Keputusan Donald Trump Keluar dari Perjanjian Nuklir dengan Iran

Fitria Ulfiani
Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
16 Juni 2020 12:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fitria Ulfiani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Iran merupakan negara berkemampuan dalam memproduksi senjata mematikan pemusnah massal yaitu nuklir. Kemampuan Iran dalam pengembangan program nuklir dinilai oleh dunia internasional sebagai ancaman masa depan. Untuk itu, pada 2015 terdapat kesepakatan atau perjanjian nuklir antara Iran dan negara – negara maju antara lain Amerika, Inggris, Perancis, Rusia, China, dan Jerman yang berisikan penerapan pembatasan yang memungkinkan Iran tidak bisa memproduksi senjata nuklir di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Adapun timbal balik dari kesepakatan pembatasan program nuklir ini yakni kesepakatan di sektor – sektor lainnya salah satunya dengan pencabutan embargo ekonomi. Tiga tahun berjalannya kesepakatan ini, salah satu negara yang ikut menandatangani menyatakan mundur dari kesepakatan. Pada hari Selasa, 8 Mei 2018 Presiden terpilih AS, Donald Trump memutuskan menarik diri dari perjanjian nuklir Iran yang ditandangani oleh enam negara tersebut yang sebelumnya telah mencapai kesepakatan pada pemerintahan Presiden AS sebelumnya yakni Presiden Barack Obama di tahun 2015 lalu.
Perubahan kebijakan AS ini tidak terlepas dari faktor siapa yang sedang memimpin negara tersebut. Untuk menganalisa lebih jauh, penulis menggunakan teori Rational Actor Model (RAM) dalam menganalisis kebijakan luar negeri AS pada masa Donald Trump terkait keluarnya AS dari perjanjian nuklir dengan Iran atau yang dikenal dengan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
ADVERTISEMENT
Dalam teori Rational Actor Model, pengambilan keputusan kebijakan luar negeri sebuah negara, dapat dianalisa pada level individu. Individu merupakan agen pembuat keputusan dengan mengatasnamakan negara. Pemimpin negara memberikan pengaruh besar terhadap pengambilan kebijakan dan arah politik luar negeri suatu negara. Rational Actor Model (RAM) dijelaskan oleh Graham T. Allison memiliki beberapa poin, bahwa negara tidak mempunyai tujuan tetapi orang terlibat dalam mengevaluasi pilihan – pilihan, memilih diantara alternatif – alternatif dan mungkin menjalankan keputusan mereka.
Pada kasus keluarnya AS dari kesepakatan nuklir Iran, Donald Trump menegaskan akan kembali memberlakukan sanksi terhadap Iran. Menurut Donald Trump sendiri, kesepakatan nuklir tersebut adalah perjanjian sepihak yang mengerikan dan seharusnya tidak pernah diwujudkan. Trump berpendapat bahwa Rencana Aksi Bersama Komprehensif (JCPOA) sendiri tidak memiliki visi dalam meredam pengembangan nuklir dengan jelas. Iran masih mengembangkan Uranium sekalipun negara – negara yang memiliki power dan tergabung dalam JCPOA menekan pengurangan pengembangan Uranium oleh Iran. Pemerintah AS di era Trump memiliki kepentingan dengan mengarahkan arah kebijakan luar negeri yang lebih ketat pada bidang keamanan dibandingkan pada masa Barack Obama.
ADVERTISEMENT
Pemerintah AS terlepas dari konflik di Timur Tengah, memiliki arah kepentingan yang berlawanan dengan kebijakan yang dapat menguntungkan Iran. Trump selain berasal dari Partai Republik yang memiliki kebijakan ketat dalam keamanan baik dalam politik maupun ekonomi, juga dikelilingi oleh elit politik yang berpandangan anti-Iran. “Politisi Elang” seperti Jhon Bolton, Mike Pompeo, Stephen Miller dan orang – orang Partai Republik lainnya menjadi orang – orang berpengaruh dan menjadi Chain Group utama dalam membisikkan Trump untuk membuat kebijakan. Dilansir dari Reuters, Trump sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, kemungkinan akan membatalkan lebih dari 275 kebijakan yang ditandatangani Obama disertai dengan dukungan Partai Demokrat antara lain seperti imigrasi waterboarding teluk Guantanamu, tenaga kerja federal, energi iklim dan tidak terkecuali pakta kebijakan JCPOA. Tentu Trump memiliki pekerjaan rumah yang sulit untuk berunding dengan parlemen AS. Hal tersebut dikarenakan hasil Pemilu AS menjadikan Partai Demokrat sebagai pemenang di DPR.
ADVERTISEMENT
Partai Republik sebagai partai pengusung Donald Trump sebagai Presiden akan memberikan tekanan luar biasa pada kekuasaan eksekutif. Trump dengan Partai Republik sendiri sedari awal tidak menyetujui pengurangan pengembangan Uranium oleh Iran. Menurut Trump pengembangan Uranium sangatlah tidak masuk akal dan hanya akan menjadi langkah sia-sia yang dilakukan negara-negara P5+1. Hasil kongres 120 hari yang diumumkan 12 Mei 2018 menghasilkan keputusan bahwa JCPOA tidak signifikan. Iran akan tetap menunjukkan kesepakatan yang buruk dan pengurangan Uranium tidak menjadikan Iran untuk melakukan pemberhentian produksi Uranium serta program rudal untuk kepentingan konflik di Timur Tengah. Pada akhirnya, AS meyakini justru akan rawan terjadi pelanggaran oleh Teheran sendiri sebelum konflik kepentingan luar masuk dalam penandatangan JCPOA diubah. Trump melalui akun Twitter pribadinya mengatakan bahwa pemberian imbalan pencabutan sanksi justru akan mengembalikan Iran ke pasar global. Terhitung sejak Januari 2016 Iran sendiri sudah mulai melakukan kegiatan ekonomi global semenjak mendapatkan embargo dari AS dan beberapa negara Uni-Eropa. Hal ini dinilai fatal oleh AS dan Trump meyakini akan menjadi sebuah boomerang bagi negara-negara P5+1. Iran dinilai akan lebih mudah mengembangkan Plutonium dan Uranium jika ekonomi yang sebelumnya diberikan sanksi embargo justru dicabut.
ADVERTISEMENT
Keluarnya AS dari kesepakatan JCPOA menjadi sinyal konflik baru. Sejalan dengan AS, sebelumnya Israel yang berada pada kepentingan yang sama memberikan bukti kecurangan Teheran pada kesepakatan tersebut. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu meluncurkan dokumen pengembangan dan pengawasan Uranium dan Plutonium di Teheran. Tentu Trump sendiri akan melindungi kepentingan Israel di Timur Tengah dan sangat berhati-hati jika Iran akan memiliki kekuatan persenjataan yang besar sehingga mendominasi konflik di Timur Tengah.
Trump sendiri yang sangat dekat dengan Netanyahu akan memberikan pengawasan ketat demi menjaga Israel dari Iran agar tidak menjadi ancaman baru terlebih Israel tidak memiliki hubungan baik dengan beberapa negara di Timur Tengah. Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar mendukung keputusan Trump untuk keluarnya AS dari JCPOA. Tentu akan sangat menguntungkan Arab Saudi jika Iran kembali mendapatkan embargo ekonomi. Hubungan yang baik antara Trump dengan pihak kerajaan Arab Saudi terlihat dengan mesranya Trump dalam beberapa kesempatan pertemuan bilateral antara Amerika Serikat-Arab Saudi. Trump tentu memiliki pandangan yang lebih konservatif dalam mengamankan keamanan dan memiliki sifat yang fleksibel serta provokatif untuk melancarkan kepentingan AS. Walaupun Trump dikenal anti-imigran dan anti-muslim oleh publik, tentu jika keamanan dan kepentingan AS di Timur Tengah sangat pentingmaka Trump akan memanfaatkan Arab Saudi ataupun negara lainnya sekalipun negara tersebut memiliki identitas Islam.
ADVERTISEMENT