Melawan Stigmatisasi Pekerja Migran Indonesia

Konten dari Pengguna
27 Agustus 2020 16:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dios Lumban Gaol tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Isu Pekerja Migran Indonesia (PMI) merupakan isu yang sangat krusial dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan masih banyaknya kasus PMI di luar negeri, mulai dari penganiayaan, perbudakan, hingga perdagangan orang. Penyebabnya ialah belum harmonisnya regulasi dalam melindungi PMI.
ADVERTISEMENT
Hadirnya Undang-Undang (UU) no 18 tahun 2017 tentang pelindungan pekerja migran Indonesia (PPMI) yang menggantikan UU lama membawa angin segar bagi para PMI dan juga para aktivis yang memperjuangkannya. UU PPMI diharapkan dapat menjawab carut marutnya regulasi tentang PMI. Namun sebelum harapan itu terjawab, bahkan peraturan turunan/pelaksana belum lengkap keluar, UU PPMI sudah diuji Ke Mahkamah Konstitusi (MK) RI.
Pengujian UU PPMI dimohonkan oleh organisasi perusahaan penempatan tenaga kerja Indonesia (ASPATAKI) dengan No register 83/PUU-XVII/2019. Objek uji ialah Pasal 54 ayat (1) huruf a dan b mengenai syarat mendapatkan izin perusahaan penempatan PMI harus melakukan deposito minimal Rp.1,5 Miliar kepada bank pemerintah yang sewaktu-waktu dapat dicairkan sebagai jaminan pelindungan PMI, serta Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a mengenai pidana penjara dan denda terhadap perusahaan. Bila melihat norma pasal, ke tiga pasal ini merupakan inti dari jaminan pelindungan PMI. Oleh karenannya organisasi yang fokus pada isu buruh migran yaitu Migrant Care dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mengajukan dan menjadi pihak terkait (kontra) dalam pengujian UU PPMI.
ADVERTISEMENT
Dalam tulisan ini saya tidak akan mengkaji lebih jauh mengenai substansi ketiga pasal tersebut, toh jika melihat substansi pasal kita sudah paham bagaimana pentingnya pasal tersebut dalam “Bisnis perdagangan manusia”. Lebih lanjut, saya akan membahas dan menelaah pendapat ahli hukum yang menolak hadirnya ketiga pasal tersebut.
Pada 10 Maret 2020 agenda ke VI persidangan dengan acara mendengarkan keterangan ahli pihak pemohon, ASPATAKI mengajukan Prof Abdul Rachmad Budiono guru besar asal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya sebagai ahli.
Dalam paparan Prof Rachmad, ada beberapa poin argumen yang menarik, sebab jarang ditemukan dalam kajian akademik, juga bias dengan semangat pelindungan PMI.
Pertama, dalam pembuka pemaparanya, Prof. Rachmad menyampaikan ketidaksepakatannya terhadap penggunaan sebutan PMI.
ADVERTISEMENT
Prof Rachmad mengatakan, “Jangan menggunakan istilah Pekerja Migran Indonesia. Karena logikanya begini, kalau saya sekarang berdiri di sini, pertanyaannya, siapakah yang disebut pekerja migran? Menurut saya, pekerja migran itu harus orang Amerika yang kerja di Indonesia, orang Inggris yang kerja di Indonesia, dan seterusnya, bukan orang Indonesia kerja di Malaysia. Sehingga, penyebutan untuk Pekerja Migran Indonesia di Indonesia itu salah dari judul”.
Perlu diketahui bahwa dahulu penyebutan pekerja Indonesia yang bekerja di luar negeri ialah TKI. Namun, setelah diundangkannya UU PPMI penyebutan tersebut berganti menjadi PMI. Pergantian penyebutan ini memang tidak dijelaskan di dalam naskah akademik UU PPMI, tetapi banyak pihak termasuk Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mengatakan bahwa pergantian penyebutan TKI dilakukan untuk melepas stigma buruk atau cerita duka yang kerap melekat. Hal ini cukup masuk akal, mengingat banyak kasus yang menimpa para TKI, walaupun saat ini kasus-kasus tersebut tidak turut berkurang.
ADVERTISEMENT
Secara yuridis, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota keluargannya melalui UU Nomor 6 Tahun 2012. Dalam Pasal 2 konvensi memberi definisi, bahwa pekerja migran adalah mengacu pada seseorang yang akan, tengah, atau telah melakukan aktivitas yang dibayar di suatu negara di mana ia bukan merupakan warga negara. Karenanya Indonesia sebagai negara pihak harus tunduk dengan konvensi tersebut. Maka, penyebutan PMI sudah tepat.
Argumen ketidaksepakatan Prof Rachmad terhadap penyebutan PMI tentunya sangat membingungkan, sebab dasar argumen penolakannya ialah logikanya sendiri. Saya pribadi juga bingung dengan logika yang dipakai. Terlebih lagi, tanpa pijakan kajian ilmiah maupun dasar hukum. Prof Racmad juga tidak menjelaskan apa yang keliru dari sebutan PMI atau memberikan sebutan alternatif lain.
ADVERTISEMENT
Kedua, Prof Rachmad mengatakan, “Masalahnya adalah pekerja-pekerja kita di luar negeri tidak mempunyai kualitas yang sama dengan pekerja-pekerja Amerika, Inggris, Swedia, dan Swiss yang ada di Indonesia”.
Pertanyaan saya, apakah Prof Rachmad pernah melihat Pekerja Rumah Tangga (PRT) atau pekerja tanpa keahlian dari Amerika, Inggris, Swedia, dan Swiss yang bekerja di Indonesia? Jika pernah, tentunya para pekerja tersebut illegal, sebab peraturan mengenai Tenaga Keja Asing (TKA) di Indonesia telah membatasi jenis dan jabatan pekerjaan yang bisa diduduki oleh TKA. Dalam Permenaker Nomor 10 Tahun 2018 tentang tata cara penggunaan TKA ditegaskan bahwa TKA harus memiliki keahlian dan pendidikan yang sesuai dengan kualifikasi jabatan. Tentunya sangat berbeda dengan keahlian dan pendidikan PMI yang bekerja di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data BP2MI per April 2020, Indonesia paling banyak menempatkan PMI dengan jenis pekerjaan domestic worker dan caregiver. Tentunya hal ini tidak bisa diperbandingkan dengan negara yang disebut Prof Rachmad, sebab Indonesia tidak membuka peluang pekerjaan domestic worker dan caregiver bagi TKA. Artinya TKA yang ada di Indonesia memang memiliki kompetensi dan pendidikan yang bagus, karena syaratnya begitu.
Menurut hemat saya pendapat Prof Rachmad sangat keliru. Dalam ruang publik/media sosial pendapat ini sering diutarakan sehingga menjadi stigma tersendiri bagi PMI. Seakan-akan penganiayaan, perbudakan, dan kejahatan lainnya yang dialami PMI disebabkan karena kurangnya kemampuan ataupun pendidikan PMI. Karena stigma ini, opini publik justru sering melupakan proses pelindungan PMI itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Ketiga, Prof Rachmad mengatakan, “Kalau negara belum mampu sepenuhnya menyediakan lapangan kerja, maka harus jangan merepotkan pihak mana pun yang ingin membantu orang yang akan bekerja. Dalam hal ini adalah P3MI. Jangan menempatkan mereka seperti musuh. Mereka itu pelaku bisnis yang ingin membantu orang yang ingin mencari pekerjaan di luar negeri. Bukan musuh yang dibebankan dengan sejumlah kewajiban”.
Mengatakan pembebanan kewajiban terhadap perusahaan adalah tindakan yang memusuhi merupakan statement yang sentimental dan sangat tidak rasional. Secara fundamental, setiap kegiatan usaha memang dibebankan syarat dan kewajiban.Tujuanya ialah untuk melindungi objek dari kegiatan usaha itu sendiri. Dalam hal ini, pengenaan deposito Rp.1,5 Miliar bagi Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) merupakan proteksi bagi PMI.
ADVERTISEMENT
Ketika P3MI tidak memenuhi kewajibannya terhadap PMI, Menteri Ketenagakerjaan dapat mencairkan deposito secara serta merta untuk memenuhi hak PMI. Deposito ini merupakan hal yang penting dalam pengembalian uang dan pemenuhan hak PMI, sebab banyak PMI yang mengeluarkan uang banyak untuk pemberangkatan, tetapi gagal berangkat atau ditempatkan di negara yang tidak sesuai dengan perjanjian penempatan.
Diskursus mengenai tanggung jawab dan kewajiban perusahaan juga dapat dilihat dalam konsep hak asasi manusia (HAM) dan Bisnis. Perlindungan dan pemenuhan HAM tidak hanya diemban oleh negara, tetapi juga diemban oleh perusahaan sebagai non-state actor. Konsep ini didasari bahwa beberapa negara terlihat tidak mampu memberikan perlindungan dan pemenuhan HAM dengan alasan kekosongan regulasi. Terutama berlaku bagi perusahaan multinasional atau transnasional yang kegiatan usahanya lintas negara, sehingga tidak dapat dijangkau oleh hukum nasional suatu negara. Oleh karenanya pada tahun 2011 Dewan HAM PBB mengeluarkan sebuah resolusi Prinsip-Prinsip Panduan Untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia (UNGPS).
ADVERTISEMENT
Pendapat Prof Rachmad patut dipertanyakan. Sangat jarang akademisi atau ahli menyatakan “jangan memusuhi perusahaan dengan membebankan kewajiban”. Apalagi saat ini P3MI sebagai sektor perusahaan, banyak terindikasi sebagai pelau Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Dalam ilmu hukum, pendapat ahli hukum merupakan salah satu sumber hukum. Akan menjadi sebuah pertanyaan, apabila pandangan Prof Rachmad yang keliru itu dijadikan sebuah sumber hukum bagi akademisi maupun masyarakat. Tentunya beban untuk melawan stigmatisasi terhadap PMI akan jauh berlipat ganda. Kita dan Prof Rachmad patut merefleksikan kembali, sudah sampai sejauh mana keberpihakan kita kepada pekerja migran Indonesia yang sering disebut pahlawan devisa.
ADVERTISEMENT