Cerita Pemuda Asal Jawa Barat, Berdagang Bubur Ayam di Kota Pekanbaru

Dundi Ichsan Perlambang Utama
Mahasiswa Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta Program Studi Penerbitan
Konten dari Pengguna
27 April 2024 21:17 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dundi Ichsan Perlambang Utama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumentasi: Dundi Ichsan
zoom-in-whitePerbesar
Dokumentasi: Dundi Ichsan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bicara soal sarapan, pasti terbesit dipikiran oleh orang-orang indonesia adalah makan yang ringan, hangat, dan tidak terlalu kenyang salah satunya adalah "Bubur Ayam". Bubur ayam selalu jadi menu andalan masyarakat Indonesia untuk sarapan.
ADVERTISEMENT
Biasanya seporsi bubur ayam ditemani dengan sate-satean seperti sate usus, sate ati ampela, dan telur puyuh. Jika menyukai tambahan taburan seperti daun bawang dan seledri, juga bisa dilengkapi dengan kecap dan sambal.
Bayu (25), kerap dipanggil "Aa Bayu" berdarah asli Jawa Barat, Kota Majalengka, berdagang bubur ayam bertempat di Jalan Kaharudin Nasution, Kecamatan Bukit Raya, Pekanbaru, baru saja dua tahun merantau dan berjualan di Pekanbaru demi melanjutkan kehidupannya yang diraih.
Dokumentasi: Dundi Ichsan
Satat wawancara (25/04) pagi, pukul 10:28 WIB kepada Bayu pedagang Bubur Ayam Bandung, terkait dengan perantauannya, "Saya asli orang Jawa Barat, tinggal di Majalengka, berjualan bubur disini juga sudah tiga tahun, dari 2021, tapi untuk jualannya itu baru dua tahun, ingin merubah hidup apalagi di kota orang bang, apalagi saya juga sudah berkeluarga juga dan punya satu anak", ujar Bayu.
ADVERTISEMENT
Alasan yang tertarik berjualan bubur ayam di kota Pekanbaru ini, dikarenakan mayoritas pedagang yang ada di kotanya merantau ke Pulau Sumatera, "Ya karena kenapa saya ga pilih di Pulau Jawa, karena saya mengikuti mayoritas yang ada saja, karena kebanyakan berdagang dan hidup di Sumatera, dan saya juga kesini ada teman juga", ujar Bayu.
Dibalik itu, keluhannya adalah cuaca yang ekstrem panas dan targer pasar menjadi keluhan. Namun, tidak menghalang Bayu untuk bersikeras tetap berjuang dan tidak putus asa demi mencari nafkah yang halal, "Paling ngeluhnya, karena cuaca yang panas dan kita juga berjualan disini mengandalkan mahasiswa yang paling banyak membeli, tapi alhamdulillah masih ada semangat dan dukungan dari teman dan keluarga bang untuk masih berjuang di kota ini", ujarnya.
ADVERTISEMENT
Identik dari bubur ayam jni membuat menjadi khas Bandung adalah Emping Melinjo menjadi pemantik selera penikmat sarapan pagi, "Jadi yang buat jadi khas Bandung itu emping melinjo", katanya.
Cara membuat bubur ayam, dari beras yang khusus, dan dimasak dengan takaran air yang banyak sehingga memiliki tekstur lembut dan berair, "Jadi memang untuk cara buatnya ini di masak 2-3 jam, dimasak pakai air kulit ayam dan berasnya juga ini khusus, kalau biasanya pakai yang pulen, juga kita pakai beras anak daro karena ini di Sumatera", ujar Bayu.
Dokumentasi: Dundi Ichsan
Bubur ayam ini di jual cukup terjangkau dengan seporsi Rp11.000 dan biasanya yang beli adalah kalangan mahasiswa, karena tempatnya yang strategis dengan kampus, "Kita terbantu dengan mahasiswa, apalagi yang sudah langganan dan biasanya ramai kalau pagi, dan kalau habis semua kami bisa habis 50-100 porsian, omzetnya itu bisa Rp1.500.000an, sedangkan untuk modal membeli bahan bakunya itu Rp700.000 sampai Rp800.000an", katanya.
ADVERTISEMENT