Tulang Punggung Keluarga Sejak Belia

Fiona Renatami
Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta TGP-Jurnalistik 2019
Konten dari Pengguna
16 Juli 2021 14:58 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fiona Renatami tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan kuat (Sumber foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan kuat (Sumber foto: Shutterstock)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menjadi tulang punggung keluarga memang sebuah hal yang mulia, tetapi ketika menjadi tulang punggung keluarga di usia yang belia bukan suatu keinginan. Sama halnya dengan apa yang dialami oleh seseorang terdekat kami yang akrab dipanggil Icha.
ADVERTISEMENT
Anak pertama dari 4 bersaudara. Perempuan kuat yang memiliki tanggung jawab yang besar untuk keluarga sendiri. Takdir yang memilihnya untuk menjadi seperti sekarang. Berat? Tentu saja. Di saat teman sebayanya melanjutkan kuliah tanpa memikirkan keadaan ekonomi. Dia harus berjuang untuk kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya.
Di saat temannya mencari perguruan tinggi negeri dia hanya bisa mencoba dan berharap mendapatkan beasiswa untuknya. Tapi takdir berkata lain, menerima kenyataan bahwa sudah jalannya untuk menjadi tulang punggung di umur 17 tahun.
Pada awalnya semua masih biasanya saja. Masih adanya bantuan dari orang tua untuk bayar kuliah di universitas swasta. Semester satupun terasa menyenangkan dan indah. Dia merasakan perasaan menjadi mahasiswa baru.
Pada sesmester kedua keadaan mulai goyah, semua tak lagi sama dengan sebelumnya. Merasakan lelahnya bekerja di pagi hingga sore hari dan berkuliah saat malam hari. Hingga keadaan yang paling tidak dipikirkan tiba.
ADVERTISEMENT
Ketika dia harus memilih cuti karena besarnya uang semester yang harus dibayarkan. Sedangkan tanggungan keluarganya masih banyak. Risiko menjadi tulang punggung keluarga memanglah berat. Dia mengorbankan cita-citanya untuk kehidupan.
Aku sebagai orang terdekatnya hanya bisa menyemangati. Bahwasanya semua akan baik pada waktunya. Kita tidak boleh menyerah pada keadaan. Sebagai anak pertama yang diharapkan membawa keluarga di tingkat yang lebih baik lagi. Hingga sekarang dia terus berjuang untuk kehidupan yang lebih baik lagi.
**Fiona Renatami/ Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta