Ketiadaan Scientific Temper di Indonesia Melawan Kemiskinan dan Pandemi

Konten dari Pengguna
5 Juni 2020 18:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firdza Radiany tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah warga dan pengendara motor memadati kawasan sebuah pasar di Indonesia, saat pandemi COVID-19 berlangsung. Senin (18/5/2020). Foto: Antara/Arif Firmansyah
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah warga dan pengendara motor memadati kawasan sebuah pasar di Indonesia, saat pandemi COVID-19 berlangsung. Senin (18/5/2020). Foto: Antara/Arif Firmansyah
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lebih hebat mana India atau Indonesia?
India menempati posisi di atas Indonesia dalam peringkat 100 negara paling miskin di dunia.
ADVERTISEMENT
India lebih miskin daripada Indonesia.
Tapi di India ada perayaan Hari Sains Nasional.
Oh ya di India, tidak ada Hari Pancasila, saya meragukan bahwa rakyat India kadar persatuannya rendah -- tidak bersatu dan bergotong royong – soalnya tidak ada Pancasila di India.
Saya juga yakin kenapa ada rasisme di Amerika Serikat itu penyebabnya karena tidak ada Pancasila di Amerika Serikat. Oh dan tentu saja tidak ada tagar #NKRIHargaMati. Makanya Amerika Serikat ada rasisme.
Saya juga percaya, bahwa ukuran Cheese Burger McDonalds dan Beng-Beng di Indonesia semakin menyusut karena ulah elite global yang dipimpin Bill Gates.
Bicara tentang kemiskinan, apa spektrum dan pengalaman yang tidak didapatlan semua orang?
Kemiskinan – mistis – kebodohan.
ADVERTISEMENT
Trinitas yang agung dan akut, musuh utama sains dan kemajuan Bangsa.
Kalau sudah miskin, berfikir itu susah. Mendapatkan uang sebesar Rp 10.000,- untuk makan siang saja susahnya minta ampun.
Jadi jangan dipaksakan orang miskin untuk berfikir logika. Kehidupannya saja tidak merdeka. Bagaimana pikirannya merdeka layaknya netizen yang memiliki kuota untuk rutin absen menengok teori akun sosial media berteori konspirasi?
Bagi orang-orang yang melaratnya kebangetan, masalah sehari-hari menjadi terlampau sulit untuk diatasi dengan pikiran dan logika. Dalam kondisi itu, jalan paling mudah untuk menjalani hidup adalah dengan insting.
Insting itu berteman dengan hal mistis / supranatural. Kesadaran Magis.
Orang miskin bolehlah memiliki Kesadaran Magis. Kalau Pemimpin dan Sarjana juga, wah gawat.
ADVERTISEMENT
Kesadaran Magis muncul karena ketiadaan Scientific Temper - Perangai Ilmiah, sebagai budaya dan kebiasaan pola pikir untuk berdiskursus publik.
Sejak 1964 di India sebuah organisasi baru dibentuk untuk tujuan mengkampanyekan Scientific Temper, yang diberi nama Society for the Promotion of Scientific Temper. Setiap orang yang anggota diwajibkan menandatangani pernyataan yang bunyinya sebagai berikut:
“Saya percaya bahwa pengetahuan hanya bisa diperoleh melalui usaha manusia dan bukan melalui pewahyuan, dan bahwa semua masalah dapat dan harus dihadapi dengan menggunakan sumberdaya moral dan intelektual manusia tanpa melibatkan kekuatan supranatural.”
Sejak 1987, pada setiap 28 Februari negara India merayakan Hari Sains Nasional. (Setiap bulan Februari, diskursus publik Indonesia berkutat halal-haram Hari Valentine dan Valentine bukan budaya bangsa.)
ADVERTISEMENT
Sejak itu ada perayaan besar sains, demonstrasi sains masif bahwa betapa pentingnya sains untuk kehidupan sehari-hari rakyat India.
Kampanyenya perlu diingat, tidak pakai tagar.
--
Warga Barat suka sekali berwisata ke Indonesia. Mereka akan melihat dan merasakan hal-hal yang tidak biasa mereka dapatkan seperti di asal negara mereka yang maju.
Mereka mendapatkan rasa ekostisme dan sebuah perasaan juga pengalaman tradisional. Tradisional budayanya. Tradisional pemikirannya. Seperti :
Padahal diantara dua poin diatas ada banyak sekali ruang kosong.
Ruang kosong yang bisa kita isi dengan logika dan ilmiah.
Ruang kosong ini disebabkan oleh baru 1-2% saja dari 270 juta penduduk yang sudah Sarjana.
