Hiruk Pikuk Pengesahan Permendikbud PPKS: Legalisasi Zina di Lingkungan Kampus?

Edmond Wangtri Putra
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
30 Desember 2021 14:32 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Edmond Wangtri Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi korban kekerasan seksual Foto: admin
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi korban kekerasan seksual Foto: admin
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Belakangan ini, rakyat Indonesia dikejutkan dengan adanya dugaan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus, yaitu dugaan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Dekan Fakultas Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Riau (UNRI). Hal ini tentunya mengejutkan dan juga menyadarkan banyak orang bahwa kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, termasuk dalam lingkungan kampus. Hal ini tentunya menimbulkan ketidakamanan di lingkungan kampus dan berpotensi berpengaruh kepada capaian akademik maupun nonakademik mahasiswa di kampus.
ADVERTISEMENT
Namun, meskipun telah menyadari bahwa kekerasan seksual rawan terjadi di lingkungan kampus, belum ada regulasi pasti yang mengatur mengenai kekerasan seksual di lingkungan kampus. Oleh karena itu, pemerintah bergerak cepat untuk membuat dan juga mengesahkan sebuah regulasi khusus yang mengatur pencegahan dan penghapusan kekerasan seksual di kampus.
Akhirnya, pada 31 Agustus 2021, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim mengesahkan Peraturan Menteri Pendidikan, Budaya, Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Penghapusan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus (Permendikbudristek PPKS). Adanya regulasi ini tentunya menjadi kabar baik bagi banyak orang karena adanya jaminan hukum bagi kekerasan seksual di kampus.
Akan tetapi, regulasi ini juga ditentang oleh beberapa pihak. Pihak-pihak tersebut mengkritisi frasa ‘tanpa persetujuan korban’ yang terdapat dalam Pasal 5 huruf b, f, g, h, l, dan juga m. Mereka menganggap bahwa dengan adanya frasa tersebut dapat melegalkan zina. Hal ini terjadi karena jika dilakukan penafsiran terbalik, maka hubungan seksual dapat dilakukan jika adanya persetujuan dari kedua pihak.
Sexual Consent (Sumber: Pixabay)
Sebenarnya, menurut penulis, penolakan terhadap Permendikbud ini disebabkan masih adanya miskonsepsi terhadap konsep consent atau persetujuan tersebut. Masih banyak pihak yang menganggap bahwa consent hanyalah sebatas pemberian persetujuan saja. Padahal, terdapat beberapa poin penting dalam memahami consent, yaitu:
ADVERTISEMENT
a. Consent harus diberikan secara sukarela, tanpa adanya paksaan, manipulasi, dan/atau pengaruh alkohol
Maksud dari poin ini adalah bahwa pemberian consent harus berasal dari diri sendiri, tanpa adanya paksaan, dan/atau diberikan ketika tidak sedang berada dalam pengaruh alkohol. Contohnya dalam sebuah kasus, seorang perempuan yang mabuk kemudian diajak berhubungan seksual dan tidak menolak, bukan berarti dia memberikan consent-nya. Dalam hal ini, perempuan tersebut sedang di bawah pengaruh alkohol sehingga ‘persetujuan’ yang dia berikan tidak sah.
b. Consent tidak otomatis berlaku bagi seluruh tindakan seksual dan dapat ditarik kembali sewaktu-waktu
Maksud dari poin ini adalah bahwa consent hanyalah diberikan untuk satu tindakan dalam waktu tertentu saja. Contohnya adalah ketika seorang perempuan memberikan consent-nya untuk dicium, belum tentu dia memberikan consent-nya untuk melakukan hubungan seksual. Jika ciuman tersebut akan dilanjutkan dengan hubungan seksual, tetapi sang perempuan menolak, maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
c. Consent haruslah Informed
Maksud dari informed adalah ketika ingin melakukan suatu tindakan, termasuk pula tindakan bernuansa seksual harus dipahami oleh kedua pihak apa maksud dan tujuan dari tindakan tersebut.
d. Consent tidak harus verbal
Maksudnya adalah consent tidak harus diberikan secara verbal. Misalnya ketika melakukan hubungan seksual dan tidak adanya penolakan, maka hal itu termasuk consent, walaupun tidak diberikan secara verbal. Sebaliknya, jika dalam melakukan hubungan seksual, pasangan menunjukkan adanya gestur penolakan menunjukkan tidak diberikannya consent terhadap lawan jenis untuk melakukan hal tersebut.
Oleh karena itu, konsep dari consent tersebut tidak hanya mengenai persetujuan saja. Terdapat poin-poin yang harus terpenuhi agar consent yang diberikan bersifat sah. Consent di sini juga harus kita pahami dalam konteks kekerasan seksual dan bukan dalam konteks perzinahan karena Permendikbudristek ini khusus mengatur mengenai penghapusan kekerasan seksual. Selain itu, apa yang tidak diatur dalam regulasi belum tentu merupakan sesuatu yang diperbolehkan.
ADVERTISEMENT
Jika berbicara mengenai legalisasi zina, tentunya pemerintah dapat membuat regulasi lain khusus untuk melarang legalisasi zina. Jangan melarang ataupun menolak Permendikbudristek yang memiliki tujuan untuk menghapus dan mencegah kekerasan seksual di lingkungan kampus. Permendikbudristek ini dapat menjadi secercah cahaya dalam suramnya penanganan kekerasan seksual di kampus yang selama ini sulit terungkap karena banyak sekali rintangan yang dihadapi, termasuk pula ketidakjelasan regulasi.