Jakarta, I am Coming

Dwi Novia Puspitasari
Pranata Humas Penyelia, Biro Komunikasi Publik, Umum dan Kesekretariatan, Badan Riset dan Inovasi Nasional
Konten dari Pengguna
22 Juni 2022 15:05 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dwi Novia Puspitasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: canva.com. Ilustrasi Kota Jakarta, Jakarta I am Coming
zoom-in-whitePerbesar
Foto: canva.com. Ilustrasi Kota Jakarta, Jakarta I am Coming
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jakarta, suatu kota yang pastinya tidak asing lagi bagi kita. Namun tidak bagi saya, namanya memang sering terdengar ditelinga saya tetapi tempatnya sangat asing bagi saya. Masih melekat erat diingatan saya saat pertama kali datang ke Jakarta. Saat itu usia saya memasuki 23 tahun. Jakarta, i am coming.
ADVERTISEMENT
Angan-Angan Masa Remaja
Masih teringat dulu saat masa remaja. Banyak teman sekolah yang cerita sering berkunjung ke Jakarta. Saat itu yang ada di benak saya adalah saya juga ingin pergi ke sana. Dalam cerita teman tersebut Jakarta itu kota yang indah dan banyak tempat wisata yang dikunjungi.
Salah satu tempat wisata yang terkenal adalah Dufan. Saat melihat foto teman yang lagi ke Dufan rasanya ingin sekali bisa pergi ke sana. Namun apa boleh buat, saya hanya seorang anak yang tinggal di sebuah desa kecil di Jawa Tengah yang masih culun, lugu dan suka bermain di sawah bersama teman-teman sebaya. Pergi ke kota saja bisa dihitung jari apalagi pergi ke Jakarta, kayaknya suatu hal yang mustahil. Jadi saat itu semua hanya sebuah angan-angan belaka.
ADVERTISEMENT
Angan-angan Menjadi Nyata
Angan-angan ingin pergi ke Jakarta masih tersimpan rapi di benak saya. Hingga saya masuk Sekolah Menengah Atas di kota Kabupaten. Saat masuk SMA juga saya memiliki teman yang beragam dan rata-rata sudah pernah pergi ke Jakarta. Lagi-lagi keinginan dan angan-angan saya muncul kembali.
Setelah Lulus SMA saya mendaftar kuliah ke Yogyakarta. Saat itu saya justru sudah tidak ingin pergi ke Jakarta karena saya melihat di televisi, Jakarta itu kota metropolitan yang sumpek, macet, bising, kumuh dan sering banjir. Namun saat mendengar cerita tetangga yang saat itu bekerja di Jakarta membuat keinginan untuk pergi ke Jakarta menjadi membara kembali.
Setelah selesai kuliah saya melamar pekerjaan ke berbagai daerah termasuk Jakarta. Pertama kali saya memasukkan lamaran kerja ke Jakarta adalah ke LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang saat ini sudah melebur menjadi BRIN. Saat itu saya melamar secara online. Setelah beberapa syarat administrasi terpenuhi barulah saya dipanggil untuk melakukan tes secara tatap muka.
ADVERTISEMENT
Saat tes tertulis inilah saya pertama kalinya menginjakkan kaki ke Jakarta. Saya naik kereta api dari Yogyakarta dan turun di stasiun Senen. Saat pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta rasanya bahagia sekali. Angan-angan saya selama ini menjadi terwujud.
Namun disisi lain rasa cemas pun menghampiri saya karena saya pergi ke Jakarta sendirian dan tidak mengetahui sama sekali seluk beluk Jakarta. Bersyukur masih ada kakak sepupu yang bisa antar jemput saat saya di Jakarta tepatnya bolak balik ke kantor LIPI. Walaupun selama mengikuti tes tersebut saya tidak sempat pergi ke tempat wisata, namun setidaknya saya sempat melihat Tugu Monumen Nasional (Monas) dan Patung Pancoran secara sekilas.
Setelah tes tertulis tersebut saya lebih sering ke Jakarta karena saya mendapat panggilan untuk tes selanjutnya. Selama di Jakarta saya menginap di rumah kontrakan kakak sepupu. Di sinilah saya bisa merasakan sempitnya kota Jakarta. Kontrakan kakak sepupu berada di dalam gang sempit, sedikit kumuh, memiliki satu kamar, dapur dan ruang tamu kecil dan ditempati oleh 4 orang.
ADVERTISEMENT
Tidur pun akhirnya berdempet-dempetan, yang perempuan di kamar dan yang laki-laki tidur lesehan di ruang tamu. Hebatnya lagi kamar mandi kontrakan tersebut ada di luar. Kamar mandi hanya ada dua dan itu pun digunakan secara bersama untuk 5 petak kontrakan. Kontrakan tersebut dihuni oleh pendatang semua. Dalam satu rumah kontrakan tersebut terdiri dari 5 orang penghuni. Jadi bisa kita bayangkan betapa ramainya dan sempitnya kontrakan tersebut.
Saat itu hati saya merasa miris karena melihat begitu banyaknya orang yang ingin bekerja di Jakarta. Mereka rela hidup berdempet-dempetan, tidur ditemani dengan lalu lalang tikus got bahkan saat musim hujan tiba, banjir pun melandanya. Namun semua itu ternyata tidak menyurutkan mereka untuk bekerja di Jakarta demi membahagiakan keluarga mereka yang ada di kampung.
ADVERTISEMENT
#HUTDKI495