Inflasi Ramadhan

Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Konten dari Pengguna
12 Maret 2024 7:41 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Donny Syofyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Menjelang Ramadhan, suasana selalu sibuk. Umat Islam mempersiapkan diri untuk menyambut hari besar. Mereka menimbun persediaan bahan pokok seperti makanan untuk berbuka puasa alias ifthar.
ADVERTISEMENT
Selama bulan suci ini, jika Anda tidak makan sepanjang hari, tentu Anda ingin hidangan berbuka menjadi istimewa. Namun sayangnya, banyak Muslim di seluruh dunia yang kesulitan mempersiapkannya.
Sebagai contoh, pengeluaran harus dikurangi. Jika sebelumnya membeli 5 kg beras, sekarang mungkin hanya 2 kg. Yang biasa membeli kurma 30 kg, sekarang mungkin hanya 10 kg. Yang tadinya 10 kg, mungkin sekarang hanya 5 kg.
Di Indonesia, banyak yang terkejut melihat kenaikan harga barang, mulai dari telur hingga minyak goreng. Bahkan beras pun menjadi lebih mahal. Banyak yang kesulitan bahkan untuk membeli beras. Inflasi Ramadhan seolah menyatukan seluruh dunia. Semua orang mengeluhkan kenaikan harga.
Ada beberapa alasan untuk ini. Yang utama tentu saja permintaan dan penawaran. Permintaan naik setiap tahun menjelang Ramadhan. Jadi, penjual menaikkan harga. Ini adalah dasar ilmu ekonomi. Namun, beberapa tahun terakhir situasinya lebih buruk dari biasanya.
ADVERTISEMENT
Sejak 2022, dunia menghadapi inflasi Ramadhan yang tidak normal, sebagian disebabkan oleh perang di Ukraina. Ukraina dan Rusia adalah eksportir gandum utama.
Perang tersebut telah menghambat ekspor dan dampaknya bisa dirasakan di pasar mana pun. Meskipun orang seringkali tidak terlalu peduli dengan penjelasan ini. Ketika pemerintah tidak bisa mengendalikan harga, mereka menyalahkan pasar internasional.
Masyarakat tidak mengerti atau tidak peduli apa itu pasar internasional. Mereka berbelanja di pasar lokal. Bagi mereka, jangan tunjukkan inflasi harga dolar AS. Masyarakat kelas bawah berjuang untuk bertahan hidup.
Terkadang memang pemerintah perlu juga disalahkan. Ambil contoh Turki. Negara ini memiliki inflasi sekitar 67%. Itu karena kebijakan ekonomi Presiden Erdogan yang tidak ortodoks. Kebijakan tersebut telah melumpuhkan Turki selama bertahun-tahun dan rakyat yang harus menanggung bebannya. Inflasi Ramadhan hanya menambah luka lama.
ADVERTISEMENT
Mesir berada dalam situasi yang sama. Inflasi berada di sekitar 30% pada bulan Januari. Ini karena krisis ekonomi yang sedang berlangsung. Parahnya lagi, mata uang Mesir Pound melemah karena devaluasi mata uang. Ini pasti akan menyebabkan harga impor melonjak, menambah inflasi Ramadhan.
Sementara itu, pemerintah Pakistan melakukan hal yang biasa mereka lakukan, yaitu menghabiskan uang yang tidak mereka miliki, dengan harapan bisa memenangkan hati rakyat. Perdana Menteri yang baru diangkat kembali, Shehbaz Sharif, meluncurkan paket Ramadhan. Nilainya sekitar US$27 juta. Paket ini bertujuan untuk menurunkan harga barang-barang pokok. Tetapi rakyat Pakistan tampaknya tidak yakin.
Situasi kian mengerikan. Pemerintah tahu bahwa inflasi Ramadhan terjadi setiap tahun. Namun kebanyakan pemerintah di dunia Muslim secara teratur gagal mengendalikannya. Akibatnya, setiap tahun bulan suci ini menjadi bulan yang pahit-pahit manis (bittersweet) bagi umat Islam di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT