Otot Komplain vs Otot Syukur

Fajar Widi
Mantan wartawan yang jatuh cinta pada bisnis/ marketing. Pernah viral di internet karena mahar nikah 1 Bitcoin.
Konten dari Pengguna
8 Januari 2019 17:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fajar Widi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Memasuki tahun 2019, saya mendapatkan pemahaman baru soal otot. Kali ini saya tidak akan ngomongin otot yang digunakan untuk memperbaiki bentuk tubuh. Itu sudah so yesterday.
ADVERTISEMENT
2018 lalu boleh dibilang saya memang lebih berfokus ke pengembangan fisik (ikut gym, basket, keto diet). Hasilnya pun bisa dilihat di instagram saya.
2019 ini saya bakal lebih berfokus ke kesehatan pikiran. Sebenarnya ini bukan hal baru bagi saya.
Saya dan mas Adjie ini sebenarnya sama-sama orang Jogja. Namun kita baru ketemu di kelas kumparan yang membicarakan masalah kesehatan pikiran. Mas Adjie kala itu sempat memberi saya sebuah buku yang cukup apik berjudul "Merawat Bahagia"
Soal apa itu konsep mindfulness mungkin tidak akan saya bahas sekarang. Sepertinya terlalu berat jika di awal tahun sudah membicarakan konsep ilmu seperti ini.
ADVERTISEMENT
Nah, sebagai gantinya saya akan mempersimpel pemahaman mindfulness dengan memahami dua otot dalam diri kita dulu. Namanya otot syukur dan otot komplain.
Sejujurnya saya agak malu menulis ini. Saya yang baru belajar di universitas kehidupan ini masih memiliki rasio 70:30 untuk otot komplain. Artinya dalam satu hari 70 persen waktu saya gunakan untuk komplain.
ADVERTISEMENT
Agaknya ini yang bakal saya perbaiki di 2019.
Jika berada di lingkungan startup biz salah satu challenge terbesarnya adalah berdamai dengan diri sendiri. Anda mungkin bisa lihat secara tampilan UI saya orangnya memang kalem. Tetapi sejatinya saya adalah seorang yang sangat pushy dan perfeksionis.
Jika ada sesuatu yang tidak beres saya akan terus nge-push pekerjaan atau orang tersebut. Secara tidak sadar ini akan membuat otot komplain saya produktif. Jika tidak dimaintain dengan baik dan benar ini tidak bagus bagi kesehatan pikiran kita. Bisa-bisa kita kena stroke.
Lantas bagaimana solusinya?
Dalam buku Merawat Bahagia yang ditulis mas Adjie, kita senantiasa diingatkan untuk selalu bersyukur pada hal-hal yang kecil. Kuncinya ada di pikiran kita sendiri.
ADVERTISEMENT
Pikiran kita menjadi demikian lemah dan mudah mengembara sehingga kita menjadi tidak fokus dan lupa mensyukuri nikmat dan napas yang dihadirkan Tuhan.
Kita juga sering menyesali atas apa yang sudah terjadi dan khawatir akan apa yang akan terjadi di masa depan. Alhasil tiap hari kita terjebak pada fase "ketidakbahagiaan".
Setiap waktu kita terkungkung oleh pikiran yang sakit. Setiap waktu proses pengambilan keputusan kita terjerat denga ketidakwarasan jiwa.
2019 ini yang jelas saya ingin menata kembali alam pikiran yang stres dan lari ke sana-ke mari. Saatnya menuju hidup yang lebih sehat, waras, serta bahagia. Merawat bahagia adalah buku yang mengajak kita untuk lebih memahami hal-hal esensial yang sering kita lupakan.
ADVERTISEMENT