Itupun 1-2% tersebut entah berapa yang bisa benar-benar berfikir dengan logika dan ilmiah.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, para Sarjana dipakai untuk laiknya mahkota dan perhiasam, atau sekarang dipasang menjadi pelengkap nama di akun sosial media.
Jika pun bergelar Sarjana dan berilmu, sayangnya ilmu tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya saja. Bukan juga untuk masyarakat.
Dalam bukunya berjudul “Pribadi” , Buya Hamka berkata :
‘Banyak guru, dokter, hakim, insinyur, banyak orang yang bukunya satu gudang dan diplomanya segulung besar, tiba-tiba dalam masyarakat menjadi “mati,” sebab dia bukan orang masyarakat.
Hidupnya hanya mementingkan dirinya, diplomanya hanya untuk mencari harta, hatinya sudah seperti batu, tidak mempunyai cita-cita lain daripada kesenangan dirinya. Pribadinya tidak kuat. Dia bergerak bukan karena dorongan jiwa dan akal. Kepandaiannya yang banyak itu kerap kali menimbulkan takutnya. Bukan menimbulkan keberaniannya memasuki lapangan hidup.’
ADVERTISEMENT
Warga Barat suka berwisata ke Indonesia.
Warga Indonesia suka berwisata kemana?
Warga Indonesia suka berwisata ke masa lalu bernostalgia.
Bahwa Orde Baru lebih baik.
Atau yang lebih parah.
Warga Indonesia suka berwisata ke alam halusinasi, mistis dan konspirasi.
Jenis wisata yang murah.
--
Sebenarnya bagaimana sih sifat-sifat manusia Indonesia?
Pada tanggal 6 April 1977, Mochtar Lubis ; wartawan plus budayawan yang kontroversial itu membacakan pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Bagi Mochtar, orang Indonesia itu :
Meskipun pandangannya dianggap visioner karena hingga hari ini sifat-sifat tersebut dinilai masih melekat dalam perilaku sehari-hari manusia Indonesia. Meski tentu saja banyak kontroversi dan pro kontra. Contoh yang kontra adalah sosok Margono Djojohadikusumo, begawan ekonomi nasional dan pendiri Bank Indonesia. Namun, di sisi lain banyak juga pihak yang sepakat dengan Mochtar.
ADVERTISEMENT
Kombinasi dari 6 ciri sifat-sifat manusia tersebut semakin tampak pada saat negara kita mengalami krisis pandemi. Persis dipantulkan sinarnya dan diteladani contoh-contoh tersebut oleh para Pemimpin di Indonesia sekarang di krisis pandemi ini.
Taruhlah esok pagi ada seorang Pejabat berpendapat di media-media :
'Saya akan memproduksi sepatu Covid-19. Sepatu ini sudah direndam 7 hari 7 malam dengan air yang didoakan oleh pemuka agama dan disemprot oleh rempah-rempah khas dari Sabang Merauke.Pakailah sepatu ini. Virus akan mental. Ini karya anak bangsa. Kita harus bersatu menghadapi virus. Demi cita-cita patih Gajahmada!’
Keesokannya niscaya akan terjadi kehebohan kepercayaan baru yang langsung diamini, dibeli, dipakai dan disebarkan.
Sebuah kebodohan – maaf – yang tidak ilmiah, yang hebatnya lebih cepat menyebar daripada virusnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Kita lebih cepat mengamini hal-hal tidak ilmiah.
Selain karena Kesadaran Magis, kehidupan Pemimpin dan rakyat Indonesia tidak didasari oleh sebuah fondasi Scientific Temper – Perangai Ilmiah.
--
Satu dekade terakhir saat dunia IT, e-commerce dan digital berkembang. Saya pribadi cukup kaget dengan banyaknya CTO (Chief Technologi Officer – Direktur Teknologi Informasi) dan IT Engineer di perusahaan maju berasal dari negara India. Dalam benak saya sedekade lalu, bagaimana mungkin negara India ; yang mirip keadaan ekosospolnya dengan Indonesia ; bisa dan mampu menyebarkan anak-anak bangsanya dalam hal IT keseluruh negara?
Di India ada kisah nyata, ada seekor kera penghuni kuil Hanoman yang mati tercebur ke kolam karena dikejar anjing. Dua ratus lelaki penduduk desa Dekachya di Negara Bagian Madhya Pradesh, India Tengah, menggunduli kepala mereka dan tujuh ratus lelaki lainnya mencukur jenggot sebagai ungkapan dukacita.
ADVERTISEMENT
Mereka percaya bahwa kera tersebut adalah perwujudan Hanoman. Yang akan membebaskan bangsa daari kesengsaraan hidup.
Semacam kisah Satrio Piningit di Indonesia. Namun menjadi salah pengkultusan dan pengharapan. Di ilmu pasti organisasi dan psikologi, cara mencetak Pemimpin yang leadership-nya baik ya melalui proses pembelajaran dan penagalaman yang kuat, strategic thinking, analytical thinking, problem solving, good execution, good leaderhsip dst. Konsep mencetak Pemimpin ini tidak ada di kultur politik berbasis partai di Indonesia.
Kembali ke India. Di Rajasthan, ada tikus yang dianggap sebagai reinkarnasi Dewi Karni Mata, titisan Dewi Durga, dan orang-orang menyembah mereka sebagai makhluk suci. Selain menyembah, tikus ini laiknya Raja hidupny karena kebutuhan makanan dan minuman selalu mewah standarnya dan disiapkan oleh warga desa Rajashtan. Puncaknya adalah warga desa Rajasthan memakan sisa-sisa makanan tikus tersebut sebagai “harapan akan keberkahan”.
ADVERTISEMENT
Peristiwa pemgkultusan kera dan tikus tersebut bisa dilihat dari berbagai macam spektrum
Mempunyai Kesadaran Magis adalah hak asasi bagi setiap individu manusia. Yang bahaya dari sisi sosial dan kebangsaan, jika hampir seluruh penduduk sebuah negara memilih Kesadaran Magis yang akut dan masif, sehingga ada sikap terlalu pasrah yang berupa kebiasaan tidak kritis di bawah (sembunyi) payung iman. Dan lebih bahayanya, manusia menyisihkan banyak porsi pikirannya ke arah ketergantungan pada hal tidak ilmiah (mistis), untuk semua aspek hidup, sosial, bekerja, pemerintahan dll.
ADVERTISEMENT
Inilah yang terjadi di India, Pemimpin dan rakyatnya tidak memiliki fondasi Scientific Temper – Perangai Ilmiah.
Tersebutlah Jawaharlal Nehru, bapak bangsa India, yang berpendapat bahwa ketiadaan Scientific Temper di India sudah sangat parah.
Nehru orang pertama yang menggunakan frase Scientific Temper dan frase itu kemudian masuk ke dalam konstitusi India, menjadi salah satu tugas fundamental setiap warga negara, yaitu: Mengembangkan perangai ilmiah, humanisme, dan semangat pencarian dan pembaruan.
Nehru berkata :
'Negara atau masyarakat yang tunduk kepada dogma dan terbelenggu oleh mentalitas dogmatis tidak akan pernah bisa maju. Celakanya, negara dan masyarakat kita terlampau dogmatis dan berpikiran sempit.'
Dalam bukunya The Discovery of India, Nehru menyatakan bahwa di India penerapan ajaran agama terkait erat dengan praktik-praktik takhayul dan keyakinan dogmatis, dan di belakangnya terdapat metode yang tidak ilmiah untuk mendekati masalah-masalah kehidupan. Sikap pasrah pada hidup.
ADVERTISEMENT
Mengakibatkan Negara tidak maju.
Nehru menyampaikan bahwa jalan terbaik untuk keluar dari kecenderungan-kecenderungan takhayul adalah dengan mengembangkan Scientific Temper, yang meliputi
Nehru-lah inisiator Scientific Temper dan Hari Sains Nasional di India.
--
Sudah tentu background story India dan Indonesia berbeda, Kesadaran Magis-nya berbeda, tapi dimensinya sama.
Kerugian karena tiada Scientific Temper-nya sama. Terutama di saat krisis Pandemi ini.
Bedanya adalah India sudah sejak 1987 ada perayaan Hari Sains Nasional.
Bukan hanya perayaan, seremoni dan simbol. Tapi menjad gerakan perubahan yang menjadi keniscayaan yang berpengaruh terhadap diskursus publik. Scientific Temper sebagai solusi dan pola pikir keseharian rakyat Indonesia, terutama dimulai dari Pemimpin-Pemimpin Negara dan para Sarjana.
ADVERTISEMENT
Selain karena Divine Intervention (Kehendak Ilahi), seharusnya Pemimpin dan rakyat Indonesia percaya bahwa yang dapat menyelesaikan masalah bangsa adalah sebuah solusi yang didapat dari pendekatan ilmiah.
--
Indonesia kapan berubah?
Menurut saya tidak perlu Indonesia memiliki Scientific Temper.
Kita sudah punya Pancasila, semangat gotong royong dan bersatu.
Sudah cukup.
Apapun masalahnya, solusinya gotong royong dan bersatu.
--
Oleh :
@firdzaradiany