Citra Perempuan dalam Novel Kehilangan Mestika Karya Hamidah

Garris Pelangi
Mahasiswi UIN Jakarta
Konten dari Pengguna
2 Februari 2021 6:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Garris Pelangi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bolehkah hal yang telah terjadi di atas diriku dinamakan “untung?” Supaya dapat dipertimbangkan oleh ahli budiman, biarlah kutulis di sini apa-apa yang telah kejadian di atas diriku itu.
ADVERTISEMENT
-Kehilangan Mestika, 2011
Ilustrasi wanita. Foto: Arun Anoop/Unsplash
Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Teknik-teknik sastra tradisional seperti simbolisme dan matra bersifat sosial, karena merupakan konvensi dan norma masyarakat. Lagi pula, sastra “menyajikan kehidupan” yang sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan dunia subjektif manusia. Penyair adalah warga masyarakat yang memiliki kaitan dengan kehidupan sosial bermasyarakat (Warren, 2016). Di dalam kehidupan tersebut adanya pengakuan atau penghargaan dari satu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya, yang saling berkaitan. Seperti halnya novel Kehilangan Mestika karya Hamidah.
Pencitraan adalah topik yang termasuk dalam bidang psikologi dan studi sastra. Dalam psikologi, kata “citra” berarti reproduksi mental, suatu ingatan masa lalu yang bersifat indrawi dan berdasarkan persepsi – tidak selalu bersifat visual (Warren, 2016). Pada pencitraan inilah terlihat dalam suatu penyajian cerita dalam karya sastra. Di mana kisah atau pengalaman masa lalu yang bisa dirasakan atau diingat pada seorang pengarang. Dalam kebanyakan cerita fiksi, kedudukan perempuan sering diperlakukan, dipandang, atau diposisikan lebih rendah dari tokoh laki-laki. Para tokoh perempuan itu disubordinasikan dari tokoh laki-laki, atau paling tidak memiliki hak juga kesempatan yang sama dalam aspek kehidupan. Pada umumnya novel angkatan Balai Pustaka, tokoh perempuan tidak berhak untuk memilih jodoh sendiri, tidak memiliki suara untuk ikut mengambil keputusan. Bahkan yang menyangkut kepentingan dirinya sebagai seorang manusia. Secara umum tokoh perempuan dipandang lebih rendah daripada laki-laki (Nurgiyantoro, 2015).
ADVERTISEMENT

Hamidah dan Kehilangan Mestika

Para pengarang wanita jumlahnya tidak banyak, apalagi pada masa sebelum perang. Hamidah adalah pengarang perempuan juga pengarang roman yang dilihat memiliki nama lengkap yaitu Fatimah H. Details. Namanya pernah tercantum sebagai pembantu majalah Poejangga Baru dari Palembang. Roman yang ditulisnya berjudul Kehilangan Mestika (Rosidi, 2013). Hamidah lahir pada 13 Juni 1915 di Muntok, Pulau Bangka, Sumatra Selatan. Ia wafat di rumah sakit Charitas, Palembang, 8 Mei 1953. Pendidikan terakhir Hamidah ialah Meisjes Normaalschool (Sekolah Normal Putri) di Padang Panjang, Sumatra Barat. Setelah tamat dari sekolah itu, Hamidah kembali ke Muntok dan mengajar di Sekolah Rakyat (SR) Muntok. Kemudian, ia mengajar di Palembang Institut mengambil mata pelajaran “Bahasa Inggris” dan “Pegang Buku”. Ia senang membaca karangan Shakespeare. Setelah itu, ia bekerja di perguruan Taman Siswa sampai Jepang datang. Saat revolusi berlangsung, ia membuka sekolah sendiri tahun 1949 diserahkan kepada pemerintah. Ia pernah menjadi pengurus P4A, Parnawi, dan menjadi anggota Coerwis dan menjadi pembantu tetap Poejangga Baroe di Palembang.
ADVERTISEMENT
Selain menulis novel, Hamidah juga turut menulis puisi di antaranya; puisi Berpisah, dan Kekalkah? (Poejangga Baroe). Prosa dan Puisi (H.B Jassin, 1963), Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (Toeti Heraty, 1979), Tongkat 1 (Linus Surya AG, 1987), dan Ungu: Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia (Korrie Layun Rampan). Karya-karya Hamidah dinilai menggunakan bahasa sederhana, roman Kehilangan Mestika ini juga merupakan karya satu-satunya yang di tulis saat berumur 19 tahun (Kemdikbud, n.d.).

Kehilangan Mestika dan Feminisme

Membahas mengenai citra perempuan dalam novel Kehilangan Mestika, memiliki kaitan dengan pendekatan feminisme yang mana pengarang sendiri yaitu Hamidah atau Fatimah H. Delais salah seorang pengarang perempuan Indonesia dari generasi Balai Pustaka. Dalam karya fiksi atau sastra yang memperlihatkan keadaan perempuan pada masa itu secara umum mencerminkan keadaan hidup nyata, dimana perempuan dianggap memiliki kedudukan yang rendah. Keadaan tersebut menyebabkan munculnya gerakan atau paham feminisme sebagai bagian dari kajian sastra dan budaya (Nurgiyantoro, 2015).
ADVERTISEMENT
Permasalahan feminisme dalam kajian kesusastraan yaitu persoalan yang bagaimana penerapan gerakan feminisme tersebut dalam kajian berbagai teks kesusastraan. Hal inilah yang kemudian muncul istilah kritik sastra feminis. Contoh kajian feminisme dalam berbagai cerita fiksi di Indonesia antara lain oleh Wiyatmi 2012. Dalam penelitiannya, ia mengemukakan di antaranya yakni adanya perlawanan simbolis terhadap tradisi pingitan dengan pendidikan kaum perempuan seperti yang terlihat pada novel-novel semacam Azab dan Sengsara, Siti Nurbaya, dan Kehilangan Mestika. Kedua, perlawanan simbolis terhadap domestikasi kaum perempuan dengan masuknya perempuan ke area publik seperti dalam novel Layar Terkembang, Kehilangan Mestika, juga Burung-burung Manyar (Nurgiyantoro, 2015).
Perlawanan terhadap tradisi pingitan juga tergambar pada masyarakat kampung dari Hamidah. Budaya mereka ialah bila anak gadis sudah mulai besar, tidak diperkenankan untuk keluar rumah, mereka hanya menunggu di rumah sampai ada orang yang hendak meminangnya. Terlihat pada kutipan di bawah ini.
ADVERTISEMENT
Mendengar ini insaflah kami akan kesalahan kami. Kami lupa bahasa anak-anak perempuan di negeri kami, manakala sudah besar sedikit, tak boleh lagi keluar rumah. Usahakan berjalan, memperlihatkan diri dari jalan saja tak boleh. Adat pingitan …!h. 49
Pengarang dalam mencitrakan tokoh utama perempuan sebagai sosok yang berpikiran maju dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun demikian, di sisi lain tetap saja dianggap sebagai sosok yang lemah, yang harus bertanggung jawab terhadap kehidupan keluarga (Wendra, 2010). Seperti halnya novel Kehilangan Mestika karya Hamidah. Novel ini menceritakan kisah hidup dari tokoh utama yaitu Hamidah yang tak lain dari cerita pengarang sendiri. Yaitu tentang kemalangan yang beruntun menimpa ia juga kehidupannya. Lika-liku batin yang dirasakan oleh tokoh utama terangkai dalam cerita Kehilangan Mestika.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana Hamidah, sosok yang bertanggung jawab akan kehidupan tempat lahirnya itu, dengan semangat dan bertanggung jawab serta usaha yang tak henti. Terlihat pada kutipan di bawah ini.
“Jadi sekarang cara kami bekerja terpaksa ditukar. Kami berganti-ganti pergi mengunjungi orang yang berhajat pertolongan kami untuk menerangi buta huruf. Dengan berkat rajin dan sabar, berhasillah pekerjaan kami. Bukan sedikit gadis-gadis dan ibu-ibu yang telah pandai membaca dan menulis.” H. 49.
Demikianlah ulasan sederhana gambaran mengenai citra perempuan yang dilihat dari tokoh serta novel Kehilangan Mestika karya Hamidah ini. Bagaimana pendekatan feminisme yang dipaparkan berupa perasaan tokoh, perjuangannya terhadap hak akan dirinya, membela negeri juga kaum perempuan di tempat kelahirannya itu.
Kehilangan Mustika karya Hamidah. Foto: Dok. Perpusnas
Referensi
ADVERTISEMENT
Eksiklopedia Kemendikbud. Artikel “Hamidah”. Diakses pada 04 April 2020, dari http://eksiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Hamidah
Hamidah. 2011. Kehilangan Mestika. Jakarta: Balai Pustaka.
Nurgiyantoro, Burhan. 2015. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:Gdjah Mada University Press.
Rosidi, Ajib. 2013. Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia. Bandung: Pustaka Jaya.
Wellek, Renne dan Austin Warren. 2016. Teori Kesusastraan. Jakatra: PT Gramedia.
Wendra, I Wayan. 2010. “Citra Perempuan dalam Sastra Modern (Sebuah Pandangan Feministik pada Dua Pengarang Laki-laki)”. Jurnal IKA. Volume 8 (1)