Move on dari Fossil Fuel Demi Energi Berkelanjutan

Abigail Priskila
Mahasiswa Geologi Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
15 Februari 2024 9:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abigail Priskila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam KTT Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim (COP28) di Dubai, Indonesia diwakili oleh presiden Bapak Joko Widodo menegaskan komitmennya dalam pembangunan negara makmur dan berkelanjutan dengan perekonomian inklusif. Indonesia menyatakan akan terus berusaha dalam mencapai nol emisi karbon sebelum tahun 2060 guna mencapai hal tersebut. Salah satu milestone Net Zero Emission 2060 adalah pemanfaatan Energi Baru & Energi Terbarukan (EBT) hingga 23% di tahun 2025. Untuk mewujudkan target transisi energi tersebut, Indonesia tidak hanya membutuhkan kebijakan kuat sebagai landasan, tetapi juga memerlukan kesiapan dari sumber daya manusia (SDM) untuk mendukung program tersebut. Hal tersebut yang menjadi dasar dari Program Gerilya Academy guna mempersiapkan bibit unggul generasi muda meneruskan estafet transisi energi.
Pertemuan Perdana Gerilya Academy Batch 6
Gerilya Academy sebagai perpanjangan tangan dari upaya pemerintah dalam meningkatkan dan mempersiapkan SDM yang adalah mahasiswa guna menjadi agen transisi energi. Program ini hadir dengan proses pembelajaran dan program magang yang cakupannya adalah pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) baik dari sektor energi surya, energi panas bumi, energi angin, mikrohidro, bioenergi dan konservasi energi. Program ini tentunya sejalan dengan target pemerintah untuk mencapai Indonesia NZE 2060.
ADVERTISEMENT
Indonesia dengan sumber daya alamnya yang melimpah, memiliki potensi besar untuk menjadi agen aktif dalam pemanfaatan energi terbarukan. Namun, dalam pelaksanaan dan realisasinya didapatkan bahwa pemanfaatan dari potensi tersebut belum optimal. Total potensi energi terbarukan untuk pembangkit listrik mencapai 3.687 GW, tetapi hingga tahun 2022, hanya 0,3% atau sekitar 12,6 GW yang telah diaktifkan. Sebuah tantangan besar yang perlu dihadapi demi menciptakan masa depan energi yang berkelanjutan.
Kendala utama yang dihadapi dalam mewujudkan pemanfaatan energi terbarukan, terutama dalam sektor ketenagalistrikan adalah harga listrik yang masih tinggi untuk pembangkit berbasis energi terbarukan. Terdapat ketidakimbangan harga dalam persaingan dengan pembangkit fosil, khususnya yang menggunakan batu bara. Faktor ekonomi menjadi penghalang yang signifikan dalam menggaet energi terbarukan. Hal inilah yang disampaikan oleh Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi pada penyampaian saat pelaksanaan kuliah perdana program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) Gerilya Academy Batch 6.
ADVERTISEMENT
Penting untuk diakui bahwa berpindah ke energi terbarukan bukanlah keputusan teknologi semata, melainkan sebuah pergeseran paradigma. Masyarakat, pemerintah, maupun industri harus bersinergi dalam menciptakan lingkungan yang mendukung dan merangkul perubahan ini. Salah satu langkah awal yang perlu diambil adalah memahami mengapa energi terbarukan menjadi pilihan yang lebih baik untuk masa depan.
Energi adalah darah” adalah analogi yang tepat untuk mendeskripsikan peran energi dalam berbagai sektor kehidupan. Analogi indah ini disampaikan oleh Bapak Agus Cahyono Adi atau akrab disapa Pak ACA. Energi, sebagai darah kehidupan, mengalir sebagai kekuatan tak terlihat yang memelihara dan menghidupkan setiap aspek di masyarakat. Analogi ini menyuarakan semangat transisi dari fossilized relationships to sustainable lovenergy. Energi bukan hanya elemen teknis, tetapi merupakan kekuatan vital yang memberi kehidupan pada seluruh sektor.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kondisi dunia dewasa ini kian memprihatinkan. Perubahan iklim yang semakin memburuk mengakibatkan dampak negatif yang lebih luas. Hal ini bisa kita lihat dari peningkatan suhu udara serta meningkatnya bencana hidrometeorologi di berbagai pelosok dunia. Isu ini mencuri perhatian dunia karena dampak dan resiko yang dihasilkan lebih besar dan sangat berpengaruh pada keberlangsungan makhluk hidup dan generasi di masa mendatang. Namun, nyatanya fenomena yang terjadi ditengah masyarakat Indonesia justru berbeda. “Climate Change Denial” menyerang masyarakat Indonesia, seperti yang kita tahu Indonesia yang secara geografis hidup di kawasan yang dilewati garis khatulistiwa mengalami berbagai bencana, seperti bencana hidrometeorologi. Uniknya, bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim ini ini dipandang sebelah mata dan dianggap menjadi satu hal lumrah oleh masyarakat. Mereka lebih memilih pasrah dan menerima ini sebagai musibah yang “memang” seharusnya diterima.
ADVERTISEMENT
Jika membahas mengenai perubahan iklim, tentunya tak lepas dari peran “main actor” kita yaitu bahan bakar fosil. Tahun 2023 merupakan tahun terburuk, karena telah terjadi berbagai fenomena besar seperti gelombang panas yang luar biasa melanda Amerika di pertengahan musim dingin, pencairan es laut yang di Antartika dan gelombang panas laut yang melanda lautan di dunia. Pembakaran bahan bakar fosil memang telah menunjukkan eksistensi yang baik dan memberikan dampak bagi umat manusia khususnya dalam menggerakkan roda perekonomian. Namun, disisi lain ia juga menyumbang bagian terbesar dari pemanasan 1,2°C di era industri dan pembakaran hidrokarbon bertanggung jawab atas 80% emisi CO2. Untuk itu, diperlukan peralihan dari bahan bakar fosil menuju energi yang lebih bersih karena jika emisi ini terus berlanjut, pemanasan global akan menempati angka 2,5°C di akhir abad ini. Apabila hal tersebut terjadi, bumi berada di “ambang batas kritis” yang tentunya memperbesar dampak iklim kedepannya dan menghasilkan resiko yang lebih ekstrim terhadap kehidupan manusia.
ADVERTISEMENT
Dengan menyoroti urgensi peralihan dari bahan bakar fosil menuju energi terbarukan, dapat kita pahami bahwa langkah ini tidak hanya relevan dalam menanggapi perubahan iklim, tetapi juga menjadi langkah krusial dalam membentuk landasan bagi masa depan yang berkelanjutan. Seperti disebutkan sebelumnya, dampak emisi bahan bakar fosil pada pemanasan global yang semakin meningkat mengindikasikan kebutuhan mendesak untuk mengubah paradigma energi. Pergeseran paradigma menuju energi terbarukan bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan energi, tetapi juga tentang membangun masa depan yang berkelanjutan. Energi terbarukan bukan hanya solusi untuk mengurangi dampak lingkungan negatif, tetapi juga menjadi kunci untuk menciptakan kestabilan ekonomi jangka panjang dan mengurangi ketergantungan pada sumber daya energi yang terbatas.
Mendukung perkembangan energi terbarukan seharusnya bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau sektor industri. Masyarakat juga memiliki peran penting dalam menyuarakan kebutuhan akan energi yang ramah lingkungan dan berpartisipasi dalam upaya konservasi energi dan tentunya hal ini tidak terlepas dari pandangan kami sebagai Mahasiswa. “Untuk bisa berarti gak harus nunggu jadi petinggi” salah satu kalimat ajaib yang berkesan dalam video profile dari Khoiria Oktaviani selaku Koordinator Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Ketatausahaan KESDM dalam pertemuan perdana Program Gerilya Academy Batch 6, Kamis lalu. Kalimat tersebut tentunya membakar semangat para mahasiswa untuk berkontribusi aktif dalam pengembangan EBT di Indonesia guna mencapai Net Zero Emission 2060. Sebagai agen perubahan masa depan, mahasiswa Indonesia yang andil dalam program ini atau yang kita sebut sebagai “Gerilyawan” memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi dalam mencari solusi inovatif untuk tantangan energi global. Dengan pengetahuan yang mereka peroleh di bangku kuliah dan didukung dengan kreativitas, semangat inovasi, para Gerilyawan akan mendorong Indonesia dalam pengembangan EBT guna menciptakan masa depan energi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
ADVERTISEMENT
Dalam menghadapi tantangan pemanfaatan energi terbarukan, Indonesia memiliki peluang untuk memimpin dalam inovasi dan implementasi solusi berkelanjutan. Perpindahan paradigma ini bukanlah langkah yang mudah, tetapi merupakan investasi jangka panjang menuju kemandirian energi dan kelestarian lingkungan. Melalui kerjasama antar sektor, kesadaran masyarakat, dan dukungan kebijakan yang tepat, Indonesia dapat membuka pintu menuju masa depan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Paradigma bergeser dari energi konvensional ke energi terbarukan bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau industri, tetapi sebuah perjalanan bersama menuju keberlanjutan energi untuk generasi-generasi mendatang.