Kotak Kosong dan Kemerosotan Sistem Demokrasi

faiz azmi
Gender Study Enthusiast
Konten dari Pengguna
24 Oktober 2020 21:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari faiz azmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pilkada Foto: Embong Salampessy/Antara
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pilkada Foto: Embong Salampessy/Antara
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Covid-19 telah menghentikan segala macam kegiatan. Terhitung sejak bulan maret 2020 seluruh aktivitas mulai mati total, namun ironisnya Pilkada akan tetap berjalan. Keputusan ini pun menuai banyak perdebatan, pemerintah dianggap sejumlah pihak nekat dan seolah-olah mengesampingkan kesehatan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pelaporan catatan satgas Covid-19 menunjukkan setiap harinya selalu terjadi peningkatan angka penyebaran virus. Sedangakan, pelaksanaan Pilkada sarat dengan aktivitas yang menghadirkan kerumunan orang dan memungkinkan menjadi cluster baru. Peringatan bahaya Pilkada dalam era Covid ini telah terlihat pada awal pendaftaran, dari data yang dirilis oleh KPU terdapat 59 orang calon kepala daerah yang terinfeksi virus.
Penyelenggaraan Pilkada serentak di era pandemi ini pun mendapatkan kecaman dari berbagai pihak. Ego Primayogha peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan bahwa selain Pilkada akan menimbulkan kerumunan orang dan berisiko pemaparan virus yang tinggi, ia juga menjelaskan bahwa praktik kecurangan dalam Pilkada juga akan rawan terjadi serta partisipasi masyarakat akan menurun.
Prediksi penurunan partisipasi dalam Pilkada menunjukkan cacatnya sistem demokrasi. Seharusnya dalam demokrasi, ada nilai-nilai partisipatif dan kedaulatan yang dijunjung tinggi dan harus dijalankan oleh seluruh warga negara dan instrumen negara baik pada level legislatif, yudikatif maupun eksekutif.
ADVERTISEMENT

Kemunculan Calon Tunggal

Sebuah negara dianggap demokratis atau tidak, tercermin dalam kompetisi, partisipasi, serta kebebasan di negara tersebut. Menurut joseph Schumpeter seorang ekonom Amerika-Australia dan ilmuwan politik mengemukakan bahwa, nilai dari demokrasi adalah masyarakat yang memiliki kesempatan untuk menerima maupun menolak orang yang akan memimpin mereka.
Peverill Squire menjelaskan dengan memberikan contoh di Amerika, perpaduan dari modal finansial yang kuat pada calon pertahanan serta tingkat elektabilitas yang tinggi, memunculkan apa yang dinamakan scare-off effect, yaitu sebuah kondisi di mana kandidat di luar petahana memutuskan untuk tidak ikut berkompetisi dalam pemilihan dikarenakan mereka telah beranggapan dengan hasil yang akan kalah.
John Sidel menemukan beberapa kasus penelitiannya di Filipina. Di Filipina, terdapat beberapa faktor lain yang mendorong munculnya calon tunggal, yaitu dominasi klan lokal serta munculnya bossism yang dapat menjadikan seorang kandidat tidak tertandingi, memberikan keuntungan dan dominasi pada sumber-sumber politik lokal serta kekuatan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks Indonesia, dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pemilihan yang hanya diikuti satu pasang calon dapat dilaksanakan dengan beberapa syarat. Salah satunya adalah apabila setelah dilakukan penundaan dan sampai dengan berakhirnya masa perpanjangan pendaftaran hanya terdapat satu pasangan calon yang mendaftar, maka dilanjutkan ke tahapan verifikasi sampai pasangan calon tersebut dinyatakan memenuhi syarat untuk maju dalam Pilkada.
Secara kuantitas Pilkada dengan calon tunggal mengalami kenaikan di setiap periodenya. Pilkada 2020 memunculkan tren baru yaitu maraknya daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon (Paslon). Meningkatnya jumlah pasangan calon tunggal dalam Pilkada di Indonesia menunjukkan kuatnya dominasi petahana dalam kontestasi lima tahunan.
Dari data 9 Provinsi, 224 Kabupaten dan 37 Kota setidaknya ada 21 paslon kepala daerah akan melawan kotak kosong pada Pilkada yang kan digelar pada bulan desember 2020 ini. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah Paslon tunggal akan selalu unggul melawan kotak kosong?
ADVERTISEMENT
Munculnya calon tunggal dalam Pilkada merupakan sebuah ancaman bagi pembangunan sistem demokrasi di negara ini. Situasi ini juga menjadi bukti adanya kemerosotan bagi demokrasi di Indonesia. Adanya calon tunggal ini pula menjadi bukti bahwa terdapat kegagalan internal pada partai politik dalam mencetak figure atau calon untuk mengikuti Pilkada.

