Joe Biden menyampaikan Pidato Kemenangan

Menebak Amerika di Bawah Biden

Dodi Ambardi
Dosen Departemen Sosiologi, Fisipol, Universitas Gadjah Mada. Departemen Ilmu Politik, Ohio State University (Doktoral)
9 November 2020 18:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kamala Harris dan Joe Biden. Kredit foto: POOL/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Kamala Harris dan Joe Biden. Kredit foto: POOL/REUTERS
ADVERTISEMENT
Kepastian Joe Biden memenangi pemilu presiden makin jelas, dan kini dia telah menyandang status president-elect. Sementara, Donald Trump bersikukuh tidak mau mengakui kekalahannya dan tetap menolak untuk memberikan ucapan selamat ke Biden.
ADVERTISEMENT
Tapi, tanpa atau dengan pengakuan Trump, pasangan Joe Biden-Kamala Harris akan tetap terjadwal memasuki Gedung Putih. Kini pun keduanya telah memulai masa transisi sebelum secara resmi diambil sumpahnya kelak 20 Januari 2021.
Dalam masa empat tahun, Trump telah mengubah arsitektur politik luar negeri Amerika dan telah merombak perimbangan politik domestik. Apakah perubahan politik luar negeri di era Trump merupakan interlude atau selingan belaka? Ataukah perubahan yang dibawa Trump masih akan meninggalkan jejak panjang?
Tampaknya, pemisahan dua wilayah itu penting dilakukan: International dan domestik. Di level internasional, Biden akan menghapus jejak Trump. Namun di level domestik, Biden harus berhadapan dengan kenyataan Amerika yang terbelah. Biden dan Harris tidak bisa mengabaikan pendukung Trump yang memiliki concern ekonomi spesifik. Kita akan melihat dua isu ini berurutan.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, selama lebih dari 100 tahun, politik luar negeri Amerika dipandu sebuah keyakinan yang menghubungkan tiga hal: Kesejahteraan ekonomi, demokrasi, dan perdamaian dunia. Mereka meyakini bahwa kesejahteraan ekonomi akan memunculkan demokrasi; dan gelombang demokrasi pada gilirannya mendorong terwujudnya perdamaian dunia.
Implementasinya, sejak Perang Dunia II, tujuan kembar pencapaian kesejahteraan ekonomi dan demokrasi itu dijalankan melalui dua instrumen pokok. Pertama, politik luar negeri Amerika yang bersandar pada rekayasa kerja sama multilateral yang dilakukan terus-menerus; kedua, instrumen finansial yang menyertainya selalu ditautkan dengan prasyarat keterbukaan ekonomi dan pasar serta keterbukaan politik. Dan dari sana Amerika tampil sebagai kekuatan global.
Namun tren seratus tahun itu telah dirombak secara radikal oleh Donald Trump.
ADVERTISEMENT
Dipadatkan, visi Trump terangkum dalam dua slogan dengan isi sebangun: America First! dan Make America Great Again (MAGA). Kepentingan Amerika dinomorsatukan. Selebihnya, bagi Trump, hanyalah bersifat sekunder dan tak dipedulikannya. Trump bukanlah seorang presiden dengan gagasan besar yang berambisi mempertahankan Amerika sebagai sebagai pemimpin atau pemain politik global. Trump lebih melihat dirinya sebagai "patron puak" yang berpikir tentang pendukungnya saja, dan bahwa Amerika adalah entitas terpenting dalam pergaulan internasional.
Dengan visi seperti itu, demokrasi bukanlah sebuah isu penting dalam politik luar negeri Amerika. Kenyataannya, Trump justru lebih banyak memberi angin pada para otokrat di berbagai negara. Dia memberi memuji Vladimir Putin dari Rusia, melakukan aneka deal dengan para pemimpin konservatif di Timur-Tengah, mencoba bekerja sama dengan Kim Jong-un dari Korea Utara. Dan sebelum wabah COVID-19 merajalela, Trump memuji kepemimpinan Xi Jinping yang membawa sukses ekonomi Cina.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, Biden adalah bagian dari tradisi 100 tahun itu. Secara eksplisit setelah momen kemenangan elektoral dia mengatakan akan mengedepankan pendekatan multilateral ketimbang unilateral dalam urusan-urusan politik dan ekonomi internasional. Biden juga berencana menyantuni kembali para sekutunya—terutama di Eropa dan Asia Timur. Bahwa Amerika akan memainkan lagi peran kepemimpinan global, itu terdengar di banyak pidatonya.
Ringkasnya, Biden akan menghidupkan kembali kerja sama internasional dan kepemimpinan internasional. Termasuk di dalamnya, Biden berencana akan berpartisipasi lagi dalam penanganan problem climate change atau perubahan iklim di tingkat global. Itu berarti Biden akan membawa Amerika untuk kembali pada Paris Agreement 2016 yang ditinggalkan oleh Trump.
Di level domestik, agenda itu mewujud dalam usulannya untuk melakukan transformasi penggunaan energi di Amerika. Selama ini Amerika bertumpu pada energi minyak dan sedikit batu bara yang menopang industri domestik dan memberi kehidupan warga Amerika—khususnya di negara bagian Texas, Pennsylvania, North Dakota, dan Alaska.
