Malaka, Kota Indah Bersejarah yang Layak Dirindu

Fathurrohman
Analis Kejahatan Narkotika, Penulis Cerita Perjalanan, ASN di BNN.
Konten dari Pengguna
22 Januari 2024 13:46 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ucapan Selamat Datang di Kota Melaka. Foto: dokumen pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Ucapan Selamat Datang di Kota Melaka. Foto: dokumen pribadi.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Salah satu destinasi wisata utama di Malaysia adalah Malaka, kota indah yang penuh nilai sejarah dan bertalian erat dengan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Setelah selesai sarapan Nasi Lemak yang dibeli di dekat penginapan di kawasan KL Sentral, kami memesan kendaraan melalui salah satu platform perjalanan. Tujuannya adalah Terminal Bersepadu Selatan (TBS) untuk bisa menggapai bus yang akan mengantarkan kami ke Kota Malaka.
Kami akhirnya tiba di TBS. Terminal yang rapih, teratur, dan informatif. Terminal besar ini mengakomodir pelancong seperti kami untuk bepergian ke berbagai kota, termasuk ke Singapura jika mau.
Perjalanan dari TBS ke Melaka Sentral memakan waktu sekitar 3 jam. Tampak seperti Jakarta – Bandung. Setelah melihat berbagai detail Malaysia selama perjalanan, kami tidak berdaya untuk terus memicingkan mata.
Hingga tibalah kami di terminal bus Melaka Sentral. Terminal ini lebih sepi dibandingkan dengan TBS. Selepas memesan tiket bus Panorama Melaka jurusan Ujong Pasir, kami bercengkrama dengan anak-anak. Mencoba memecah kejenuhan perjalanan.
ADVERTISEMENT
Bus Panorama yang mirip TransJakarta ini akhirnya melaju. Bus berhenti di halte-halte sesuai dengan yang tertera di rute perjalanan bus. Sementara tujuan kami adalah Bangunan Merah. Soal perjalanan ini, istri saya yang mengaturnya.
Tibalah kami di area di mana bangunan-bangunan berwarna merah. Ini adalah pusat Kota Malaka atau Kota Melaka, atau juga dikenal dengan sebutan Melaka Bandaraya Bersejarah.
Mata saya langsung menuju ujung kali yang berada di sisi sebelah kanan arah bus yang kami tumpangi. Ujung kali tersebut adalah pelabuhan. Artinya, di sanalah Selat Malaka berada. Selat yang menjadi pusat aktivitas perdagangan sekaligus area peperangan yang tidak berkesudahan.
Sungai Melaka. Akses langsung ke Selat Malak. Foto: dokumen pribadi.
Beragam kerajaan atau kesultanan, penjelajah dari Timur dan Barat, hingga kehidupan nelayan dan perompak bergemintang di selat ini. Sampai hari ini, selat yang memisahkan Pulau Sumatera dan jajarannya di Indonesia dengan Semenanjung Malaysia ini masih menjadi area penyelundupan, terutama narkoba.
ADVERTISEMENT
Kota eksotik yang dahulunya adalah kampung nelayan semata ini kemudian beralih menjadi sebuah kerajaan besar. Pendiri Kerajaan Malaka adalah Parameswara, seorang pangeran Hindu keturunan Palembang.
Dia melarikan diri dari Sumatera Selatan atas serangan Kerajaan Majapahit yang berpusat di tanah Jawa. Pangeran Parameswara kemudian memilih Islam sebagai agamanya dan menjadikan Kerajaan Melaka sebagai kerjaan Islam.
Setelah lebih dari satu abad berkuasa, kerajaan melemah dan serangan Portugis mengambil alih pusat kota kerajaan.
Kami berkeliling dari satu bangunan ke bangunan lain. Sorotan panas matahari membuat kami berteduh di pinggiran sungai Melaka. Kami menikmati es semangka yang diblender langsung di buahnya, khas sekali.
Kami juga tidak luput mencicip samosa ayam yang harus kami pesan ulang karena ternyata cocok di lidah. Kapal di sungai Melaka yang dikenal sebagai wahana Melaka River Cruise tampak wara-wiri mengangkut penumpang menyusuri sungai dengan pemandangan rumah-rumah kuno.
