Keadilan Restoratif pada Penanganan Tindak Pidana Narkoba

Nia Febriana
Dokter gigi yg bekerja sebagai PNS di Deputi Bidang Rehabilitasi, Badan Narkotika Nasional.
Konten dari Pengguna
10 Oktober 2021 13:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nia Febriana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi orang yang di penjara. Sumber: freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi orang yang di penjara. Sumber: freepik.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sore itu, seperti biasa saya menelepon Ibu saya yang berada di kampung halaman. Sejak memutuskan merantau 12 tahun silam di Ibu kota negara, saya selalu mengusahakan agar menelepon Ibu dan ayah setiap hari, sekadar menanyakan kabar dan kegiatannya hari itu. Setelah menanyakan kabar masing-masing, Ibu bercerita tentang peristiwa yang dialaminya di pagi hari tadi.
ADVERTISEMENT
Ibu bercerita saat sedang mengajar senam lansia di taman dekat perumahan tempat tinggalnya, terjadi pencopetan oleh serorang anak laki-laki berusia 9 tahun. Korban pencopetan itu adalah nenek-nenek salah satu murid senam Ibu, yang memang semuanya adalah lansia. Karena kondisi saat itu ramai banyak orang, maka dengan mudah si pelaku tertangkap oleh seorang bapak penjual kopi di sana.
Segera si anak diamankan oleh orang-orang yang ada di sana. Banyak orang geram dengan kelakuan si anak, karena masih kecil sudah berani melakukan tindak kriminal.
Setelah dilakukan inteograsi oleh beberapa orang di tempat kejadian, barulah diketahui alasan anak tersebut mencopet. Ayahnya telah meninggal karena terkena COVID-19. Sedangkan ibunya saat ini yang biasanya bekerja serabutan, sedang sakit dan tidak ada biaya untuk berobat. Ia dan adiknya sudah dua hari ini belum makan, sehingga ia terpaksa mencopet untuk membeli makanan dan obat untuk ibunya.
ADVERTISEMENT
Korban dan orang-orang yang berada di sana yang awalnya merasa marah, akhirnya berubah menjadi iba dan kasihan dengan kondisi malang yang dialami pelaku. Apalagi anak itu sangat menunjukkan penyesalannya.
Setelah diadakan musyawarah yang melibatkan pelaku, korban, dan masyarkat, maka disepakati bahwa korban memaafkan tindakan pelaku dan tidak akan dilanjutkan ke pengadilan. Pelaku mengembalikan dompet kepada korban, meminta maaf dengan tulus, dan benjanji tidak akan mengulangi kejadian tersebut.
Cerita tersebut mengingatkan saya pada konsep keadilan restoratif. Keadilan restoratif ini sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala, bahkan tertuang dalam kitab suci agama Islam yang mengenal istilah ishlah (perdamaian) dan diyat (pembayaran ganti rugi). Selain itu, konsep keadilan restoratif telah dijalankan oleh berbagai negara sejak berabad-abad tahun silam.
ADVERTISEMENT
Keadilan restoratif
Dalam kasus hukum pidana, pelaku suatu perbuatan yang melanggar hukum dan mengakibatkan kerugian maupun mengganggu kepentingan orang lain, perlu dijatuhi hukuman. Hukuman yang dijatuhkan berupa retribution (pembalasan), yang dituntut oleh negara yaitu jaksa, mewakili korban. Hukuman yang diberikan selain bertujuan untuk pembalasan, juga untuk melindungi masyarakat agar pelaku tindak pidana tidak lagi merugikan orang lain, memberikan efek jera bagi pelaku dan merehabilitasi pelaku agar menjadi orang yang lebih baik.
Pada paradigma keadilan retribution, maka fokus penyelesaian perkara adalah dengan menghukum pelaku kejahatan. Namun kerugian yang diderita oleh korban belum dapat dipulihkan. Sehingga perlu dilakukan perbaikan hubungan antara pelaku dan korban serta lingkungan masyarakat, untuk mencari penyelesaian yang adil dan memulihkan keadaan seperti semula melalui keadilan restoratif.
ADVERTISEMENT
Keadilan restoratif merupakan penanganan tindak pidana yang menekankan pemulihan kembali dan mengakomodir norma nilai yang berlaku dalam masyarakat, sebagai upaya memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Di Indonesia keadilan restoratif atau disebut juga dengan restorative justice dikenal dalam penanganan kasus pidana yang melibatkan anak sebagai pelaku dan tindak pidana ringan.
Keadilan restoratif pada tindak pidana narkoba
Saat ini, perkara narkoba dapat diselesaikan berdasarkan keadilan restoratif, sesuai dengan Peraturan Kepolisian RI Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Hal ini merupakan babak baru dalam penanganan perkara narkoba di Indonesia.
Seperti kasus yang dialami oleh Bona. Bona yang seorang pecandu sabu-sabu, ditangkap oleh petugas BNN di kostnya saat mengkonsumsi sabu-sabu bersama seorang rekannya. Pada saat tertangkap, terdapat bukti peralatan untuk menghisap sabu-sabu, dan sebungkus plastik berisi sabu-sabu dengan berat 0,5 gram. Hasil pemeriksaan urine, menunjukkan hasil yang positif.
ADVERTISEMENT
Bona telah melanggar aturan hukum pidana narkotika dengan menyimpan dan menguasai narkoba jenis sabu-sabu. Namun dari segi jumlah barang bukti yang ditemukan, sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 4 tahun 2010 maka masih termasuk batas penggunaan sehari, yaitu kurang dari 1 gram.
Hasil penyelidikan dan penyidikan, Bona tidak terkait dengan jaringan peredaran gelap narkoba. Dan hasil penilaian oleh tim asesmen terpadu, menyatakan bahwa Bona telah kecanduan shabu. Oleh karena itu, diputuskan bahwa Bona dijatuhi hukuman rehabilitasi pada lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah.
Kasus Bona merupakan contoh implementasi penanganan kasus narkoba berdasarkan keadilan restoratif. Bona sebagai pelaku tindak pidana juga sekaligus sebagai korban, sehingga perlu dilakukan pemulihan terhadap Bona agar dapat kembali seperti semula. Pemulihan yang dilakukan dengan melakukan upaya terapi dan rehabilitasi penyalahgunaan narkoba.
ADVERTISEMENT
Kasus penyalahgunaan narkoba dapat diselesaikan berdasarkan keadilan restoratif jika memenuhi persyaratan umum dan khusus. Persyaratan khusus tersebut meliputi:
Pertama, berlaku bagi pecandu narkoba dan korban penyalahgunaan narkoba yang telah mengajukan permohonan rehabilitasi.
Kedua, pada saat tertangkap tangan ditemukan barang bukti narkoba pemakaian satu hari, sesuai dengan ketentuan SEMA nomor 4 tahun 2010, atau hasil test urine menunjukkan positif narkoba.
Ketiga, tidak terlibat jaringan peredaran gelap narkoba, pengedar maupun bandar.
Keempat, telah dilaksanakan penilaian oleh tim asesmen terpadu secara medis dan psikososial atas permintaan penyidik. Hasil penilaian berupa rekomendasi yang menjadi bahan pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara narkoba.
Kelima, pelaku bersedia bekerja sama dengan penyidik dalam penyelidikan lanjutan.
Dalam pelaksanaan peraturan tersebut tentunya memerlukan monitoring dan pengawasan yang ketat baik dari internal maupun dari eksternal lembaga. Tujuannya agar proses penyidikan dan penyelidikan tetap sesuai dengan esensi dari keadilan restoratif. Selain itu, memberikan kepastian hukum bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkoba untuk mendapatkan haknya dalam memperoleh perawatan guna mengembalikan keadaan seperti semula, yaitu dengan menjalani terapi melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
ADVERTISEMENT