Bahaya Rem Darurat Anies

Fathin Robbani Sukmana
Penulis dan Pengamat Kebijakan Publik, Manajer Riset, Publikasi dan Media di Seknas LS-VINUS
Konten dari Pengguna
18 September 2020 16:30 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathin Robbani Sukmana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Kumparan.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pagi ini, saya terpaksa bersiap-siap untuk berangkat menuju Ibu kota Jakarta. Dengan perlengkapan masker, hand sanitizer, tas, buku bacaan, serta memakai baju panjang. Ya peraturan di KRL Commuter Line Indonesia mewajibkan seluruh penumpangnya untuk mengenakan pakaian lengan panjang.
ADVERTISEMENT
Saya berangkat menuju stasiun menggunakan sepeda motor. Setelah sampai stasiun, saya turun dan menuju Gate in. Seperti biasa petugas PT KCI sudah siap menerima calon penumpang dengan pengecekan suhu tubuh. Setelah diperlihatkan suhu tubuh saya, saya berlari menuju peron.
Tak lama, KRL tujuan Jakarta Kota via Stasiun Manggarai itu pun datang. Semua penumpang bersiap dan berbaris dengan rapi. Setelah semua penumpang masuk, akhirnya KRL kembali melakukan perjalanan menuju Stasiun Jakarta Kota.
Seperti biasa, jika naik KRL arah Jakarta Kota saya selalu berdiri dari sebelum COVID-19 menyerang dunia hingga saat ini. Walaupun demikian banyak juga penumpang lain yang berdiri. Ya itu dilakukan karena harus mengadu nasib di Jakarta. Bukan mengadu teman ataupun adu domba hehe.
ADVERTISEMENT
Saat saya menulis artikel ini. Ternyata KRL sudah berangkat dari Stasiun Bekasi, petugas pun memberikan edukasi jika terjadi hal darurat di dalam KRL, mulai dari melaporkan ke petugas hingga prosedur penyelamatan.
Saya mendengarkan dengan seksama imbauan petugas dan saya yakin penumpang lain pun demikian. Setelah mendengarkan petugas. Mata saya menemukan tulisan yang cukup viral saat ini, yaitu Emergency Brake atau rem darurat.
Tuas tersebut biasanya ada di dekat pintu sambungan di kanan atas kereta. Tuas tersebut berwarna merah dan juga mudah untuk dibuka. Melihat tuas tersebut saya jadi teringat kecelakaan KRL di Bogor.
Pada tahun 2009, ada kecelakaan KRL ekonomi yang “diseruduk” oleh KRL Pakuan Ekspress, ya pada saat itu masih menggunakan sistem KRL Ekonomi dan Ekspress, serta masih banyak penumpang yang berdiri di KRL ekonomi.
ADVERTISEMENT
Awal kronologisnya seperti ini, masinis KRL ekonomi menjalankan KRLnya ada pukul 10.19, KRL ekonomi bernomor 549 itu berjalan menuju Jakarta, namun belum lama berjalan. KRL tiba-tiba berhenti pukul 10.25 di Kelurahan Kebon Pedes, Kota Bogor.
Masinis melihat indikator rem berada di angka 0, normalnya indikator tersebut berada di angka 5, padahal sang masinis tidak sedang menarik tuas rem. Sang masinis menduga ada penumpang jahil yang menarik tuas rem darurat di dalam kereta.
Ia pun langsung melakukan Standar Operasional Prosedur, mengaktifkan Parking Brake dan juga memasang Stop Block untuk mencegah KRL tergelincir serta memastikan KRL tetap pada posisinya.
Saat ia akan menghubungi petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA) Stasiun Bogor, ternyata ada kendala teknis, dan braaak, tabrakan keras antar KRL ekonomi dan KRL Pakuan Ekspress serta teriakan penumpang tidak dapat terhindarkan.
ADVERTISEMENT
Ada dugaan, KRL Pakuan Ekspress melanggar sinyal merah lalu menabrak KRL ekonomi, dan dari kecelakaan tersebut. Ada satu korban jiwa yaitu asisten masinis KRL Pakuan Ekspress, dan beberapa penumpang luka-luka.