Wisatawan sedang menikmati jajanan di pinggir Sungai Melaka. Foto: dokumen pribadi.
Setelah cukup pulih, kami melanjutkan menikmati titik-titik spot di sisi yang berbeda dari Sungai Melaka ini sambil membayangkan era kerajaan yang saling berperang di tengah laut. Terbayang juga saat pasukan penjajah Portugis, Alfonso de Albuqueque memimpin penakulan Kesultanan Melaka.
ADVERTISEMENT
Kami juga menyaksikan bangunan sisa bangunan benteng A Famosa yang dibangun oleh Albuqueque sebagai cara menghalau penakluk melalui Selat Malaka ini.
Dari Melaka inilah, penjelajah laut tersebut melanjutkan penaklukannya di Indonesia yang dimulai dari Maluku. Tujuannya adalah menguasai pasar rempah-rempah.
Kemudian kami menyusuri tangga menuju bangunan gereja tertua di Asia Tenggara, Gereja Santo Paulus yang dibangun pada tahun 1521. Gereja ini dikelola berdasarkan penjajah yang berkuasa pada saat itu, Portugis, Belanda, dan United Kingdom. Mereka memiliki aliran berbeda sehingga pengelolaan gereja juga berbeda-beda.
Salah satu sudut di area Gereja St. Paul, Melaka. Foto: dokumen pribadi.
Pada tahun 2008 Melaka dan George Town dinobatkan oleh UNESCO sebagai Kota Warisan Dunia (World Heritage) sehingga semua bangunan di daerah tersebut, termasuk area gereja yang berumur 500-an mendapat perhatian yang cukup dan masih eksis hingga kini.
ADVERTISEMENT
Setelah memandang Selat Melaka dari bukit St. Paul dengan puas, kami turun ke arah yang berbeda dari tempat kami naik. Kami susuri bangunan ke bangunan, bahkan menyusuri kampung-kampung untuk mencari masjid di perkampungan Melayu. Beragam jejak sejarah terpatri dengan kuat di kawasan bekas kerajaan ini.
Bangsa Melayu dengan kebesarannya adalah penguasa yang berwibawa pada masanya. Kekuasaannya yang menjelajah hingga ke India, Cina, dan Afrika adalah bukti kuatnya mental, budaya, dan karakter leluhur bangsa Melayu.
Indonesia yang memilki garis leluhur yang sama tentu memiliki ikatan batin sendiri. Di beberapa dialog yang kami lakukan dengan warga Malaysia, mereka menebak bahwa kami berasal dari Riau.
Riau, termasuk Kepulauan Riau, memang wilayah terdekat dari tanah Melaka ini. Rumpun mereka yang sesama Melayu menguatkan hubungan lahir dan batin.
Pemandangan Selat Melaka dari ketinggian. Di sanalah pertempuran pernah terjadi ratusan tahun lalu. Foto: dokumen pribadi.
Dari catatan sejarah, kerajaan Melaka ini memang bertalian erat dengan kerajaan-kerajaan di Sumatera seperti kerajaan Sriwijaya di Palembang atau Samudera Pasai di Aceh. Taliannya saling mengait, saling berkelindan.
ADVERTISEMENT
Selepas lelah dan tampak matahari sudah bergeser ke arah barat. Kami kembali ke terminal untuk balik ke tempat penginapan di kawasan KL Sentral.
Kami juga tidak luput untuk menjajaki makanan nasi rames dengan lauk lele goreng di terminal Melaka Sentral. Rasanya cocok untuk kami. Atau jangan-jangan karena kami rindu nasi pecel di Indonesia.
Yang pasti, saat anak-anak kami ternyata menilai Melaka ini adalah kota yang layak untuk dikunjungi kembali, dieksplorasi lebih lanjut. Eksotismenya telah membuat kami rindu, rindu dengan nilai sejarah yang bertalian dengan Indonesia.
Wisatawan yang berswafoto di area Gereja St. Paul. Foto: dokumen pribadi.