah. Terutama bagi masyarakat di perkotaan. Entah karena tuntutan pekerjaan, gaya hidup, atau tekanan sosial. Yang terakhir ini menarik karena peristiwa digitalisasi memungkinkan tekanan sosial itu lebih kuat.
ADVERTISEMENT
Sebetulnya tidak ada yang berubah dari kehidupan. Namun, karena melihat feeds Instagram teman yang baru saja menerima beasiswa ke luar negeri, seseorang yang awalnya bahagia dengan rutinitas memancing ikan, jadi depresi. Merasa bahwa hidupnya monoton dan tidak berguna. Memang sih, tidak semuanya seperti itu, tapi pasti ada saja. Apalagi digempur dengan informasi di media sosial tentang segala hal yang tidak ia miliki. Akumulasi dari gempuran itu bisa membuat seseorang depresi.
Agaknya memang kita perlu sedikit iri dengan manusia dari spesies kita yang hidup antara 70.000 sampai dengan 30.000 tahun yang lalu, sebelum era agrikultur. Para Homo sapiens itu memiliki DNA dan struktur otak yang sama dengan kita, hanya saja mereka semua adalah pemburu-penggembala yang sulit untuk depresi.
ADVERTISEMENT
Para ahli menyebut bahwa kumpulan manusia pra-agrikultur adalah masyarakat makmur yang asli. Kemakmuran itu bukan karena mereka hidup mewah dan ke mana-mana bisa naik helikopter atau jet pribadi. Melainkan karena mereka menjalani kehidupannya dengan santuy.
Meskipun angka kematiannya tinggi, masyarakat pra-agrikultur itu punya jam kerja yang lebih sedikit. Selama bisa menangkap buruannya di pagi hari, maka siang harinya mereka sudah bisa bergosip dengan tetangga, ber-santuy ria dengan keluarga, dan tidak memikirkan apakah mereka bisa mengubah dunia atau tidak. Lebih penting lagi, mereka tidak punya akun media sosial yang memungkinkan mereka bersedih hati di atas kasur karena melihat foto temannya yang menikah duluan di wall Facebook.
Soal kesehatan, masyarakat pra-agrikultur memiliki tingkat kesehatan yang lebih baik dibanding kita. Hidup mereka nomaden dan karena itulah kebersihan lingkungan mereka bisa lebih terjamin. Mereka tidak perlu repot-repot menguras bak mandi untuk membuang jentik nyamuk atau tidak perlu menyapu rumah. Otot-otot mereka terlatih untuk terus bergerak. Tidak seperti kita yang menghabiskan micin dan gula di depan komputer selama berjam-jam.
ADVERTISEMENT
Penyakit mengerikan itu muncul karena manusia mulai 'mendomestikasi' segala hal, yang artinya mereka harus tinggal menetap dan direpotkan dengan kebersihan lingkungan. Jadi, tidak ada alasan bagi mereka untuk depresi karena penyakit yang susah disembuhkan. Kalau pun mereka mati, kebanyakan karena peperangan merebut teritori makanan, diterkam hewan buas, digigit ular, atau mati mendadak akibat cuaca ekstrem.
Para leluhur kita itu memang hidupnya sama sekali tidak signifikan. Tapi ya itu, hidup mereka santuy. Itulah mengapa mereka bisa hidup lebih makmur daripada kita. Saya tidak tahu apakah ada kasus depresi di antara mereka. Sayangnya, dari perjalanan arkeologis, hampir tidak ditemukan adanya bukti otentik yang membuat kita berkesimpulan bahwa di antara mereka ada yang mati bunuh diri akibat depresi.
ADVERTISEMENT
**
Sebagai negara bermoral yang berasas Pancasila, agama adalah hal yang sangat penting di Indonesia. Penduduk di Indonesia pasti memiliki agama. Setidaknya dilihat dari KTP-nya masing-masing. Tapi sayangnya, cara kita beragama masih terlalu ritualis dan agak kurang memaknainya secara lebih dalam.
Cara beragama kita rasa-rasanya cenderung kurang santuy. Padahal menurut saya, agama itu punya panduan yang baik untuk menjalani kehidupan secara lebih santuy.
Saya bermaksud untuk membagikan pandangan soal ini. Tapi bukan berarti ini bisa jadi obat mujarab untuk menghilangkan depresi. Dalam batasan tertentu, seseorang yang depresi tetap membutuhkan bantuan pihak profesional seperti psikolog atau psikiater. Sama seperti saat kita merasakan sakit fisik. Memangnya saat kita merasa sakit kepala, lantas langsung ke dokter? Tidak juga, kan? Pasti kita minum obat dulu dan kalau dirasa semakin parah, baru kita pergi ke dokter.
ADVERTISEMENT
Oke, begini, saya yakin setiap agama pasti mengajarkan konsep bersyukur. Arti sederhananya adalah menerima apapun kondisi yang dialami saat ini, seraya berterima kasih kepada Tuhan. Nrimo, bahasa Jawanya. Di ajaran agama saya (Islam), bersyukur itu konsep yang punya implikasi terhadap berbagai hal: Rasa cukup (qonaah), kepatuhan (taqwa), dan penyerahan diri kepada Tuhan atas segala persoalan (tawakkal).
Hanya saja, menurut saya, sering kali kita tidak paham betul cara mengaplikasikan konsep yang begitu agung itu. Dari konsep “menerima keadaan saat ini” saja, sebagian orang yang saya lihat masih keliru di level penerapan.
Salah satu cara kita bersyukur adalah dengan melihat orang-orang yang bernasib lebih buruk dari kita. Kita kesal dengan status single karena teman-teman kita banyak yang sudah menikah. Lalu berusaha untuk melihat bahwa masih banyak orang-orang yang lebih tua dari kita, namun belum juga menikah. Atau kita merasa kesal karena gaji yang kecil, lalu membandingkan ke orang-orang miskin yang hidupnya lebih susah dari kita.
