Memaknai Kembali Politik Budaya Kuliner di Indonesia

Fadhlan A
International Relations Student at UPN Veteran Jakarta
Konten dari Pengguna
14 Juni 2022 13:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fadhlan A tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ragam Kuliner Indonesia (Sumber: Kemdikbud.go.id)
zoom-in-whitePerbesar
Ragam Kuliner Indonesia (Sumber: Kemdikbud.go.id)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Nasi kuning, nasi goreng, Es Dawet, Rendang, Bakso, Lemper, Soto Betawi sudah sangat khas di telinga masyarakat Indonesia. Masyarakat cenderung mengelola kebudayaannya seperti kuliner untuk menunjukkan identitas kedaerahan yang kini sudah mencerminkan sebagai bentuk identitas nasional dari NKRI itu sendiri. Berbicara mengenai hal itu terkadang masih jarang momentum dari keberagaman kuliner ini digunakan sebagai alat untuk mencapai kepentingan politik bersama bagi bangsa Indonesia. Namun demikian berbagai dasar-dasar kuliner ini sebenarnya bisa digunakan dan dikembangakan dalam memajukan kepentingan baik sosial, ekonomi, dan pariwisata yang sudah semakin terintegrasi dengan negara-negara lainnya.
ADVERTISEMENT

Indonesia dan Kuliner

Bangsa kita sudah memiliki modal yang banyak untuk memperkenalkan segala bentuk kebudayaan kuliner yang khas. Setiap daerah ini dapat memberikan berbagai nuansa dan keberagaman dari identitas negara kita sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Profesor Murdijati Gardjito, bahwa Indonesia sudah memiliki trackrecord yang panjang ketika membahas kulinernya sejak dikenalnya rempah-rempah oleh bangsa asing (PRN, 2021). Argumentasi itu menegaskan bagaimana rempah-rempah sebagai komoditas cukup dikagumi oleh negara lain. Dengan begitu pengelolaan rempah itu sudah terkandung dalam makanan dan minuman negara ini. Pengelolaan yang baik antara daerah dan regulasi yang tepat dari pemerintah akan mengupayakan peningkatan dari sektor ini untuk seluruh aspek nasional.
Kekuatan nasional dalam hal ini power juga biasa digunakan oleh negara-negara untuk mencapai kepentingan politik nasional untuk mendapatkan keuntungan. Pendapat dari Paul Rockower (2012) lebih menjelaskan bagaimana sebuatan dari gastrodiplomacy diidentifikasi sebagai langkah konkret dari sebuah negara yang termasuk middle-power untuk menjalankan politiknya dalam lingkup global. Indonesia yang masih termasuk dalam lingkup itu dapat menjelaskan dari pendapat Rockower dalam melakukan efektivitas kebijakan dan pengaruh dalam menggunakan budaya kuliner untuk memasarkan hidangan-hidangan khas negara ini ke penjuru dunia.
ADVERTISEMENT

Revisi dan Refleksi bagi Indonesia

Hal ini bisa dilihat bagaimana negara-negara di Asia seperti Thailand yang telah berhasil mengupayakan politik kuliner dalam gastrodiplomasinya sehingga banyak makanannya tidak hanya dikenal namun tumbuh subur di berbagai belahan dunia. Kebijakan Global Thai Programme yang memiliki pemetaan dan langkah sistematis dalam memperkenalkan makanannya ke pihak asing. Dalam pengimplementasiannya, kebijakan ini juga diberlakukan Thai Select untuk mencari para koki handal yang layak dalam memasak untuk mendapatkan gelar, pendanaan, dan pinjaman (jika perlu) untuk membentuk restorannya sendiri baik dalam dan luar negeri. Refleksi dari negara tetangga ini bisa menjadikan cerminan untuk kita mengawali kebijakan kuliner atau politik budaya kuliner di Indonesia.
Pujayanti dalam tulisannya telah menjelaskan poin-poin utama yang bisa diperhatikan lebih dalam upaya memajukan budaya kuliner dari Indonesia itu sendiri (2017). Hal ini meliputi ikon kuliner, dokumentasi dan publikasi, serta sinergitas antara berbagai pihak. Pertama adalah ikon kuliner, Pujayanti menjelaskan bagaimana pemerintah di bawah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah berupaya sejak tahun 2012 untuk membentuk ikon untuk menjadi simbol bagi kekulineran Indonesia itu sendiri. Hal ini adalah bentuk untuk promosi dan pengingat produk khas Indonesia. Namun yang jadi masalah adalah ketika 30 pilihan masakan yang harus dijadikan ikon terkadang menjadi polemik karena adanya perdebatan dan ketidak setujuaan ketika salah satu atau dua makanan yang menjadi ikon. Anggapan itu menjelaskan polemik yang membuat sulitnya ikon yang menyatu bagi kuliner Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kedua, dokumentasi dan publikasi. Sama halnya dengan masalah di atas yang berkaitan dengan ajang promosi dan perkenalan. Kurangnya sumber dokumentasi dan publikasi membuat terkadang makanan negara ini kurang dikenal. Bahkan malah menjadi masalah seperti Malaysia yang berani menyebut salah satu makanan negara Indonesia sebagai makanan khas negaranya (Pujayanti, 2017). Dengan demikian perlunya promosi secara bersama bagi seluruh elemen negara untuk mengupayakan dokumentasi dan publikasi agar tidak dilupakan atau berani dianggap oleh negara tetangga. Terakhir, bagaimana sinergitas itu diperlukan. Sinergitas ini tidak hanya dimaknai sebagai langkah horizontal, namun juga harus bisa secara vertikal. Ini terlihat jelas dalam kebijakan politik kuliner Thailand yang memiliki kebijakan Thai Select yang berusaha untuk mengakomodir pekerja atau masyarakat untuk dukungan restorannya go international.
ADVERTISEMENT

Kesimpulan

Permasalahan yang terjadi banyak ditemui ketika Indonesia ingin memajukan sektor kulinernya yang dapat berdampak bagi berbagai lapisan lingkungan. Modal yang dimiliki sebagai keberagaman budaya dan makanan enak di dunia tidak bisa menjadikan Indonesia untuk berhenti dalam pengupayaan promosi budaya. Diperlukannya strategi dan politik budaya kuliner ini dan gastrodiplomasi secara eksternal untuk meningkatkan daya tarik bagi sektor FnB di Indonesia.