Perlawanan Kotak Kosong

Dunia perpolitikan di Indonesia sempat dihebohkan pada Pilkada tahun 2018 di Makasar. Pasalnya pemilihan Wali Kota Makasar dimenangkan oleh suara yang diraih kotak kosong dan mengalahkan suara koalisi partai politik yang mengusung satu pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah. Dari Pilkada Makasar tersebut menunjukkan bahwa pasangan tunggal tidak harus terpilih.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi kiblat demokrasi. Perlawanan konstitusional atas kehadiran calon tunggal bisa dilakukan oleh masyarakat hanya dengan memilih kolom kosong pada surat suara. Di berbagai daerah misalnya, keberadaan kotak kosong diartikan sebagai konsekuensi dari keberadaan calon tunggal yang tidak sepenuhnya dipahami dan dikehendaki masyarakat.
ADVERTISEMENT
Studi mengenai Pilkada calon tunggal melawan kotak kosong ini telah dilakukan oleh Hikmania di tahun 2018 yang menghasilkan kesimpulan bahwa keseluruhan bangunan pelaksanaan Pilkada calon tunggal menerapkan dua jenis pemilu secara bersamaan, contested election dan uncontested election. Pembuat kebijakan ingin mendesain uncontested election tetapi keseluruhan regulasinya seolah-olah merupakan contested election, yaitu dengan menghadirkan kotak kosong sebagai “lawan”
Gugatan yang dilakukan oleh kelompok pendukung kotak kosong menunjukkan bahwa tata kelola pemilihan masih dimaknai sebatas pada penyelesaian administrasi pemilihan. Mekanisme kontestasi yang disiapkan tidak diimbangi dengan pelembagaan birokrasi penyelenggara pemilu dan badan peradilannya.

Kotak Kosong: Bukan Golput

Merujuk dari banyaknya daerah yang akan melaksanakan Pilkada dengan calon tunggal, Mekanisme pelaksanaan Pilkada dengan calon tunggal dan kotak kosong perlu disosialisasikan dengan baik. Pemilih harus mengerti bahwa memilih kotak kosong merupakan hal yang legal dan masih sah dilakukan apabila pemilih tidak setuju dengan calon tunggal.
ADVERTISEMENT
Dalam Pasal 54C ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota sudah mengatur bahwa Pemilihan dengan satu pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat dua kolom yang terdiri atas satu kolom yang memuat foto pasangan calon dan satu kolom kosong yang tidak bergambar. Apabila setuju dengan calon tunggal bia memilih calon tunggal tersebut. Sedangkan jika tidak setuju maka bisa memilih kolom kosong pada surat suara.
Masyarakat juga perlu paham apabila calon tunggal yang memiliki suara terbanyak dan menang, maka prosesnya akan berjalan sebagaimana mestinya. Namun, apabila kebalikannya apabila perolehan suara kotak kosong lebih banyak, sesuai Pasal 54D ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 bahwa pemilihan akan diulang pada berikutnya, pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT