Penut: Merelakan (Part 8)

Generasi Milenial
Generasi Milenial
Konten dari Pengguna
27 Oktober 2022 16:47 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Generasi Milenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cerita horor Penut bagian terakhir, Merelakan. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Cerita horor Penut bagian terakhir, Merelakan. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bapak bilang segalanya terjadi begitu cepat. Penut itu sudah membawa pergi mayat keponakanku dan hanya menyisakan kafannya saja. Kabar bahwa Penut mencuri mayat bayi tersebar ke seluruh desa.
ADVERTISEMENT
Banyak orang berkumpul di rumahku. Beberapa bahkan terang-terangan bertanya apakah aku sempat melihat Penut itu membawa keponakanku. Aku tidak menjawab karena ibu menyuruhku diam saja di dalam kamar.
Suasana di rumah terus-menerus ramai. Berbagai orang menyampaikan duka dan solusi. Bahkan, ada dukun yang diundang tetangga untuk mengetahui siapa yang menyuruh Penut mencuri mayat keponakanku. Dia bilang kalau Penut itu adalah suruhan orang terdekat.
Karena dukun itu, bapak jadi mencurigai semua kerabat dan tetangga, sedangkan ibu tidak langsung percaya. Aku sendiri tidak mengerti kenapa semua orang begitu fokus pada siapa yang menyuruh Penut mencuri mayat bayi, tetapi tidak peduli dengan kosongnya kuburan keponakanku.
Kuburan itu kosong melompong. Tidak ada mayat di dalamnya. Bagaimana kami bisa yakin bahwa dulunya Kak Siseh melahirkan seorang bayi jika tidak pernah ada tubuh bayi? Bukankah kami seharusnya memanggil polisi dan bukan dukun?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan-pertanyaan itu hanya berkubang di benakku. Lalu, ketika aku memikirkan malam itu, saat aku melihat Penut—aku tidak yakin polisi akan percaya pada pengakuanku. Bahwa ada sosok yang diselimuti kafan mendekat padaku dan bersuara seperti suami Kak Siseh—bahwa makhluk itulah yang memakan mayat keponakanku. Memakannya sampai habis, yang tersisa hanya kafan kecil berlumuran darah.
Mungkinkah itu hanya imajinasiku? Jangan-jangan yang kulihat hanyalah seekor hewan buas. Hewan yang menggaruk kuburan dan memakan mayat keponakanku. Hewan itu pasti berbulu putih seperti kafan dan dia membawa mayat keponakanku ke makam kecil itu. Atau, jangan-jangan itu hanya mimpi?
Karena ketika bangun, aku sudah berada di atas tikar di tengah rumah. Ibu memijat keningku dengan minyak sayur, lalu dia bilang aku tidak perlu menceritakan apa-apa. Bagaimana mereka bisa menemukanku saat aku pingsan? Apakah aku pingsan di kuburan?
ADVERTISEMENT
Lagi-lagi, semua pertanyaan itu tidak pernah mendapat jawaban. Yang aku lakukan pada hari-hari setelahnya hanyalah diam dan mendengarkan. Berbagai teori dan solusi datang dari berbagai orang sampai aku muak. Namun, seorang kiai yang pernah menjadi guru ngajiku datang dan berkata, “Relakan saja. Relakan.”
***
Sudah bertahun-tahun sejak mayat keponakanku diculik Penut. Aku tahu bahwa Kak Siseh sudah merelakan apa yang terjadi. Dia sudah menikah lagi dan punya anak yang sehat. Bapak dan ibu tetap enggan membicarakan kejadian itu. Aku sudah merantau jauh dari desa, tetapi terkadang aku masih memikirkan kejadian itu.
Tidak mungkin aku melupakan sosok Penut itu. Kalau terkadang aku harus pulang malam sendirian, bayangan kafan putih yang melayang tampak di kepalaku. Lalu, suatu hari, bapak meneleponku untuk mengatakan bahwa ibu sakit-sakitan. Aku harus pulang.
ADVERTISEMENT
Pulang bagiku adalah pilihan yang sulit. Rasanya, kalau aku pulang, aku bisa melihat wajah Penut itu lagi di setiap sudut desa. Namun, aku harus pulang.
Mungkin kalau aku merelakan kejadian itu, aku bisa pulang dengan tenang. Hanya saja, itu tidak mungkin. Karena aku percaya bahwa pada malam itu, aku berhadapan dengan makhluk paling kejam yang bisa kembali kapan pun dia mau untuk merebut sesuatu dariku. (day)
TAMAT