Politik Identitas dan Pilkada 2018

Irsad Ade Irawan
Cendekia Muda dari GP Ansor-Banser dan FPPI, Wakil Sekjend Aliansi Buruh Yogyakarta, Peneliti di Yayasan Satunama dan YLBH SIKAP
Konten dari Pengguna
13 April 2018 15:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irsad Ade Irawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Politik Identitas dan Pilkada 2018
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia akan menyelenggarakan Pilkada serentak pada tanggal 27 Juni 2018. Pemilihan kepala dearah akan dilaksanakan secara serempak di 17 Provinsi dan 154 Kabupaten-Kota. Pemilihan Gubernur di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan merupakan pemilihan kepala daerah yang paling banyak menyedot perhatian publik.
ADVERTISEMENT
Sekitar dua pertiga masyarakat Indonesia (174 juta dari 261 juta) diperkirakan hidup di lima provinsi ini, membuat provinsi-provinsi itu penting secara politis. Pilkada di lima provinsi ini bisa juga dikatakan sebagai barometer politik untuk Pemilu 2019. Siapapun yang terpiih sebagai gubernur (bersama partai-partai pendukung) bisa mempengaruhi kampanye pileg dan pilpres di wilayah mereka melalui kontrol terhadap birokarasi lokal.
Pilkada Jakarta terakhir menyuguhkan suatu peristiwa politik yang oleh sebagian orang dianggap sebagai menguatnya politik identitas dan atau politik Islam. Gubernur petahana saat itu, Basuki Tjahaja Purnama alias “Ahok”, dikalahkan oleh Anies-Sandi, namun Pilkada DKI juga turut diwarnai dengan masalah penistaan agama dan keberhasilan GNPF MUI memobilisasi demonstrasi besar di Monas (aksi 411 dan 212). GNPF MUI juga berhasil mengorganisasikan koalisi kelompok-kelompok konservatif dan Islam garis keras.
ADVERTISEMENT
Pasca Pilkada Jakarta 2017, banyak pengamat memprediksi kekuatan “Islam Politik” akan memainkan peran yang signifikan di momen Pilkada serentak 2018, termasuk pemilihan gubernur di lima provinsi yang disebutkan di atas. Politik identitas masih akan menjadi ancaman bagi pesta demokrasi pilkada serentak 2018 dan pemilu 2019. Masalah demokrasi tersebut disinyalir disebabkan beberapa hal.
Faktor-faktor yang menyebabkan menguatnya politik identitas antara lain; pertama, hal itu muncul karena adanya kesenjangan ekonomi. Dari catatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), daerah yang rawan adalah yang memiliki kesenjangan ekonomi tinggi. Kedua, rendahnya literasi politik dan literasi komunikasi. Ketiga, buruknya kelembagaan politik yang menjadi masalah laten di Indonesia. Keempat, adanya polarisasi politik. Dengan polarisasi yang tegas maka sangat mudah bagi elit politik untuk memicu konflik yang menyebabkan pembelahan.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, para “alumni” aksi 212 telah membentuk berbagai organisasi seperti “Alumni 212”. Mereka telah dengan tegas menyatakan kelompok mereka akan mendorong dan mengkampanyekan kandidat-kandidat yang dianggap sebagai Muslim yang taat. Dalam bahasa mereka adalah “mereka yang memperjuangkan kepentingan masyarakat muslim Indonesia, dan mereka juga akan melawan segala upaya “kriminalisasi ulama”.
Istilah kriminalisasi ulama ini mengacu pada usaha Polri untuk mengusut perkara Rizieq Shihab dan Muhammad al Khaththath.
GNPF MUI (kemudian GNPF Ulama) telah menyerukan kepada para pendukungnya agar tidak memiliih para kandidat dari partai-partai politik yang tergabung dalam koalisi pemerintahan Jokowi. Sebaliknya, menyerukan untuk memilih Prabowo Subianto pada Pilpres 2019 dan partai-partai pendukung mantan Danjen Kopassus itu. Partai-partai politik tersebut adalah Gerindra, PKS, dan PAN (Arifianto, 2018).
ADVERTISEMENT
GNPF Ulama telah menyatakan dukungannya kepada para kandidat yang disokong oleh Prabwo dan koalisi pendukungnya, seperti pensiunan tentara, Letjend (Purn) Edy Rahmayadi untuk Pilkada di Sumatera Utara dan Sudirman Said di Pilkada Jawa Tengah. Sebagai balasannya, para kandidat ini telah memulai menggunakan retorika dan simbol Islam dalam kampanye mereka. Hal ini utamanya dapat dijumpai di Sumatera Utara, di mana Edy telah mengembar-gemborkan kredibilitas keislamannya sebagai seorang kader PKS maupun Gerindra. Selain itu, Edy juga didukung oleh kelompok Islam lokal Sumatera Utara seperti Jami’yatul Washliyah.
Di Jawa Tengah, Sudirman Said membuat kontroversi ketika dia mengunjungi Rizieq Shihab dan mendapatkan dukungannya. Sementra Rizieq sendiri sekarang hidup dalam pengasingan di Arab Saudi. Tentunya hal ini bertolak belakang dengan usahan Sudirman sebelumnya yaitu untuk mendapatkan dukungan dari etnis China dan umat Kristen yang tinggal di Provinsi ini.
ADVERTISEMENT
Di Jawa Barat, mantan Walikota Bandung yang kini menjadi kandidat Cagub Jabar, Ridwan Kamil, pernah dituduh penganut Syiah dalam suatu kampanye hitam (black campaign). Setelah ia menyatakan dirinya adalah muslim dan ketiga kandidat lainnya turut membantu menstabilkan suasana, tuduhan itu tidak berlanjut.
Di Jawa Timur, identitas Islam hampir tidak memainkan peran. Hal ini disebabkan karena kedua kandiddat Gubernur; Saifullah Yusuf dan Khofifah Indar Parawansa sama-sama berasal dari NU. Gus Ipul didukung oleh PDI-P, Gerindra, dan PKS. Hal ini menarik karena ketiga partai itu mempunya rivalitas secara nasional, namum di Jatim mendukung kandidat yang sama. Hal ini juga yang menyebabkan relatif absennya isu etno-religius di Pilkada Jatim.
Pilkada di Sulawesi Selatan nampaknya juga minim isu politik identitas, di mana keempat kandidat dianggap sebagai muslim yang taat. Di Provinsi ini Gerindra dan PKS mendukung kandidat yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Namun secara umum, isu politik identitas dan media sosial dinilai sebagai aspek potensial sumber kerawanan dalam Pilkada 2018. Baik Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) hingga Komisi II DPR RI membenarkannya. Hal itu terungkap dalam peluncuran Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pilkada 2018 di Jakarta, Selasa (Media Indonesia, 28-11-2017).
Setidaknya terdapat tiga indikator yang masuk aspek politik identitas, yaitu substansi materi kampanye dalam berbagai bentuk dan media, kekerabatan politik calon, dan pengaruh pemuka agama atau adat (Afifudin, 2017).
Berdasarkan hasil pemetaan IKP Pilkada 2018 terhadap tiga indikator tersebut, lanjut dia, Sumut, Sumsel, NTB, Kalbar, Kaltim, Maluku, Maluku Utara dan Papua masuk daerah dengan tingkat kerawanan tinggi dalam aspek politik identitas.
ADVERTISEMENT
Sedangkan di tingkat kabupaten/kota, sebanyak 14 kabupaten/kota termasuk daerah rawan tinggi. Daerah-daerahnya tersebut ialah Kabupaten Tabalong, Kolaka, Konawe, Puncak, Jayawijaya, Tegal, Jombang, Lebak, Alor, Penajam Paser Utara, Morowali, Kabupaten Mimika, Kota Subulusalam, dan Prabumulih.