Membaca Summer di Musim Hujan

Gilang Ramadhan
Pengajar - Content dan Copywriter - S1 Bahasa dan Sastra Indonesia - Warga Gang Mangga Garis Lurus
Konten dari Pengguna
30 Januari 2024 13:30 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gilang Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Lanskap Summer. Unsplash/Mateo Girud
zoom-in-whitePerbesar
Lanskap Summer. Unsplash/Mateo Girud
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Albert Camus adalah seorang penulis dan filsuf Prancis yang lahir di Aljazair, sebuah koloni Prancis di Afrika Utara. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh eksistensialis, yaitu aliran pemikiran yang menekankan kebebasan, pilihan, dan tanggung jawab individu dalam menghadapi dunia yang absurd dan tidak bermakna. Camus menulis banyak karya sastra dan esai yang menggambarkan pandangannya tentang eksistensialisme, salah satunya adalah Summer in Algier, sebuah kumpulan esai yang diterbitkan pada tahun 1954.
ADVERTISEMENT
Summer in Algier berisi tiga esai, yaitu Summer in Algier, The Minotaur, dan The Return to Tipasa. Ketiga esai ini menggambarkan pengalaman dan pengamatan Camus tentang kehidupan di Aljazair, tempat ia dibesarkan dan menghabiskan sebagian besar waktunya. Camus menulis esai-esai ini pada tahun 1930-an, ketika Aljazair masih berada di bawah penjajahan Prancis dan mengalami berbagai konflik sosial, politik, dan budaya.
Camus sendiri memiliki latar belakang yang kompleks, ia adalah seorang Pied-Noir, yaitu orang Prancis yang lahir di Aljazair, tetapi ia juga memiliki darah Spanyol dan keturunan Berber, yaitu penduduk asli Aljazair. Camus merasa terasing dari kedua budaya tersebut, ia tidak sepenuhnya diterima oleh orang Prancis maupun orang Aljazair.
Dalam Summer in Algier, Camus menggambarkan suasana kota Aljir pada musim panas, yang penuh dengan cahaya, warna, dan keindahan. Ia mengagumi tubuh-tubuh yang berjemur di pantai, yang menunjukkan kekuatan, keberanian, dan kebahagiaan. Ia juga mengagumi wanita-wanita Aljazair, yang memiliki pesona misterius dan sensual. Camus menganggap tubuh sebagai simbol kebebasan dan kesadaran, yang dapat melawan ketidakberartian dan kematian.
ADVERTISEMENT
Namun, di balik keindahan tersebut, Camus juga menyadari adanya ketegangan dan ketidakadilan yang terjadi di Aljazair. Ia menyaksikan diskriminasi dan eksploitasi yang dialami oleh orang-orang Aljazair oleh pemerintah kolonial Prancis, yang menganggap mereka sebagai orang kelas dua. Ia juga menyaksikan perbedaan dan pertentangan antara budaya Prancis dan budaya Aljazair, yang sulit untuk disatukan.
Situs di Aljazair. Sumber: Pexels/Djamel Ramdani
Camus sendiri memiliki sikap yang ambigu terhadap masalah-masalah tersebut. Ia tidak sepenuhnya mendukung gerakan kemerdekaan Aljazair, yang mulai muncul pada tahun 1950-an, karena ia khawatir akan terjadinya kekerasan dan pembalasan dendam. Ia juga tidak sepenuhnya mendukung kebijakan-kebijakan Prancis, yang ia anggap sebagai penindasan dan penyalahgunaan. Ia lebih memilih untuk mengambil jarak dan mengkritik kedua belah pihak, yang ia anggap sebagai bentuk kejujuran dan kemandirian.
ADVERTISEMENT
Dalam The Minotaur, Camus menggambarkan pengalamannya mengunjungi sebuah rumah sakit jiwa di Aljir, yang dikelola oleh seorang dokter bernama Antoine Porot. Di sana, ia melihat banyak pasien yang menderita gangguan mental, yang disebabkan oleh kemiskinan, kelaparan, penyakit, atau kekerasan.
Ia juga melihat bagaimana dokter Porot berusaha untuk menyembuhkan mereka dengan metode-metode yang kontroversial, seperti lobotomi, elektroshock, atau hipnosis. Camus menganggap dokter Porot sebagai seorang ilmuwan gila, yang mencoba untuk mengubah manusia menjadi binatang.
Lanskap Pantai di Algier. Sumber: Pexels/Adem
Camus mengkritik dokter Porot sebagai representasi dari rasionalisme Prancis, yang menganggap dirinya superior dan berhak untuk menguasai dan mengubah orang-orang Aljazair, yang dianggap primitif dan irasional. Camus menolak pandangan tersebut, ia menganggap orang-orang Aljazair sebagai manusia yang memiliki martabat dan hak-haknya sendiri.
ADVERTISEMENT
Ia juga menolak rasionalisme sebagai cara untuk memahami dan mengatasi absurditas kehidupan, ia lebih memilih untuk menerima dan menantang absurditas tersebut dengan cara yang kreatif dan artistik.
Dalam The Return to Tipasa, Camus menggambarkan pengalamannya kembali ke Tipasa, sebuah kota kuno di pantai Aljazair, yang ia kunjungi ketika ia masih muda. Di sana, ia merasakan kembali kenangan-kenangan indah yang ia miliki, seperti pemandangan alam, bau bunga, dan suara laut. Ia juga merasakan kembali semangat dan kebahagiaan yang ia rasakan ketika ia pertama kali menemukan eksistensialisme dan absurditas.
ADVERTISEMENT
Namun, Camus juga menyadari bahwa banyak hal yang telah berubah sejak ia pergi dari Tipasa. Ia melihat banyak tanda-tanda kehancuran dan kemunduran yang terjadi di kota tersebut, seperti reruntuhan bangunan, sampah, dan polusi. Ia juga melihat banyak tanda-tanda ketegangan dan konflik yang terjadi di Aljazair, seperti demonstrasi, penangkapan, dan pembunuhan. Ia merasa sedih dan marah dengan keadaan tersebut, ia merasa kehilangan harapan dan makna.
Camus kemudian mencoba untuk menemukan keseimbangan antara kenangan dan kenyataan, antara keindahan dan kekerasan, antara absurditas dan keadilan. Ia tidak ingin menyerah atau melarikan diri dari masalah-masalah yang ada, ia ingin menghadapi dan menyelesaikannya dengan cara yang bijak dan berani. Ia juga tidak ingin melupakan atau mengingkari nilai-nilai yang ia anut, ia ingin mempertahankan dan merealisasikannya dengan cara yang kreatif dan artistik.
ADVERTISEMENT
Summer in Algier adalah sebuah kumpulan esai yang menunjukkan pandangan eksistensialis Albert Camus tentang kehidupan di Aljazair, tempat ia lahir dan dibesarkan. Camus menggambarkan keindahan dan kebahagiaan yang ia rasakan di Aljazair, tetapi juga menyadari adanya ketegangan dan ketidakadilan yang terjadi di sana.
Camus memiliki sikap yang ambigu dan kritis terhadap masalah-masalah tersebut, ia tidak mau menjadi korban atau algojo, ia tidak mau menjadi apa pun selain diri sendiri. Camus mencoba untuk menemukan keseimbangan antara absurditas dan keadilan, antara kenangan dan kenyataan, antara seni dan ilmu pengetahuan. Camus menulis esai-esai ini dengan gaya yang jujur, berani, dan artistik, yang membuatnya menjadi salah satu penulis dan filsuf terkemuka abad ke-20.