Thrifting Impor Menjamur, Produk Lokal Semakin Tercekik

Ferina Widyawati Ayu Silvi
Mahasiswa Fakultas Hukum UAD
Konten dari Pengguna
7 Juli 2021 15:21 WIB
·
waktu baca 1 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ferina Widyawati Ayu Silvi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dewasa ini, masyarakat khususnya kaum muda sedang menggandrungi budaya thrifting impor. Pelbagai toko-toko thrifting terus bermunculan baik toko konvensional maupun online shop. Bahkan, mal-mal besar di pelbagai daerah kerapkali menggelar pameran thrift impor secara besar-besaran dan mampu menarik banyak pembeli.
ADVERTISEMENT
Meskipun thrifting merupakan produk bekas namun sangat diminati para kaum muda karena menawarkan harga yang relatif murah dari merk produk terkenal dengan kualitas yang memuaskan. Kaum muda rela berdesak-desakan dan menunggu antrean panjang demi bisa mendapatkan barang thrifting tersebut.
Namun, meskipun thrifting memberikan keuntungan karena harganya yang murah dan berkualitas bagus, menjamurnya budaya thrifting tersebut tidak bisa diabaikan begitu saja. Meningkatnya daya tarik masyarakat terhadap produk thrifting impor tentunya akan berdampak buruk bagi eksistensi produk pakaian lokal.
Sebelumnya, pemerintah telah melarang perdagangan pakaian bekas impor nasional yang diatur dalam Pasal 47 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2014 tentang perdagangan dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M-Dag/Per/7/2015 Tahun 2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas. Larangan impor pakaian bekas tersebut sebagai bentuk usaha pemerintah dalam memberikan perlindungan kesehatan masyarakat dan untuk melindungi kepentingan konsumen.
ADVERTISEMENT
Namun, meskipun terdapat larangan tersebut, budaya thrift impor dewasa ini justru semakin menjamur. Di tahun 2019, Kementerian Perdagangan RI berhasil mengamankan 551 bal pakaian bekas impor yang akan dijual kepada konsumen di daerah Bandung. Tak tanggung-tanggung, nilai pakaian bekas yang diamankan tersebut ditaksir mencapai Rp 4 sampai 5 miliar. Kemudian, di tahun 2020 Dirjen Bea dan Cukai juga berhasil mengamankan 874 ballpress pakaian bekas yang diangkut oleh 8 truk tronton. Hal tersebut menjadi bukti bahwa fenomena thrift impor justru melonjak walaupun telah dilarang.
Menjamurnya budaya thrift tersebut akan menyebabkan minat masyarakat terhadap produk pakaian lokal semakin anjlok. Selama ini, masyarakat bermindset “ada yang murah dan bagus kenapa enggak”. Nah, mindset tersebut yang mendorong masyarakat beralih menyukai produk thrift. Sehingga, keberadaan produk pakaian lokal semakin tercekik.
ADVERTISEMENT
Sepinya peminat terhadap produk pakaian lokal akan menjadi ancaman serius bagi industri garmen dalam negeri yakni, terpuruk dan kesulitan untuk berkembang bahkan, ancaman yang paling buruk yakni, gulung tikar. Padahal, faktanya saat ini sudah banyak produk lokal yang kualitasnya lebih unggul daripada produk impor. Tidak sedikit juga produk pakaian lokal yang mendunia. Namun, fakta tersebut tidak mampu menekan minat masyarakat terhadap produk luar negeri khususnya thrift.
Oleh karena itu, agar produk lokal tidak tergerus oleh keberadaan produk thrift impor dan mampu berkiprah di dunia internasional pemerintah harus berupaya untuk membatasi mobilitas thrift impor dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mencintai produk pakaian lokal. Di lain sisi, industri garmen dalam negeri juga harus terus meningkatkan inovasi dan kreativitas dalam memproduksi pakaian sebagai upaya untuk menarik minat masyarakat agar tidak lagi menggandrungi produk pakaian impor.
gambar diambil dari : unplash