M. Natsir dan Warisan Pemikirannya

FATA AZMI
Guru Sekolah Dasar, Fasilitator Kelas Peradaban, Mahasiswa Magister Aqidah dan Filsafat Islam Pascasarjana STFI SADRA,
Konten dari Pengguna
7 Februari 2024 7:12 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari FATA AZMI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Arsip Nasional Republik Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Arsip Nasional Republik Indonesia
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemimpin bukanlah semata-mata hasil dari keajaiban atau seperti lampu Aladin yang dapat mengabulkan setiap keinginan dengan sekali gesek. Pandangan ini tercermin dalam pemikiran M. Natsir, seorang tokoh politik dan cendekiawan Indonesia yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri pada tahun 1950-1951. Menurut Natsir, kepemimpinan adalah hasil dari sebuah perjalanan panjang dan pergulatan sejarah yang membentuk karakter dan kemampuan seseorang untuk mengemban tanggung jawab sebagai pemimpin.
ADVERTISEMENT
Kepemimpinan Natsir mencerminkan warisan intelektual dan moral yang masih relevan untuk generasi sekarang. Dalam konteks kehidupan politik, Natsir menekankan bahwa kepemimpinan bukanlah hasil dari keberuntungan semata, melainkan akumulasi pengalaman dan perjuangan panjang. Bagi Natsir, karakter seorang pemimpin tidak hanya dibentuk oleh kecakapan teknis atau kecerdasan semata, tetapi juga oleh nilai-nilai moral dan dedikasi terhadap kepentingan rakyat.
Dalam era demokrasi, konsep kepemimpinan demokratis yang dipegang oleh Natsir menjadi landasan penting. Meskipun masyarakat memiliki perbedaan ideologi dan pandangan, Natsir mengajarkan bahwa hubungan personal harus dijaga. Keberagaman dan perbedaan merupakan bagian alami dari sebuah negara demokratis, dan pemimpin harus mampu mengelola perbedaan tersebut dengan bijak.
Pemikiran Natsir tentang Mosi Integral mencerminkan upaya untuk membangun persatuan dan kesatuan di tengah-tengah perbedaan. Melalui pendekatan ini, Natsir menunjukkan bahwa dialog dan konsensus adalah kunci untuk mengatasi perpecahan dan konflik. Mosi Integral tidak hanya sekadar sebuah konsep, tetapi implementasi nyata dari usaha untuk mencapai keselarasan dalam kerangka demokrasi.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah artikel yang ditulisnya dengan judul "Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut," menjadi peringatan akan bahaya stagnasi dan kehilangan semangat dalam membangun bangsa. Natsir dengan lugas menggambarkan penyakit sosial yang muncul pasca kemerdekaan, di mana serakah dan kurangnya semangat untuk berkontribusi menjadi ancaman serius. Pesannya jelas: perjuangan untuk membangun bangsa tidak pernah berakhir, dan keberhasilan hanya dapat dicapai melalui dedikasi, kerja keras, dan semangat juang yang tinggi.
Dalam menghadapi tantangan zaman, Natsir memotivasi agar bangsa tidak berhenti "mendayung." Gaya bahasanya yang puitis memberikan gambaran kuat tentang perjuangan yang harus terus dilakukan. Analogi yang diberikan tentang berada di tengah arus dan mencapai tepi pantai menggambarkan perjalanan panjang menuju cita-cita, di mana keberhentian hanya akan membawa kita kembali ke tengah arus yang deras dan akhirnya akan menenggelamkan kita semua.
ADVERTISEMENT
Dengan penuh kebijaksanaan, Natsir memberikan warisan berharga tentang arti sejati kepemimpinan dan perjuangan dalam membangun sebuah negara demokratis. Pesannya menjadi cahaya yang memandu kita dalam menghadapi tantangan zaman, mari kita terus meneruskan perjuangan untuk menjaga dan memperkuat fondasi demokrasi, sehingga kita dapat bersama-sama melangkah menuju masa depan yang lebih cerah dan adil bukan sebaliknya memporak-porandakan keharmonisan bernegara hanya demi kepentingan dan kekuasaan sesaat.