Industri Kita, Kasta Neo Brahmana & Neo Ksatria serta Slave Labour

Ferizal Ramli
Ekspatriat-Konsultan Manajemen & IT domisili di Hamburg. Chairman IASI - Ikatan Ahli Sarjana Indonesia Jerman 2014-2016 #dariTepianLembahSungaiElbe
Konten dari Pengguna
14 September 2018 3:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ferizal Ramli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Industri Kita, Kasta Neo Brahmana & Neo Ksatria serta Slave Labour
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Revolusi Industri Gelombang Keempat Saat saya hadir dalam Business Event prestisius perusahaan-perusahaan konsultan manajemen di Jerman beberapa bulan lalu membahas tentang yang paling aktual saat ini: Industri 4.0, saya sadari bahwa industri di Jerman saat ini sudah akrab dan sudah mengimplementasikan tema-tema futuristik dalam "business process"-nya. Tema-tema seperti Digitalization, Mobile Device, Virtual Plattform, Block Chain, Big Data and Analytics, Cloud, Artificial Intellegence (AI) berjalan dalam business process perusahaan yang membuat mereka amat kompetitif. Ini membuat industrinya yang sudah lama digdaya akan terus semakin digdaya. Tema Industri 4.0 pertama kali dicetuskan dalam sebuah Exibihition IT terbesar di dunia yaitu Hannover Fair tahun 2011. Akselerisasi dari perkembangann teknologi infomatika dan komunikasi membuat para industriawan visioner di Jerman mengantisipasi terjadi revolusi industri gelombang ke-4. Para visioner Jerman yang menginisiasi terjadinya Revolusi Industri Gelombang Keempat ini. Sejarah mencatat bahwa Revolusi Industri Gelombang Pertama dikenal dengan ditemukannya mesin untuk membantu proses produksi manusia di abad ke-18. Ini merubah pola hidup manusia dari agraria ke industri. Lalu dilanjutkan dengan Revolusi Industri Gelombang Kedua sebelum Perang Dunia I dengan digunakannya tenaga listrik sebagai sumber energi serta dipuncaki hadirnya alat komunikasi seperti telepon. Revolusi Industri Gelombang Ketiga terjadi baru beberapa dekade yang lalun dengan mulai dikembangkannya computer dalam kegiatan industri dan aktivitas personal. Yang paling mutakhir adalah saat internet berkembang secara robost, teknologi pengumpulan data yang makin canggih serta teknologi kercedasan buatan makin maju maka lahirkan Revolusi Industri Gelombang Keempat yang akhirnya dalam Hannover Fair 2011 dikenal dengan nama Industri 4.0. Jadilah mulai saat itu Jerman, negara-negara Eropa, Amerika serta negara-negara maju mulai membangun industri dalam negerinya mengikuti perkembangan industri 4.0.
ADVERTISEMENT
Hanya cuma dalam jangka waktu 7 tahun, Industri 4.0 yang di Hannover Fair hanya sebuah grand visi industri masa depan, hari ini industri-industri Jerman sudah bertransformasi ke Industri 4.0. Mereka sudah memasuki secara nyata Revolasi Industri Gelombang Keempat ini. Artinya tema-tema ini benar-benar sudah aplikatif. Industri Jerman dan Eropa sedang bertransformasi ke Industri 4.0. Jelas Digitalization, Mobile Device, Virtual Plattform, Block Chain, Big Data and Analytics, Cloud, Artificial Intellegence (AI) bukan lagi jadi tema seminar akademis di universitas-universitas ternama tapi sudah jadi Workshop Management Consulting Firms ke Client-nya di berbagai sektor Industri. Perusahaan Konsultan Manajemen saat ini bahu-membahu dengan Client-nya yang merupakan perusahaan manufaktur untuk bertransformasi ke Industri 4.0. Inilah kondisi termutakhir industri Jerman dan Eropa saat ini.
ADVERTISEMENT
Konsekuensi dari Industri 4.0
Dampak dari Industri 4.0 ini bisa luar biasa merubah secara revolusionar dan membuat shock bahkan malapetaka bagi banyak negara jika cerdas mengantisipaisnya. Sebuah kasus untuk refkesi saat saya jadi Konsultan Manajemen di sebuah perusahaan kimia di Frankfurt yang memiliki Chemical Industrial Park salah satu terbesar di Eropa. 20 tahun lalu karyawan di Chemical Industrial Park itu kurang lebih sekitar 65.000. Lalu karena adanya automatisasi jumlah karyawannya turun jadi cuma 17.000. Lay-off besar-besaran terjadi saat itu. Hebatnya produktifitasnya saat ini naik belasan kali lipat.
"Itu baru kasus Automatisasi!" Automatisasi itu esensinya mesin mampu menggantikan manusia untuk melakukan kegiatan-kegiatan operatif dalam proses industri. Baru pada tahap ini saja kemampuan mesin telah membawa konsekuensi memaksa perusahaan lay-off besar-besar, tetapi justru produktifitasnya naik berlipat-lipat.
