Bayang-bayang Sanjungan: Eksistensi Tanpa Ruang

ewia ejha putri
1. Pimpinan Lembaga PKBM Pahlawan kerinci. 2. Anggota LHKP Muhammadiyah Jambi 3. Pengamat Sosial
Konten dari Pengguna
22 November 2023 18:15 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ewia ejha putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Obsesi eksistensi.  Foto: Adi Prabowo/Tim Kreatif kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Obsesi eksistensi. Foto: Adi Prabowo/Tim Kreatif kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam era di mana manusia semakin aktif mengekspresikan diri, eksistensi mereka terus berkembang dengan beragam cara. Namun, terkadang, kebebasan itu sendiri mengarah pada hilangnya batas, bahkan hingga merampas ruang pribadi. Sanjungan dan celaan menjadi ukuran eksistensi, menciptakan sebuah paradoks di mana manusia merasa mulia dengan pujian dan hina dengan celaan.
ADVERTISEMENT
Keinginan untuk diakui oleh orang lain membentuk pandangan diri, menciptakan peran-peran yang melelahkan dalam hidup. Namun, sejauh mana manusia harus bergantung pada pandangan orang lain? Sejauh mana mereka harus merasa terikat pada norma-norma sosial yang mengarah pada kehidupan yang seakan dibuat-buat?
Dalam pandangan Martin Heidegger, seorang filsuf eksistensialis terkenal, eksistensi manusia dipengaruhi oleh keterlibatan dalam dunia. Heidegger berbicara tentang "Dasein," konsep yang merinci keberadaan manusia dalam konteks temporal dan sosial. Bagaimana keterlibatan manusia dalam dunia sehari-hari, termasuk respons terhadap sanjungan dan celaan, mencerminkan eksistensi yang lebih dalam.
Heidegger menekankan bahwa manusia cenderung terjebak dalam "publicness" atau keterbukaan terhadap pandangan orang lain. Seiring berkembangnya teknologi dan globalisasi, ruang pribadi semakin tergeser, meninggalkan manusia tanpa tempat berlindung dari evaluasi luar. Apakah hidup dalam keterbukaan seperti ini membawa kebahagiaan atau hanya menyiksa?
ADVERTISEMENT
Ketidakpastian dalam menjawab pertanyaan ini menyoroti kompleksitas eksistensi manusia. Apakah penerimaan dari orang lain sebanding dengan hilangnya ruang pribadi? Bagaimana manusia dapat mencari arti eksistensi mereka di tengah sorotan terus-menerus dari dunia luar?
Heidegger mungkin menilai bahwa kebebasan sejati ditemukan ketika individu mampu melampaui ekspektasi sosial dan menemukan makna yang otentik dalam keberadaan mereka.
Dalam menghadapi dilema ini, manusia dihadapkan pada pertanyaan filosofis mendasar: apakah nilai eksistensi manusia semata-mata tergantung pada persetujuan dan penilaian orang lain? Ataukah ada kebebasan yang lebih dalam yang dapat ditemukan di luar batasan norma sosial?
Pandangan Heidegger, dapat dipahami bahwa eksistensi manusia tidak sepenuhnya tergantung pada pandangan orang lain. Sebaliknya, menciptakan ruang pribadi mental, di mana individu dapat mempertimbangkan nilai eksistensi mereka sendiri, menjadi suatu keharusan. Dalam konteks ini, kebebasan sejati ditemukan ketika manusia mampu melampaui keterbukaan dan menemukan makna otentik dalam eksistensi mereka.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, dalam dunia yang terus berkembang, manusia dihadapkan pada tantangan untuk memahami eksistensi mereka di tengah sanjungan dan celaan yang tak henti. Melalui pemahaman konsep filsafat Heidegger, diharapkan bahwa manusia dapat menemukan kedalaman makna eksistensi mereka, mengatasi tekanan peran sosial, dan meraih kebebasan sejati. Dengan demikian, "Eksistensi Manusia" mencerminkan kompleksitas perjalanan manusia menuju makna eksistensi yang otentik.