Romantisme Hubungan Israel-Amerika Serikat: Standar Ganda dalam Politik Global

Frisca Alexandra
Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Mulawarman
Konten dari Pengguna
28 Maret 2024 9:37 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Frisca Alexandra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Amerika Serikat Donald Trump (kiri) berbincang dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih, di Washington, Amerika Serikat. Foto: REUTERS/Kevin Lamarque
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Amerika Serikat Donald Trump (kiri) berbincang dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih, di Washington, Amerika Serikat. Foto: REUTERS/Kevin Lamarque
ADVERTISEMENT
Konflik antara Israel dan Palestina adalah salah satu konflik terpanjang dalam sejarah Hubungan Internasional. Tahun 1993, kedua belah pihak yang berkonflik berhasil mencapai Perjanjian Damai yang dikenal sebagai Perjanjian Oslo.
ADVERTISEMENT
Perjanjian Oslo sendiri melalui dua tahapan yakni Oslo I yang ditandatangani pada September 1993 di Washington DC serta Oslo II yang ditandatangani pada September 1995 di Taba, Mesir.
Meskipun perjanjian ini membuka jalan bagi upaya perdamaian antara Israel dan Palestina namun dalam proses implementasinya mengalami berbagai kesulitan sehingga perjanjian ini tidak sepenuhnya berhasil dalam mencapai tujuan utamanya yakni penyelesaian konflik secara komprehensif.
Di tahun 2023, konflik antara Israel dan Palestina kembali memanas yang dipicu dari serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023. Israel kemudian melancarkan serangan balasan yang menewaskan sekitar 19 ribu warga Palestina pada Desember 2023.
Memanasnya kembali konflik antara Israel dan Palestina memicu reaksi dari masyarakat internasional, mulai dari seruan boikot Israel serta produk-produk yang dianggap Pro terhadap Israel hingga aksi demonstrasi global sebagai bentuk solidaritas terhadap Palestina. Demonstrasi global ini antara lain terjadi di Iran, Afrika Selatan, Lebanon serta Indonesia.
ADVERTISEMENT
Beberapa Negara Barat seperti Inggris dan Amerika Serikat juga melakukan aksi demonstrasi yang menuntut agar pemerintah Inggris dan Amerika berbuat sesuatu untuk menghentikan kekerasan di Palestina. Berdasarkan data yang penulis kutip dari ACLED, Amerika menjadi Negara yang paling banyak melakukan aksi demonstrasi sebagai respons atas konflik Israel-Palestina.
Tercatat ada lebih dari 600 aksi demonstrasi yang terjadi di Amerika Serikat. Kondisi ini tidak terlepas dari pendapat publik Amerika yang terbagi antara kubu pro Israel dan juga pro Palestina.
Sebagai sekutu dari Israel, Amerika Serikat tentu mendukung sikap Israel yang melakukan serangkaian aksi kekerasan di Palestina. Menurut Amerika, ini adalah bagian dari strategi Israel dalam memerangi terorisme. Namun masifnya serangan yang dilancarkan Israel ke Palestina dengan jumlah korban jiwa yang tidak sedikit, memicu Majelis Umum PBB untuk mengeluarkan draft Resolusi Majelis Umum PBB ES-10/21 pada 27 Oktober 2023.
ADVERTISEMENT
Draft resolusi ini sendiri kemudian diveto oleh Amerika Serikat dan juga Inggris. Sikap Amerika Serikat ini tentu mendapatkan kecaman baik dari Negara-negara maupun dari masyarakat internasional.

Standar Ganda Sikap Amerika Serikat Terhadap Dinamika Politik Global

Sejak era Perang Dingin, Amerika Serikat secara konsisten menunjukkan bahwa mereka adalah Negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta Hukum Internasional. Amerika juga kerap menunjukkan sikap untuk mengakhiri konflik dalam politik global secara damai dan berkeadilan. Sikap ini, ditunjukkan Amerika ketika Rusia melakukan invasi ke Ukraina tahun 2022.
Amerika Serikat secara resmi mengeluarkan pernyataan yang mengecam invasi Rusia ke Ukraina sebagai pelanggaran atas hukum internasional, Amerika juga menerapkan sanksi ekonomi terhadap Rusia. Selain sanksi ekonomi, Amerika juga bekerja sama dengan sekutu internasional untuk mengisolasi Rusia secara diplomatik dan mendesak komunitas internasional untuk mengecam tindakan agresif Rusia.
ADVERTISEMENT
Sikap tegas Amerika juga dapat dilihat ketika Tiongkok melakukan pelanggaran HAM terhadap etnis Uighur. Pernyataan mengecam, sanksi ekonomi hingga upaya diplomatik untuk mendesak Tiongkok agar mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis Uighur secara konsisten dilakukan oleh Amerika.
Namun sikap berbeda justru ditunjukkan Amerika Serikat dalam konflik Israel-Palestina. Ribuan warga Palestina yang menjadi korban nyatanya belum cukup untuk menghentikan dukungan Amerika terhadap Israel bahkan penyerangan yang dilakukan Israel ke rumah sakit, yang notabenenya telah melanggar hukum humaniter internasional pun tetap tidak membuat Amerika untuk bersikap tegas menjunjung hukum internasional seperti sikapnya dalam konflik internasional lainnya.
Sikap Amerika ini meskipun menciptakan standar ganda namun disisi lain, tidaklah mengejutkan, mengingat Amerika dan Israel memang telah lama memiliki hubungan yang harmonis. Harmonisasi hubungan keduanya dapat dilihat dari keberadaan kelompok lobi Israel yakni AIPAC (The America Israel Public Affair Committee), kelompok ini kerap melakukan lobi-lobi politik yang akan mempengaruhi kebijakan dalam eksekutif dan juga legislatif Amerika. Salah satu bentuk pengaruh lobi AIPAC adalah keputusan Presiden Trump untuk memindahkan Kedutaan besar Amerika ke Yerussalem.
ADVERTISEMENT
Dalam ilmu hubungan internasional, salah satu asumsi kelompok Realis adalah realpolitik, yakni mengacu pada kebijakan pragmatis dan berbasis kepentingan nasional. Hal ini sering kali menghasilkan tindakan-tindakan persekutuan taktis, realokasi sumber daya, atau penggunaan kekuatan militer sesuai dengan kepentingan strategis.
Persekutuan antara Amerika dan Israel tentu memiliki dasar kepentingan nasional. Berdasarkan kepentingan nasional itulah, Amerika kemudian menghasilkan kebijakan-kebijakan yang pragmatis. Kebijakan pragmatis inilah yang sedikit banyak dapat menjelaskan standar ganda sikap amerika terhadap dinamika politik global.