ADVERTISEMENT
Dalam Industr 4.0 ada AI (Artificial Intellegence) yang itu justru lebih monumental. Pada tahap ini mesin mampu melakukan "decision making". Kalau automatisasi Mesin cuma selesaikan urusan operative dan mekanis, klo AI membuat mesin melakukan pengambilan keputusan yang selama ini hanya bisa dilakukan oleh manusia. Ini bukan lagi tema diskusi di kelas-kelas kampus universitas world class yang biasa berpikir futuristik, ini real sudah di implementasikan di industri. Di industri Jerman sudah menjadi "kewajaran belaka".
Konsekuensinya:
1. Industri yang tidak bisa bertransformasi akan terlibas baik diakusisi oleh lawan atau terlikuidasi. Nah, bagaimana dengan posisi Industri Indonesia saat ini? Akan mereka akan terlibas oleh perusahaan-perusahaan yang telah implementasi Industri 4.0 karena mereka lebih efesien, lebih murah tapi lebih berkualitas.
ADVERTISEMENT
2. SDM kita (Indonesia) yang besar akan jadi masalah besar buat kita. Mereka; mulut dan perutnya tentu harus diisi yang jumlahnya sebanyak 260 juta dan terus akan bertambah jumlahnya. Sementara mereka yang rendah "skill" dan "knowledge" tidak dibutuhkan lagi. Mesin sudah menggantikan semua fungsi produktif manusia.
Jika ini terjadi dan terjadinya hal ini adalah sebuah keniscayaan maka akan menjadi malapetaka kemanusian buat Indonesia, tapi tidak cuma Indonesia melaikan negara-negara sedang berkembang lainnya. Indonesia dan banyak negara lainnya akan semakin tertinggal dan terus tertinggal.
Tetapkah Optimis dalam Ancaman Serius ini?
Pertanyaan yang harus dijawab Indonesia saat ini: "Apakah kita mampu untuk invest memperkuat SDM (softskill) sehingga memenuhi kualifikasi Industri 4.0 serta mengangkat derajat industri kita untuk bertransformasi ke level 4.0?"
ADVERTISEMENT
Jika kita semua selalu bilang India dan Cina kan bisa atasi ini serta mampu bersaing dengan negara industri maju. Maka sisi gelap dari mereka adalah menjadikan sebagian rakyatnya sebagai Slave labour untuk industrialisasinya. Atas nama kemajuan pembangunan untuk membangun industrinya maka "labour cost" ditekan serendah mungkin sehinggan rakyatnya banyak yang diperlakukan sebagai "slave labour". Hanya memang harus diakuai mereka berhasil membangun industri yang kuat karenanya.
Hanya akankan Indoneisa juga akan melakukan strategis yang sama. Industri kita memperkerjakan "slave labour" untuk menekan biaya. Akankah kelak di Indonesia ada Kasta Brahmana dan Ksatria versi baru nan super elit karena mereka berhasil melewati jenjang pendidikan super world class yang super mahal sehingga bisa memenuhi kualifikasi kebutuhan Industri 4.0, sementara sebagian besar lainnya adalah kelas Paria yang akan diinjak-injak kepalanya karena tidak punya akses untuk memasuki proses belajar yang super elit ini…?
ADVERTISEMENT
Bagi mereka para Innovator yang brilyant akan menjadi Para Brahmana baru dalam persaingan Industri 4.0
Bagi mereka para Eksekutif professional akan menjadi Para Ksatria baru dalam persaingan Industri 4.0
Tapi bagaimana dengan sebagain besar lainnya yang tidak memiliki kualifikasi pendidikan yang cukup dengan skill rendah sehingga tidak dibutuhkan sama sekali keberadaannya karena adanya automatisasi dan artificial intellegence ini?
Ini kah akhir cerita kita nantinya? Mimpi akan Negeri "Gemah Ripah Loh Jinawi, Nagari Tongkat Kayu dan Batu Jadi Tanaman, Bukan Lautan Hanya Kolam Susu" yang berakhir dalam ketercampakan? Apakah akan seperti ini akhir cerita kita nantinya: "Sebuah masyarakat kecil nan super elit Kasta Neo Brahmana dan neo Ksatria lalu lainnya yang mayoritas mutlak akan jadi kasta Paria?"
ADVERTISEMENT
Bagi saya pribadi sebagai jawabannya, saya teringat dengan pepatah pantang menyerah orang Jerman yaitu: "Die Hoffnung stirbt zuletzt" – Harapan (untuk tetap optimis) selalu paling terakhir mati. Dia baru boleh mati jika nyawa sudah meninggalkan badan. – Ini jawaban saya secara diplomatis.
Jawaban jujur saya: Kita butuh miracle😊 God will help us all ❤
#dariTepianLembahSungaiElbe
Ferizal Ramli