Peran Media Sosial X dalam Perjuangan Melawan Kekerasan Terhadap Perempuan

Farida Nur'aini
Mahasiswa program studi Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
29 April 2024 8:57 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farida Nur'aini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kekerasan Perempuan (sumber: https://pixabay.com/id/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kekerasan Perempuan (sumber: https://pixabay.com/id/)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dengan adanya digital yang terus mengalami perkembang, media sosial telah menjadi tempat utama bagi orang-orang untuk berinteraksi, berbagi pengalaman, dan terlibat dalam komunikasi online. Seiring dengan kemajuan masyarakat yang semakin mengandalkan teknologi, banyak aktivitas seperti pembelajaran, pekerjaan, dan lainnya dapat dilakukan secara digital melalui media sosial. Namun, dengan segala kemudahan yang ditawarkan oleh platform-platform media sosial, kita juga dihadapkan pada tantangan serius, termasuk meningkatnya kejahatan di dunia maya seperti hacking, pencemaran nama baik, dan penyebaran konten yang melanggar nilai-nilai moral, seperti penyebaran foto atau video pornografi. Fenomena ini, terutama masalah pornografi dan revenge porn yang biasa kita kenal dengan "pornografi balas dendam," telah menjadi semakin meresahkan di dunia maya, mengancam keamanan dan integritas individu.
ADVERTISEMENT
Seperti yang kita tahu, pornografi balas dendam ini biasanya menampilkan seseorang dalam keadaan telanjang atau melakukan aktivitas seksual, kemudian disebar tanpa izin atau persetujuan mereka. Tujuan dari pelaku melakukan penyebaran tersebut tidak lain dan bukan adalah sebuah upaya untuk merusak reputasi dari korban.
Dalam pembuatan artikel ini, penulis akan mengangkat kasus revenge porn dan membantu korban menyuarakan keadilannya, kasus tersebut sedang ramai diperbincangkan pada suatu platform media sosial yaitu X atau dulunya disebut dengan Twitter.
Pada tanggal 25 April 2022, seorang pemilik @putascuffed memulai thread atau utasnya di X yang menyebutkan bahwa telah terjadi kekerasan dan ancaman penyebaran foto asusila korban yang dilakukan oleh seorang Dj atau Produser Musik yang biasa dikenal dengan nama East Blake.
ADVERTISEMENT
Kronologi dari kasus tersebut bermula ketika Aulia Rahmi Putri (korban) ingin mengakhiri hubungannya dengan East Blake (pelaku) karena sudah lelah kerap kali diselingkuhi, sampai mendapat kekerasan fisik. Tidak terima dengan hal tersebut, pelaku mengancam akan menyebarkan foto asusila korban yang diambil oleh pelaku secara diam-diam.
Kekerasan fisik yang dilakukan oleh East Blake (pelaku) juga dibuktikan dengan terlihatnya beberapa lebam pada kepala dan bahu koban dari foto yang dikirimkan korban dalam utas tersebut.
Tidak hanya kekerasan fisik dan ancaman, pelaku juga mengancam korban dengan parang apabila korban berani melaporkan hal tersebut.
Ilustrasi Kekerasan Perempuan (sumber: https://pixabay.com/id/)
Kemudian tanggal 20 April 2024 pukul 19.34 WIB, pelaku yang bernama Ahmad Risaldi Suat (East Blake) telah dilaporkan atas kasus Tindak Pidana Kejahatan Pornografi dengan laporan kepolisian bernomor LP/B/2129/IV/2024/SPKT/POLDA METRO JAYA, ia dilaporkan dengan dugaan pelanggaran Tindak Pidana Kejahatan Pornografi UU nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi sebagaimana Pasal 4 Ayat 1 E.
ADVERTISEMENT
Dan kabar terbaru pada utas X @putascuffed tanggal 26 April 2024 diberitahukan bahwa korban sudah dihubungi Komnas Perempuan untuk mendapat pendampingan dalam mencari jalan terang kasus ini. Kasus ini masih berlangsung dan sudah ditangani oleh pihak berwajib.
Mengenai UU nomor 44 Tahun 2008 Pasal 4 Ayat 1 E sebagaimana yang telah disebutkan, penjelasan dari pasal ini adalah sebagai berikut:
“Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; atau f. pornografi anak.”
Jadi, jika ada pria atau wanita yang melakukan pengambilan gambar atau perekaman hubungan seksual mereka persetujuan (consent) maka pembuatan video pornografi tersebut telah melanggar Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi.
ADVERTISEMENT
Untuk pelanggar dari Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi dapat dipidana penjara minimal 6 bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250 juta dan paling banyak Rp6 miliar.
Farida Nur'aini, mahasiswa Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta