Politik Elektoral yang Memecah Belah dan Sisi Positifnya

Ferizal Ramli
Ekspatriat-Konsultan Manajemen & IT domisili di Hamburg. Chairman IASI - Ikatan Ahli Sarjana Indonesia Jerman 2014-2016 #dariTepianLembahSungaiElbe
Konten dari Pengguna
11 September 2018 3:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ferizal Ramli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Partai Peserta Pemilu (Foto: Fitra Andrianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Partai Peserta Pemilu (Foto: Fitra Andrianto/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dulu banyak yang berpikiran jika rakyat menentukan langsung dan terlibat dalam politik, maka inilah pilihan hati nurani rakyat. Jadilah saat disahkan Demokrasi Langsung baik untuk Pilkada maupun Pilpres, saat itu rakyat Indonesia efroria berteriak gembira atas hal ini.
ADVERTISEMENT
Rakyat bisa memilih sesuai pilihan hati nuraninya. Sayang justru ini ada bayaran yang amat sangat mahal. Ternyata, rakyat memilih langsung itu ada 2 kelemahan dasar:
1. Rakyat itu tidak cukup paham dengan pilihannya
Ilustrasi pemilu. (Foto: Chaideer Mahyuddin/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pemilu. (Foto: Chaideer Mahyuddin/AFP)
Pada umumnya, rakyat itu tenggelam dengan kesibukan profesi masing-masing, cari rezeki untuk keluarganya dan sisa waktunya untuk silahturahmi.
Kita awam dalam membaca apa itu APBN, PDB & GNP, Dana Perimbangan Daerah, Indeks Gini, Inflasi, Suku Bunga, Kurs Valas, kebijakan moneter atau fiskal, subsidi, Capital Expenditure, Public Private Partnership dan istilah ajaib lainnya. Para ahli yang bisa mengusai hal itu, bahkan harus intens mengikutinya sehingga informasinya tetap up to date.
Pada umumnya, masyarakat tidak mampu untuk melakukan riset-riset politik terkait dengan ekonomi dan kesejahteran yang analitis. Akibatnya, dalam Demokrasi Langsung, akhirnya masyarakat memilih berdasarkan rasa: like or dislike. Jarang sekali memilih berdasarkan platform pembangunan.
ADVERTISEMENT
Jadilah diskursus politik pada sistem demokrasi langsung umumnya jarang sekali diskursus program yang mencerdaskan. Melainkan biasanya cuma atraksi politik seperti blusukan, bagi-bagi hadiah, dan lain-lain. Dalam sistem pemilihan langsung secara umum masyarakat pemilih sering kali tidak paham atas akurasi pilihannya sendiri.
Jangankan negara Indonesia, negara-negara mbah-nya Demokrasi seperti Amerika pun mengalami hal yang sama, seperti terpilihnya George Bush Jr atau Donald Trump. Meskipun konon kabarnya pilihan terhadap Ronald Reagen, Bill Clinton, dan Barack Obama adalah pilihan yang jitu.
Di Inggris juga saat Referendum Brexit, sesungguhnya banyak orang yang memilih tidak tahu apa yang dia pilih dan konsekuensinya. Padahal masyarakat Inggris secara umum amat terdidik, toh tetap saja mereka banyak yang tidak mengerti dengan pilihannya saat menentukan Brexit misalkan.
ADVERTISEMENT
2. Terjadi Keterbelahan di masyarakat
Aksi relawan Jokowi-Ma'ruf di Rumah Inspirasi, Jl. Tugu Proklamasi 46, Jakarta Pusat, Sabtu (08/09/2018). (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi relawan Jokowi-Ma'ruf di Rumah Inspirasi, Jl. Tugu Proklamasi 46, Jakarta Pusat, Sabtu (08/09/2018). (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Dikarenakan masyarakat umumnya awam dengan diskursus-diskursus politik, maka masyarakat memilih lebih pada referensi like or dislike pada tokoh politik yang akan jadi pemimpinnya. Alias pilihan atas "roso" jauh lebih dominan dalam ambil keputusan dari pada platform program.
Konsekuensinya jelas, rivalitas politik akhirnya terjebak pada membangun sentimen like and dislike. Di-setting seperti ini oleh para aktor politik membuat masyarakat akhirnya makin terjerumus ke like and dislike tokoh tertentu. Jadilah, sering kali keterbelahan di masyarakat karena politik: pro dan kontra karena personal seorang tokoh.
Keterbelahan ini bisa jadi sangat tajam dalam perbedaan. Jadilah Pilkada atau Pilpres menjadi tensinya sangat tinggi, serta saling cemooh atau caci maki antar-masyarakat yang berbeda pilihan politik menjadi kelumrahan. Politik menjadi faktor penting dalam memecah belah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pada kasus negara-negara yang menyerahkan sistem pemilihannya di Parlemen secara umum konfliknya itu cuma terlokalisir di Parlemen. Yang garang itu Parlemennya.
Jika di negara maju, seperti Perdana Menteri Inggris atau Kanselir Jerman misalkan, mereka bisa begitu debat terbuka, tajam dan amat dalam tentang sebuah platform atau policy.
Dikarenakan si eksekutif berhadapan dengan legislatif yang memang mereka menguasai bidangnya, jadilah si eksekutif tidak bisa di depan legislatif cuma pidato doang. Dia harus berdebat tajam dan kritis dengan para anggota Parlemen yang juga menguasai masalah.
Hanya, itukan di negara maju, kalau di Indonesia menerapkan hal seperti itu, jangan-jangan parlemen kita justru isinya hanya money politics belaka. Ini tampaknya yang kita takuti sehingga kita memilih sistem demokrasi langsung seperti sekarang ini.
Musisi Ahmad Dhani Prasetyo menyampaikan orasi saat acara deklarasi 2019 Prabowo Presiden di Bandar Lampung, Lampung, Jumat (7/9/2018). (Foto: RA FOTO/Ardiansyah)
zoom-in-whitePerbesar
Musisi Ahmad Dhani Prasetyo menyampaikan orasi saat acara deklarasi 2019 Prabowo Presiden di Bandar Lampung, Lampung, Jumat (7/9/2018). (Foto: RA FOTO/Ardiansyah)
Bisa jadi benar, bahwa keuntungan sistem langsung saat ini, kita bisa menghindari money politics di Parlemen. Tapi apakah kita bisa bener-benar bisa hilangkan money politics? Benarkah sistem pemilihan langsung tidak ada money politics seperti misalkan "Serangan Fajar?"
ADVERTISEMENT
Toh nyatanya biaya politik untuk jadi Kepala Daerah apalagi Kepala Negara itu teramat sangat besar sekali. Biaya politik yang mahal ini rentan tokoh politik tersandera bandar yang membiayainya. Ini jelas harus dibayar dengan kebijakan pro bandar. Ini juga bisa dikatakan money politics dalam bentuk lain.
Hanya terlepas dari perdebatan di atas, sistem pemilihan langsung tetap memberikan keuntungan nyata. Untuk kasus Indonesia sistem pemilihan langsung justru menghasilkan banyak Tokoh level nasional. Jadilah Indonesia tidak kekurangan tokoh.
Ternyata dengan sistem Langsung kita punya tokoh-tokoh hebat yang tidak cuma dari partai, seperti Parbowo, Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartanto, Romahurmuziy, Agus Yudhoyono, dan lain-lain.
Tapi juga menghasilkan tokoh hebat dari rekruitmen Pilkada Daerah seperti Joko Widodo, Anies baswedan, Ganjar Pranowo, Tri Rismaharini, Ridwan Kamil, Khofifah Indarparawangsa, Sandiaga Uno, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Sistem Demokrasi Langsung membuat Indonesia punya banyak setok untuk pemimpin nasional. Inilah keuntungan nyata yang dirasakan bangsa ini atas sistem demokrasi langsung.
Nah, yang terpenting sekarang, sadari kelemahan sistem demokrasi langsung ini. Jangan kita jadi terpecah belah karenanya. Nikmati pesta demokrasi yah sebagai pesta yang harus dirayakan dengan gembira.
#dariTepianLembahSungaiIsar
Ferizal Ramli Keterangan Gambar: 3 Tokoh Politik Pendiri Bangsa yang menginspirasi Politik Tanah Air di masa lalu
Konferensi Pers Sukarno-Hatta Pasca-Proklamasi (Foto: kitlv.nl)
zoom-in-whitePerbesar
Konferensi Pers Sukarno-Hatta Pasca-Proklamasi (Foto: kitlv.nl)