Mahasiswa Baru Perlu Didampingi untuk Menghadapi Hal-Hal Ini ketika Kuliah

Dira Chaerani
Lulusan sarjana Ilmu Keluarga dan Konsumen IPB University
Konten dari Pengguna
24 Juli 2023 14:19 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dira Chaerani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mahasiswa baru yang berfoto di ikon kampus. Foto: dok. pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mahasiswa baru yang berfoto di ikon kampus. Foto: dok. pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Momen menjadi mahasiswa baru (maba), apalagi di kampus impian merupakan momen yang paling membanggakan sekaligus penuh tantangan. Kuliah merupakan salah satu pilihan jalan hidup seseorang setelah lulus SMA.
ADVERTISEMENT
Dunia perkuliahan sangat berbeda dengan masa-masa sekolah, sehingga sudah menjadi hal yang biasa apabila para mahasiswa khususnya mahasiswa baru merasa stres, kaget, dan cemas menghadapinya.
Pada webinar bertajuk Sinergi IPB Bersama Guru BK se-Indonesia yang diadakan IPB University pada Sabtu, 15 Juli 2023, dr. Elvine Gunawan, SpKJ., yang merupakan seorang psikiater dan founder Mental Hub Indonesia, memberikan materi bertema Mendampingi Anak untuk Menjadi Pribadi Tangguh dan Mempersiapkan Masa Kuliah.
Dokter Elvine mengatakan, ketika mulai memasuki dunia perkuliahan terutama di kampus terbaik, anak yang selalu mendapatkan ranking 1 akan bertemu dengan anak-anak lain yang juga selalu mendapatkan ranking 1 selama sekolah.
Oleh karena itu, akan terjadi persaingan antar mereka untuk menjadi yang terbaik. Anak yang gagal mempertahankan peringkatnya berkemungkinan untuk mengalami mental yang ambruk.
ADVERTISEMENT
Dengan kondisi tidak lagi menjadi yang terbaik dan "terkalahkan" oleh orang lain, perlu adanya penerimaan dan semangat untuk bangkit kembali bagi anak. Dokter Elvine juga menegaskan, tidak menjadi yang terbaik bukan berarti anak gagal dalam segala hal.
Lagipula, dunia SMA tidak sama dengan kuliah, karena ketika masih SMA murid-murid yang berada dalam 1 sekolah memiliki latar belakang yang tidak terlalu beragam (tempat tinggal, asal sekolah, budaya, nilai dan norma, tingkat kecerdasan, cara belajar, dsb).
Ilustrasi mahasiswa baru. Foto: Chonlawut/Shutterstock
Berbeda dengan kuliah di mana dalam suatu kampus dapat terisi mahasiswa dari berbagai wilayah di Indonesia dengan beragam latar belakang. Tentu anak akan kaget menemukan ada anak lain yang bisa sangat ahli dalam suatu mata kuliah, anak yang sangat berambisi dalam berbagai perlombaan, anak yang sangat rajin belajar, dan kondisi lainnya yang begitu asing ditemui anak di lingkungan sekolah sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Setelah selesai dengan tahap penyesuaian diri, anak akan berjuang untuk mempertahankan performa dirinya, seperti selalu hadir dalam kelas, mengerjakan tugas kuliah, mempersiapkan diri untuk ujian, dan memperoleh nilai di atas kriteria ketuntasan minimal (KKM).
Proses ini tidaklah mudah ditambah lagi masih banyaknya orang tua yang tidak berempati pada anak, sehingga anak makin stres. Dokter Elvine menjelaskan, banyak orang tua yang hanya ingin tahu proses perkuliahan yang selalu berjalan lancar, menekan anak untuk selalu mendapatkan nilai bagus, dan cepat lulus.
Setelah diselidiki ternyata kurangnya empati orang tua disebabkan orang tua itu sendiri tidak pernah merasakan kuliah dan menempuh pendidikan tertinggi pada jenjang SMA atau lebih rendah.
Stres pada anak yang dapat menghambat dirinya dalam proses perkuliahan disebabkan oleh berbagai permasalahan. Dokter Elvine membagi permasalahan tersebut menjadi permasalahan yang bisa diselesaikan dan tidak bisa diselesaikan oleh anak.
ADVERTISEMENT
Permasalahan yang bisa diselesaikan misalnya, anak merasa ada pelajaran yang sulit dimengerti, kurang cocok dengan circle pertemanan, belum bisa mengatur waktu, dan sebagainya. Ketika anak sudah berhasil menyelesaikannya, anak akan merasa lebih percaya diri dan secure.
Permasalahan yang tidak bisa diselesaikan anak misalnya, masalah ekonomi keluarga, orang tua yang tidak harmonis, hubungan dengan keluarga besar yang kurang baik, dan sebagainya.
Ilustrasi mahasiswa ujian. Foto: exam student/Shutterstock
Tidak bisa dimungkiri, masalah-masalah ini berpengaruh juga terhadap kesehatan mental. Namun, anak harus sadar bahwa anak bukan pemeran utama dalam masalah ini. Bahkan, anak cukup tahu saja kalau ada masalah dan tidak boleh membebani diri dengan selalu memikirkan apalagi membantu menyelesaikan masalah yang di luar kemampuan dan tanggung jawab anak.
ADVERTISEMENT
Apabila anak berlarut-larut pada masalah, anak akan semakin stres dan cemas. Anak akan cenderung mengisolasi diri, dan menghindar, sehingga gagal menyelesaikan tugas-tugas dan perkuliahannya menjadi berantakan.
Keberhasilan anak melewati masa-masa sulit dan sukses kuliah tidak terlepas dari peran orang tua dan guru bimbingan konseling (BK) di sekolahnya dulu. Anak dengan resiliensi yang baik diciptakan oleh orang tua dengan resiliensi yang baik.
Orang tua tidak boleh berambisi kepada anak untuk mewujudkan cita-cita dan mimpinya yang belum tercapai (misalnya orang tua yang dulunya gagal menjadi dokter malah berambisi menjadikan anaknya dokter, padahal itu bukan cita-cita si anak).
Guru BK hendaknya menjadi teman curhat segala permasalahan bagi anak, membantu anak mengenali potensi diri, serta aware dan mencarikan cara apabila ada anak yang kesulitan belajar. Hal ini dapat membantu anak untuk lebih siap mental dalam menghadapi berbagai tantangan di step kehidupan selanjutnya, seperti kuliah.
ADVERTISEMENT
Ketika masa pemilihan jurusan kuliah, guru BK jangan berambisi seolah-olah paling mengetahui kemampuan muridnya, sehingga memaksa anak memilih jurusan yang tidak sesuai dengan minat anak (misalnya anak berminat pada jurusan seni tapi menurut guru BK anak tersebut bagusnya masuk ekonomi karena nilai ekonominya selalu tinggi).
Anak perlu mengerti bahwa, akademik dalam kuliah itu penting tetapi bukan segalanya. Sukses ditentukan oleh 15 persen akademik dan 85 persen soft skill.
Selain memperjuangkan akademik, manfaatkanlah masa-masa kuliah dengan mengikuti kegiatan kemahasiswaan yang dapat mengasah soft skill, sehingga menjadi orang dengan keahlian masa depan yang tidak akan tergantikan oleh artificial intelligence (AI) dan teknologi lainnya yang akan selalu berkembang.