ADVERTISEMENT
Kontras pilihan kebijakan itulah yang menjadi titik serang rivalnya, Donald Trump, sepanjang periode kampanye sampai hari pencoblosan. Memang, Biden mengakomodasi kelompok pemilih dan kelompok elite yang progresif dengan agenda isu lingkungan itu. Tapi, bersamaan itu pula, Joe Biden dan Kamala Harris menjadi sasaran empuk serangan Trump dengan menakut-nakuti para pemilih yang penghidupannya bersandar pada minyak dan batu bara.
Serangan itu relatif efektif. Biden gagal memenangi keempat negara bagian tersebut kecuali Pennsylvania. Kemenangannya di Pennsylvania pun hanya tipis saja. Dan dia merasa perlu menjelas-jelaskan dalam kampanyenya bahwa yang dilakukannya bukan menutup rentetan kilang minyak sebagaimana dituduhkan oleh Trump. Tapi, dia akan mengagendakan transformasi energi secara bertahap seraya memperhatikan nasib penduduk yang tercecer dalam proses transformasi itu.
ADVERTISEMENT
Isu lain yang memiliki dampak langsung secara domestik adalah perang dagang Amerika dengan Cina. Trump mewariskan problem ini dan Biden harus menghadapi dan menyelesaikannya juga. Isu ini, meskipun lebih berbobot simbolik dan politik, ternyata beresonansi dengan sentimen publik pendukung Trump. Terlepas dari beban perang tarif dengan Cina yang dilakukan Trump menyusahkan para petani di Amerika, Trump mendapat citra sebagai seorang presiden yang gigih. Sebaliknya, Biden dianggap lemah dalam menghadapi Cina.
Donald Trump. Kredit foto: CARLOS BARRIA/Reuters
Rupanya, isu kegigihan Trump dan kelemahan Biden ini direspons oleh sang president-elect tersebut. Dalam pernyataan terakhirnya, Biden mengatakan bahwa dia akan bersikap keras terhadap Cina. Itu dilakukan, antara lain, dengan menekankan pada isu pencurian hak cipta intelektual dan teknologi.
Dengan kemungkinan kembalinya arsitektur politik luar negeri Amerika di bawah Biden dan Kamala Harris, sejauh mana efeknya terhadap Indonesia? Dan sejauh mana itu bertaut dengan politik domestik?
ADVERTISEMENT
Dalam banyak isu spesifik kita perlu menunggu rincian kebijakan pasangan pemimpin baru itu. Namun, peluang yang tersedia atau tertutup bagi Indonesia tentunya akan bertaut dengan standar dan norma kesepakatan multilateral yang disokong Biden. Termasuk jika agenda kerja sama internasional itu berkaitan dengan isu dan penanganan perubahan iklim global, maka standar kriteria pemeliharaan lingkungan hidup akan masuk pula menjadi prasyarat kerja sama. Biden akan memberikan perhatian istimewa pada isu ini.
Akibatnya akan memengaruhi Indonesia secara langsung atau tidak langsung. Ekspor sawit Indonesia, misalnya, mungkin akan lebih sulit berkembang jika industri sawit Indonesia dianggap merusak lingkungan. Isu hak asasi, kerja sama dan bantuan militer, isu hak cipta, dan pembukaan pasar domestik lebih luas, semuanya mungkin mengemuka lagi—dan Biden akan menjadi salah satu promotornya.
ADVERTISEMENT
Isu lainnya, skema preferential access yang semula diberikan pada anggota WTO yang berstatus developing countries dan dihapus oleh Trump mungkin tidak kembali lagi. Skema khusus ini intinya adalah pemberian akses istimewa kepada barang ekspor negara-negara berkembang untuk memasuki pasar Amerika. Trump mempersoalkannya dan menganggap perlakukan khusus itu merugikan Amerika. Bagi Trump, itu bermasalah sebab Cina yang telah berubah menjadi raksasa ekonomi tetap memegang statusnya negara berkembang. Sementara, WTO sendiri memang tidak memberikan kriteria negara berkembang secara jelas. Perhitungan yang sama juga diberlakukan pada NAFTA, yakni perjanjian ekonomi tiga negara antara Amerika, Kanada, dan Meksiko.
Pembatalan skema preferential access yang dibuang Trump itu tentu membawa pengaruh bagi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Biden belum memberikan tanda apakah kebijakan itu akan diinstal ulang, tetapi mungkin situasi politik domestik akan ikut mewarnai pilihan Biden itu.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Joe Biden dan Kamala Harris kelak tidaklah bergerak dalam ruang vakum. Kelak mereka berdua harus menavigasi politik luar negerinya dengan menimbang faktor domestik pula. Hampir separuh warga Amerika memberikan suaranya ke Donald Trump. Concern dan tuntutan para pendukung Trump, bagaimana pun, akan menjadi pertimbangan Biden dan Harris ketika itu menyentuh kepentingan pendukung Trump: Pekerja manufaktur, kelas menengah sub-urban, dan kelompok berpendidikan yang terpinggirkan dalam proses globalisasi. Jika akses ekonomi yang didapatkan Indonesia ke Amerika bertabrakan dengan kepentingan berbagai kelompok domestik, Biden tentu lebih memiliki sensitivitas terhadap kelompok-kelompok itu setelah melewati pemilu kemarin.
Kemunculan Biden mungkin memberikan angin segar secara global, dan lebih menjanjikan kestabilan. Tapi kehadiran Biden sebagai presiden Amerika kelak, bagi Indonesia, bagai pedang bermata dua. Ia bisa membuka peluang, tapi sekaligus bisa pula menjadi tantangan.
ADVERTISEMENT
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten