Pemenang Nobel Juga Pernah Gagal

Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Konten dari Pengguna
23 Oktober 2023 7:22 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Donny Syofyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Moungi Bawendi (Sumber Foto: Shutterstuck)
zoom-in-whitePerbesar
Moungi Bawendi (Sumber Foto: Shutterstuck)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setiap orang selalu melewati fase kegagalan dalam perjalanan menuju kesuksesan. Kita sudah sering mendengar kutipan ini. Hal ini juga berlaku untuk seorang Moungi Bawendi. Profesor di Massachusetts Institute of Technology, berusia 62 yahun ini, baru saja memenangkan Hadiah Nobel dalam bidang kimia bersama dua orang anggota tim lainnya.
ADVERTISEMENT
Bawendi menyabet Hadiah Nobel ini atas kiprahnya mengembangkan apa yang disebut sebagai titik kuantum. Ia adalah partikel nano dan menghilang saat terkena cahaya. Karya Bawendi ini berperan membuat layar televisi lebih cerah. Ia juga membantu pengobatan penyakit hati lebih efektif.
Tapi bukan itu yang ingin diuraikan dalam tulisan ini. Bahwa Bawendi adalah pemikir yang cemerlang tidak diragukan lagi. Tapi seorang Bawendi tidak bakal sampai pada tahap sekarang tanpa pernah mengecap stasi kegagalan dan kemunduran secara apa adanya. Dia unggul dalam sains di seluruh jenjang sekolah. Dia ikut ujian tanpa berkeringat. Ini mengantarkannya berhasil masuk Universitas Harvard. Tapi yang terjadi selanjutnya adalah pengalaman yang menghentaknya.
Bawendi gagal dalam tes mata kuliah kimia pertamanya. Dia mendapat nilai F, nilai terendah di seluruh kelasnya. Dia sangat terpukul. Dia mengakui pengalaman itu hampir menghancurkannya. Pria ini menyukai kimia dan benar-benar menikmatinya.
ADVERTISEMENT
Tetapi dia menyatakan dia tidak pernah belajar atau mengetahui seni menghadapi dan mempesiapakan ujian. Ketika gagal, dia berupa memperbaiki cara belajarnya dan bangkit kembali. Sekarang dia memenangkan Hadiah Nobel dalam bidang yang sama, kimia.
Bawendi mengatakan pengalaman ini memberinya pelajaran, bahwa segalanya terkait dengan ketekunan. Kisahnya sangat inspiratif sebab ini adalah cerita untuk semua orang, untuk kita semua.
Lagi pula, siapa yang tidak pernah gagal? Kita semua pernah menghadapinya. Kebanyakan kita gagal dalam tes, gagal saat melakukan presentasi besar atau bahkan gagal diet. Sebuah studi menunjukkan bahwa 92% orang tidak mencapai tujuan yang mereka telah tentukan, 80% orang gagal dalam resolusi Tahun Baru bahkan pada bulan Februari. Kegagalan adalah pengalaman bersama. Ia meresap ke semua ruang dan waktu.
ADVERTISEMENT
Bahkan kegagalan juga ada peringatannya. Hari Kegagalan Internasional dirayakan pada 13 Oktober. Kegagalan juga memiliki museumnya sendiri, Museum Kegagalan, yang berada di Swedia. Banyak yang senang mengunjungi museum ini, bahkan seraya tertawa terbahak-bahak. Banyak orang mencoba yang terbaik untuk menghindari kegagalan, sebab mereka takut gagal. Faktanya, ketakutan akan kegagalan berada di urutan teratas dalam daftar fobia di seluruh dunia. 31% orang menderita ketakutan akan kegagalan. Artinya, satu dari setiap tiga orang takut akan kegagalan.
Apakah Anda tahu berapa banyak orang yang takut paranormal? 15%. Jadi orang-orang lebih suka menantang atau berhadapan dengan hantu daripada gagal mengikuti ujian matematika. Ketakutan akan kegagalan menghantui semua kelompok umur. Penelitian menunjukan banyak mahasiswa takut berbicara di depan umum melebihi ketakutan terhadap kematian.
ADVERTISEMENT
Bagi 90% CEO, ketakutan akan kegagalan menjadi perhatian terbesar. Kegagalan menghantui orang di seluruh negara. Lebih dari setengah orang Australia takut gagal. Ketakutan yang sama mendorong lebih dari 13.000 siswa dan mahasiawa India melakukan aksi bunuh diri pada 2021. Situasinya lebih buruk lagi di Korea Selatan sehingga pemerintah Korsel mengadakan kampanye untuk membantu orang mengatasi ketakutan.
Pertanyaannya adalah mengapa begitu banyak orang takut dengan kegagalan? Bagi para pemula, ini menyangkut sistem pendidikan di mana tujuan utamanya adalah untuk lulus ujian, bukan untuk belajar. Kegagalan sama dengan menjadi pecundang. Penelitian mengatakan orang tua yang terlalu protektif juga turut bersalah. Sebenarnya Gen Z memiliki nama untuk tipe orang tua ini; snow-plow parent. Orang tua seperti ini membangun jalan sempurna bagi anak mereka menuju kesuksesan, melindungi mereka dari risiko kecil dan kegagalan besar.
ADVERTISEMENT
Studi demi studi memperlihatkan bahwa kegagalan amat diperlukan. Anda lazimnya harus gagal untuk berhasil. Co-founder Apple Steve Jobs dipecat dari perusahaannya sendiri selama periode pengasingannya. Dia lalu mengambil alih sebuah perusahaan grafis kecil. Kemudian dia menamainya Pixar Animation Studios. Perusahaan ini akhirnya membuat Steve Jobs seorang miliarder.
Michael Jordan dibuang dari tim bola basket sekolah menengahnya. Hari ini dia disebut Goat. Oprah Winfrey dipecat dari pekerjaannya sebagai pembawa berita TV. Hari ini dia adalah salah satu tokoh TV terhebat di dunia. Amitabh Bachchan ditolak dari pekerjaan radio karena suaranya. Hari ini aktor bintang India dikenal karena suaranya yang khas.
Intinya tidak ada yang muncul langsung di posisi atas. Siapa pun yang memiliki resume prestasi niscaya juga memiliki resume kegagalan dan penghinaan. Ketakutan akan kegagalan itu penting, terutama bagi orang-orang dengan pekerjaan berbahaya seperti terjun payung atau penjinak bom. Bagi mereka sebuah kegagalan dapat memiliki konsekuensi yang mengerikan. Perbedaannya adalah antara hidup dan mati.
ADVERTISEMENT
Jadi bagaimana mereka, seperti halnya pekerjaan lain, menjinakkan ketakutan yang niscaya mereka hadapi? Yakni dengan memanfaatkan stok keberanian yang mereka punya. Kegagalan itu adalah manusiawi, tetapi untuk membangun kembali diri sendiri setelah kegagalan itu adalah tindakan keberanian.