ADVERTISEMENT
Sorry to say. Kalau caranya seperti itu, kita tidak akan bisa bersyukur. Itu tidak lebih dari sekadar menghibur diri sendiri. Tetap saja tidak bisa santuy karena kita masih tegang atas hal-hal yang hilang atau tidak kita miliki saat ini.
Memang benar bahwa Nabi Muhammad SAW menyeru kepada pengikutnya untuk selalu melihat perkara harta dari orang-orang yang berada di bawah kita. Beberapa ulama menafsirkan bahwa seruan ini bisa meredam ketamakan kita terhadap obsesi dunia. Menurut saya, untuk meredam ketamakan dunia, ya bukan dilihatnya semata-mata untuk menghibur diri sendiri.
Ada call to action di sana: Kalau kita melihat orang yang bernasib lebih tidak beruntung dari kita, ya kita bantu semampunya. Kalau kita melihat ada anak yatim dan fakir miskin, ya kita berikan sedekah yang terbaik. Menjadi dermawan itu bisa membuat hati kita lebih lembut dan menyadari bahwa apa yang kita miliki itu sebetulnya milik Tuhan.
ADVERTISEMENT
Siapa sangka jika Ariana Huffington, pendiri media besar Huffington Post yang sangat terkenal itu, ternyata bisa terkena depresi berat. Kalau dalam bahasa kekinian, depresinya muncul akibat burn out dan kelelahan. Lalu, bagaimana Huffington menyembuhkan depresinya? Salah satunya adalah dengan kedermaan. Berbagi dengan sesama sebagai manusia. Kalau tidak percaya, silakan baca buku berjudul Thrive yang ditulis sendiri olehnya. Itu adalah cara untuk membuat hidup menjadi lebih santuy.
Nah, yang juga perlu disoroti adalah masalah “menerima keadaan diri sendiri” dalam konsep bersyukur. Saya pernah berdiskusi dengan seorang psikolog, bahwa sebetulnya, cara untuk hidup lebih santuy itu adalah memfokuskan diri pada hal-hal yang bisa kita miliki dan kuasai. Kalau kita bisa melepas fokus dari hal-hal yang tidak kita kuasai, fleksibilitas diri kita bisa meningkat, dan itu artinya bisa membuat kita lebih santuy.
ADVERTISEMENT
Dalam bahasa para psikolog, cara tersebut disebut sebagai mindfulness. Jika dipikir-pikir, ya itu sebetulnya cara paling tepat untuk menjadi orang yang bersyukur. Kalau menggunakan panduan agama, mindfulness ini menurut saya bisa dimodifikasi dengan memfokuskan dirinya pada Tuhan. Jadi, mengubah fokus kesadaran dari semata-mata hanya pada apa yang kita miliki dan kuasai, menjadi kesadaran apa yang dimiliki dan kuasai adalah sepenuhnya dikendalikan Tuhan.
Dalam mindfulness, kita harus mengembalikan kesadaran diri sendiri kepada kondisi saat ini. Karena dengan demikian, kita bisa lebih santuy dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Karena kita tidak dipusingkan dengan hal-hal yang sebetulnya belum tentu terjadi di masa depan. Atau juga tidak dipusingkan dengan kesalahan masa lalu karena kita sadar bahwa waktu tidak mungkin diulang.
ADVERTISEMENT
Kalau kita merujuk dari panduan agama, (dalam hal ini Islam yang saya anut) sebetulnya Tuhan itu selalu mengajak kita untuk meresapi kekuasaan-Nya pada peristiwa-peristiwa kekinian dan kasat mata yang sering kita anggap remeh.
Tubuh kita sendiri adalah jelas kekuasaan Tuhan. Saat kita makan, kita bisa fokus merenungi kekuasaan Tuhan karena telah memberikan lidah yang bisa merasakan berbagai jenis makanan.
Memang sih, alasan mengapa lidah kita bisa merasakan makanan itu bisa dijelaskan secara biologis. Tapi, sebab biologis itu kan tidak akan ada kalau bukan Tuhan yang memberikan. Kita bisa mengatakan bahwa pergantian siang dan malam itu adalah akibat rotasi bumi. Tapi pertanyaannya, bagaimana bumi bisa berputar sedemikian rupa? Tidak ada penjelasan ilmiah yang mampu menjawab kecuali setting tersebut adalah dari Tuhan.
ADVERTISEMENT
Banyak hal yang sebetulnya telah kita miliki dan itu adalah pemberian gratis dari Tuhan. Mungkin karena terlalu rutin, sakralitas itu jadi menghilang. Kita menganggap aktivitas harian yang dilalui bukan sesuatu yang istimewa. Di saat kita gagal untuk mengistimewakan kuasa Tuhan atas aktivitas harian, di sanalah pikiran kita melayang pada hal-hal yang tidak kita miliki.
Jadi, alih-alih kita mengutuk diri karena tidak bisa memiliki hal-hal yang tidak dimiliki, lebih baik memfokuskan diri pada hal-hal yang kita miliki atas pemberian Tuhan, sekecil apapun itu.
Saya yakin, kalau itu diterapkan sepenuh hati, bisa membuat hidup anda lebih santuy. Lebih santuy saat bekerja, beraktivitas, dan berusaha. Karena Tuhan tidak mungkin salah kasih. Selama kita terus berusaha, ya santuy saja.
ADVERTISEMENT
Inilah panduan agama untuk hidup yang lebih santuy. Meminjam istilah Mario Teguh, super sekali, kan?