“Antara Bisnis, Budaya, Stigma dan Seksisme pada Sepakbola Wanita”

Erik Fajar Susandi
Memiliki Hobi dan ketertarikan terhadap sepakbola dalam dan luar negri.
Konten dari Pengguna
14 Januari 2020 22:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Erik Fajar Susandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Foto @FIFAWWC Timnas Sepakbola Wanita Mengangkat Trofi Piala Dunia 2019
Dalam industri Sepakbola masa kini setiap minggunya sepakbola telah mengisi ruang ruang keluarga Setiap akhir pekan, dimana pria sibuk menonton pertandingan dan wanita sibuk memasak di dapur, begitu pula di cafe atau tempat tempat nobar pertandingan sepakbola lainnya; dimana wanita hanya datang ke tempat tersebut untuk menemani pasangnya menonton pertandingan dan tentunya lengkap dengan menggunakan Jersey couple dengan pasangan mereka. Padahal sejatinya sepakbola tidak memiliki jenis kelamin, tapi rasanya kesan maskulinitas bergitu erat dengan olahraga sikulit bundar satu ini. Memang sepakbola tidak memiliki jenis kelamin namun dari prespektif bisnis tentunya olahraga ini memiliki sentimen tersendiri nyatanya memang kapitalisme lebih memilih sepakbola untuk para pria maka tidak heran dalam masa kini wanita hanyalah diangap sebagai pemanis belaka.
ADVERTISEMENT
Bahkan sebagian besar dari kita yang begitu mencintai olahraga ini lebih familiar dengan nama nama wags "pacar atau istri para pemain sepakbola pria " dibandingkan dengan nama nama seperti Ada Hergerberg, Fran Kirby, Megan Rapinoe, Alex Morgan atau bahkan Martha Viera da Silva peraih Ballon d'or femina sebanyak 5 kali berturut-turut.
Hal ini tentu sangatlah menyedihkan dan ironis, bahkan perbandingannya akan lebih buruk jika kita membandingkan gaji para superstar lapangan hijau pria dan wanita; rasanya seperti ada jurang yang begitu menganga. Sebagai contoh pada Piala Dunia 2014 dan Piala Dunia Perempuan 2015. Dilansir dari Goal, federasi sepakbola Amerika Serikat memberikan bonus sebesar $5 juta untuk timnas pria yang hanya berhasil lolos hingga babak 16 besar. Sementara untuk timnas perempuan yang notabene keluar sebagai juara, hanya diganjar bonus $2 juta saja. Bahkan PBB pun pernah ikut bersuara dalam hal ini melalui kicauan di akun resmi Twitter PBB memberi ilustrasi perbandingan gaji gabungan dari 1.693 pesepak bola wanita pada 7 liga profesional hanya mencapai 42,6 juta dolar AS, Sementara itu, Messi dilaporkan memiliki penghasilan mencapai angka 127 dolar AS atau sekitar Rp 1,8 triliun. Artinya, gaji para pesepak bola wanita itu hanya setengah dari penghasilan Messi yang didapat dari bayaran dan bonusnya selama setahun.
ADVERTISEMENT
Perbandingan Antara Gajia Messi dan 1,693 Pemain sepakbola wanita 2019
Selain masalah Industri Bisnis dalam perkembangannya; sepakbola wanita juga menghadapi tantangan lain yaitu soal seksisme. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Seksisme adalah diskriminasi dan/atau prasangka terhadap seseorang yang bergantung terhadap seks. Pada tahun 2019 yang lalu untuk pertama kalinya hadir sebuah kompetisi Sepakbola Wanita di Indonesia yaitu Liga 1 Putri, dimana edisi pertama ini Persib Putri keluar sebagai Juara. Sebenrnya dengan adanya liga 1 putri menjadi anomali di Negara seperti Indonesia; dimana budaya ketimuran yang masih kuat, ada istilah "Cara terbaik untuk mengembalikan sisi feminisme wanita adalah dengan cara menjadi istri dan ibu yang baik" atau "Untuk apa wanita sekolah tinggi, toh ujungnya hanya berakhir di dapur juga" tentunya di zaman yang telah maju seperti ini hal atau istilah seperti ini tentu nya bertentangan dengan semangat emansipasi yang selalu digaungkan selama ini.
ADVERTISEMENT
Pada perjalanan nya terdapat bebera kasus seksime yang cukup menarik perhatian sepanjang kompetisi berlangsung Liga 1 Putri, diantaranya terjadi pada pertandingan Persija melawan persib. Dimana Sehari sebelum kickoff misal, akun Facebook Meme & Rage Persija membagikan meme yang menyebut para pemain Persib dengan sebutan ‘Maung Lonte’. Maung merujuk ke julukan Persib Bandung, sementara kata kedua adalah istilah—yang menurut KBBI—biasa dipakai untuk mengidentifikasi perempuan tunasusila. Kejadian kedua terjadi pada pertandingan Arema melawan Persebaya, ulah suporter Arema FC yang membuat spanduk bertuliskan “Bantai Purel Dolly” Purel adalah istilah gaul yang biasa digunakan untuk melabeli pemandu karaoke di tempat hiburan, sementara Dolly adalah salah satu kawasan lokalisasi di Surabaya.
Fenomena seksisme semanaca ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia saja layaknya sebuah wabah, seksisme saling menular dan terjadi menimpa korban; sebelum adanya Liga sepakbola wanita indonesia bahkan di inggris dimana secara industri dan budaya menonton sepakbola sudah sangat maju pernah terjadi tindakan seksisme semacam ini, tentunya kita masih ingat kejadian yang menimpa Eva Carrneiro Salah satu staff mendis di club chealsea, dimana ketika Eva berlari kearah lapangan terdengar kata kata umpatan "get your tits out for lads" dan anehnya aksi ini dilakukan oleh supporter chelsea. di beberapa negara Timur tengah pun memiliki culture yang sama bahkan lebih ekstrem yaitu larangan bagi wanita untuk menonton pertandingan sepakbola langsung di stadion. Di Iran misalnya Perempuan telah dilarang menonton pertandingan sepak bola pria di Iran tak lama setelah revolusi 1979. Hanya beberapa pengecualian dibuat untuk kelompok-kelompok kecil pada kesempatan langka Perempuan dapat hadir di stadion. Baru pada Kamis (10/10/19) Untuk pertama kalinya dalam 40 tahun, perempuan Iran diperkenankan menyaksikan tim nasional negara mereka bertanding di stadion.
ADVERTISEMENT
Sudah saatnya sepakbola menjadi alat kesetaraan gender, juga alat perlawanan seksisme sexual abuse dan sexsual harrsment, serta seperti seruan PBB yang mengajak seluruh masyarakat di dunia agar ikut berpartisipasi meramaikan pertandingan sepak bola wanita agar secara bisnis mampu mengejar ketertinggalan dari sepakbola pria. Karena seperti lazimnya wanita di balik lengak lengok gerak tubuh, riasan di wajah dan sifat yang manja dan lemah gemulai wanita juga berhak memainkan olahraga yang diangap selama ini identek dengan makulinitas tanpa ada stigma atau seksisme didalamnya. bahkan jika mau seorang lucinta luna juga bisa memainkannya.
#UserStory