Ilustrasi Anies Baswedan. Foto: Indra Fauzi/kumparan
***
Saat ini, penarikan rem darurat juga dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, tentu hal tersebut di lakukan secara sengaja dan diumumkan secara resmi. Berbeda dengan kasus 2009 lampau yang dilakukan tidak sengaja sehingga menimbulkan kecelakaan.
Saya membayangkan begini. Gubernur DKI Jakarta adalah masinis dari kereta yang bernama Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Pusat adalah Pengatur Perjalanan Kereta Api, sedangkan Kepala Daerah Bodetabek adalah masinis kereta di belakang Provinsi DKI Jakarta.
Awal terjadinya COVID-19, DKI Jakarta yang mengawali PSBB dan diberi sinyal hijau oleh Pemerintah Pusat, sehingga semua daerah termasuk Bodetabek mengikutinya dan melaksanakan sesuai dengan instruksi Pemerintah Pusat.
ADVERTISEMENT
Lalu Gubernur DKI Jakarta menjalankan keretanya menuju PSBB transisi, diikuti oleh Kepala Daerah di belakangnya. Tempat bekerja dibuka, lalu destinasi wisata ikut dibuka, terakhir adalah Mal dibuka untuk umum.
Tentu semua tempat tersebut dibuka dengan protokol kesehatan yang ketat. Mulai dari peraturan yang mewajibkan memakai masker hingga wajib tersedianya peralatan kesehatan seperti tempat cuci tangan dan juga pengecekan suhu tubuh.
Setelah DKI Jakarta melakukan PSBB, semua daerah di Bodetabek mengikutinya. Perlahan geliat ekonomi mulai membaik. Namun di sisi lain, angka kasus positif di DKI Jakarta masih naik turun seperti kita melihat gelombang ombak di pantai.
Kemudian, beberapa hari yang lalu, Masinis Provinsi DKI Jakarta menarik tuas rem darurat. Saya tidak tahu apakah menarik tuas rem darurat tersebut melapor kepada Pemerintah Pusat sebagai Pengatur Perjalanan KA atau tidak.
ADVERTISEMENT
Yang jelas, dari penarikan emergency break itu menyebabkan Indeks Harga Saham Gabungan menurun dan juga membuat gelisah sebagian masyarakat yang mulai memperbaiki kehidupan dari sisi ekonominya.
Selain itu, jika betul penarikan tuas rem darurat tidak berkoordinasi dengan pemerintah pusat dan kepala daerah sekitar DKI. Maka saya yakin perlahan tabrakan antar kereta pun tidak dapat terhindarkan.
Mengapa demikian? Ini disebabkan semua daerah penyangga DKI belum mau menarik tuas rem mereka agar kereta yang mereka bawa berhenti. Apalagi ini berurusan dengan ekonomi yang akan semakin jatuh jika tetap menarik tuas rem.
Jika dibiarkan maka kecelakaan beruntun kereta akan terjadi, karena DKI tidak berkoordinasi dengan pemerintah pusat dan juga kereta listrik lain di belakangnya yaitu daerah Bodebek.
ADVERTISEMENT
Apa dampaknya? Tentu dari banyak hal seperti sisi ekonomi yang akan terus melemah, lalu sisi sosial pun akan terkena dampaknya. Yang lebih parah jika daerah lain tidak menarik tuas remnya, kasus positif pastinya akan meningkat drastis.
Dampak yang sangat besar bagi masyarakat jika Masinis Provinsi DKI Jakarta menarik tuas rem darurat tanpa berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat, ya pasti akan lebih parah dari kecelakaan KRL di tahun 2009 silam.
Lalu apakah masinis DKI Jakarta akan tetap menarik tuas rem daruratnya tanpa persetujuan PPKA dan juga Kereta di belakangnya? Atau akan berjalan perlahan untuk menghindari dampak kecelakaan yang lebih besar?
Fathin Robbani Sukmana, Mahasiswa Sosiologi Universitas Terbuka